Mengenai Saya

Sabtu, 17 September 2011

Budaya Pesantren Vs Budaya "Pink"

Selama ini, pesantren kita kenal dengan lembaga pendidikan keagamaan tertua di indonesia yang masih eksis dengan segala eksistensi kutur—tradisi ketradisionalan—nya. Dengan mengacu pada ciri khas kepesantrenan itu sendiri, yakni kitab kuning sebagai pijakan dan referensi hidup perjalanan pesantren. Oleh sebab itu, membentuk dan mencetak insan yang berwawasan keilmu-agamaan yang dapat diimplementasikannya pada kehidupan sehari-hari, tidak lepas dari tujuan lembaga pesantren itu sendiri. Demikian juga dengan santri sebagai masyarakat pesantren / penduduk pesantren yang dikenal dengan sifat tawakkal, zuhud, wara', dan sejenisnya. Di samping itu, sifat kesederhanaan adalah sifat dan karakteristik yang dimiliki oleh seorang santri. Dalam kesehariannya pun demikian, tampil apa adanya merupakan sifat yang harus disandang oleh seorang insan pesantren (baca: santri). Tampa menafikan aspek keilmuan dan wawasan intelektual keagamaan.
Namun, di tengah arus globalisasi yang semakin mempertontonkan nilai-nilai ke-modern-an yang cenderung dipolesi lipstik styl keartisan yang bersifat (ke)-barat-barat-(an). Seakan pesantren semakin tenggelam dan termarjinalkan. Sehingga salah satu solusi-alternatifnya adalah membawa "tren" pesantren ke panggung dunia global dalam arti pasantren harus "membuka diri", yakni berkecipung dalam dunia modern yang tentu hal ini adalah dibarengi dengan kaidah fiqih sebagai jargon khasnya: Al-muhafadzatu ala al-qadimi al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadidi al-ashlah, menjaga budaya yang baik sebelumnya dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik. Seperti yang terjadi dengan pesantren semimodern saat ini. Dengan demikian pesantren mampu memainkan perannya secara "terbuka" dan tidak hanya terpaku pada satu dogma saja. Jika demikian, pesantren berada dalam kondisi yang (harus) pro-aktif menghadapi perkembangan zaman. Dan tentu itu saat ini sudah terjadi!
Maraknya media informasi-komunikasi di pesantren merupakan hal yang pasti terjadi yang tidak boleh kita pungkiri lagi. Taruhlah di sini media informasi semisal internet yang sudah menjadi "barang mainan" bagi para insan pesantren. 
 
Budaya Pink dan Nilai
Tentu saja dengan perkembangan pesantren yang cukup dinamis ini di satu sisi akan memberikan perubahan bagi karakter-kebudayaan dunia pesantren itu sendiri. Namun di sisi lain, "penyakit" yang kini disandang oleh penduduk pesantren adalah tenggelamnya mereka (baca: santri) ke dalam dunia "pink". Pink merupakan istilah untuk fase remaja yang tengah mengalami perasaan kasih-sayang ("cinta") dengan lain jenis seperti pacaran, hubungan asmara , dan lain sejenisnya. Sungguh fenomena yang cukup miris untuk kita simak karena pesantren sejak dulu dikenal anti-budaya luar, namun saat ini mengalami perubahan. Hal ini menjadi sebuah kenyataan yang tak bisa kita pungkiri lagi, bahwa saat ini, maraknya budaya pink di pesantren merupakan imbas dari era millennium yang identik dengan era digitalisasi-informasi-globalisasi.
Sudah barang tentu budaya pink di pesantren akan menjadi sebuah racun terselubung yang nantinya, perlahan tapi pasti, akan menghapus esensial-karakteristik pesantren. Dengan berdandan ala model atau pemain film demi menarik perhatian sang kekasih (yang disayangi) merupakan fenomena pesantren yang tak bisa ditolak. Sehingga, pada akhirnya sifat kesederhanaan yang disandang penduduk pesantren senantiasa akan hilang dan tercerabut dari akar asalnya, dan pesantren akan menjadi sarang aktor pink yang sungguh disayangkan (untuk tidak mengatakan diharamkan) keberadaannya dalam dunia pesantren.
Problem ini sangat mengganggu terhadap perjalanan pendidikan pesantren saat ini. Dengan mengacu pada suatu nilai yang selama ini didengungkan di dunia pesantren, yakni "barokah".  Jika kita cermati kembali bahwa barokah menjadi salah satu nilai yang dibanggakan dan diharapkan kehadirannya pada insan pesantren.
Namun, dengan maraknya budaya pink di pesantren akibat dari media informasi yang semakin merajalela dan merasuk di berbagai dimensi dunia pesantren, apakah barokah masih tetap dipertanggungjawabkan keberadaanya dan tetap menjadi nilai lebih bagi dunia pesantren? Pertanyaan ini sebenarnya sudah menjadi perdebatan hangat di kalangan praktisi dan pemerhati pendidikan pesantren yang harus segera menemukan titik terangnya. Yakni pesantren dapat menjadi lembaga pendidikan agama islam yang tetap mempertahankan kultur kepesantrenannya. Bukan malah terjerembab ke dalam dunia pink seperti dijelaskan di atas.
Pencitraan Budaya
Mengacu pada kaidah fiqih dipermulaan tulisan ini, setidaknya ada beberapa hal penting yang harus diwacanakan. Pertama, menjaga tradisi yang lama yang baik. Dengan kata lain kebudayaan yang ada di pesantren tidak semuanya mengandung nilai positif tetapi ada pula budaya pesantren yang memiliki dampak negatif, semisal kebudayaan kolot yang disebabkan karena kurangnya perawatan kebersihan dalam kehidupan sehari-hari. Kata "kolot" di sini berarti jorok kerena jarang mandi misalnya. Kultur baik yang telah lama membudaya di pesantren adalah budaya tampil apa adanya yang juga disebut dengan kesedehanaan, sebab kesederhanaan dapat membentuk pribadi bersahaja dan dengan kebersahajaan inilah maka akan menciptakan kharisma yang tinggi.
Kedua, mengambil hal-hal (budaya) baru yang lebih baik demi terciptanya kodusifitas sosial yang tinggi mengingat pesantren saat ini semakin menjauh dari kebudayaan masyarakat secara umum. Seakan ada semacam kesenjangan antara pesantren dan masyarakat. Sehingga pesantren yang disebut-sebut sebagai institusi keagamaan berabasis kemasyarakatan tidak lagi melekat di benak kita.
Dus, jika budaya baru yang bernilai ashlah (baik) menjadi bagian dari kultur pesantren, maka penerapan budaa di pesantren dapat juga dilakukan pad kehidupan keseharian di masyarakat. Pertannyaannya sekarang, bagaimanakah dengan budaya pink di pesantren?
Menurut hemat penulis, budaya pink yang kian mengakar di dunia pesantren merupakan imbas dari maraknya media imformasi semacam internet dengan berbagai programnya seperti facebook, frienster, dan lain sejenisnya. Di sini, secara psikologis, kesadaran menjadi suatu hal yang paling urgen baik dalam skala individu maupun sosial. Kesadaran dalam melakukan hal yang baik jika dibawa ke ranah problem budaya pink di pesantren merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang santri sebagai insan (calon) imam masyarakat kelak. Dengan kata lain, sadar dengan tujuan stabilisasi waktu, antara meluangkan waktu untuk belajar dan untuk "bermain" dalam "dunia pink". Sebab, reaksi pacaran sebagai akibat dari aksi timbulnya perasaan cinta. Dan ketika perasaan cinta itu timbul maka tergantung "sopirnya" akan disetir kemana arah cinta. Sebab, perasaan cinta dan kasih sayang adalah simbol kesucian. Wallahu a’lam bisshawab.