Mengenai Saya

Senin, 30 September 2013

AL-QUR’AN DALAM DESAKAN ORIENTALISME


Sekitar tahun 1927, Alphonse Mingana, seorang pendeta Kristen asal Iraq dan mantan guru besar di Universitas Birmingham, Inggris, memberikan pernyataan yang cukup mencengangkan, “Sudah tiba saatnya sekarang untuk melakukan studi kritis terhadap teks Al-Quran sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani.”Pernyataan ini cukup mengundang perhatian banyak kalangan, bukan hanya dari Islam sendiri, melainkan juga para tokoh peneliti semisal Edward Said dalam bukunya, Orientalisme (1978).[1]
Namun, tanpa penulis berikan banyak penjelasan, penyataan verbal dari Mingana ini sebenarnya terlahir bukan hanya dari kekecewaan para sarjana Kristen dan Yahudi terhadap kitab suci mereka, namun juga rasa cemburu mereka terhadap umat Islam dan kitab sucinya, Al-Qur’an. Sehingga, kaum orientalis semisal Mingana menjadikan Al-Qur’an yang absolute sebagai objek kritik dan berharap akan ditemukan kesalahan dalam Al-Qur’an hingga mudah menimbulkan kritik terhadap umat Islam.
Dalam perspektif Bryan S. Turner, tujuan orientalisme adalah mereduksi kompleksitas kenyataan timur ke dalam susunan tipe-tipe, karakter-karakter, dan ketentuan-ketentuan yang pasti.Dengan begitu, sejumlah karya yang menggambarkan Timur yang eksotik dalam bentuk tabel-tabel informasi yang sistematis sebenarnya adalah produk kultural yang tipikal dari dominasi Barat (Turner, 2006: 58).[2]
Terlepas dari wacana tentang bagaimana kaum orientalis mencoba melakukan studi kritik terhadap Al-Qur’an, penulis mencoba menelisik bagaimanakah sebenarnya misi orientalisme?Apa yang dimaksud dengan orientalisme? Dan bagaimana pendapat mereka tentang kitab suci Al-Qur’an, yang oleh Dr. M. Quraish Shihab, MA.disebut sebagai kitab suci agama islam yang  absolute dan universal?

A.  Pengertian, Ruang Lingkup dan Sejarah Orientalisme
Telah lama kita mendengar sebutan orientalisme dalam wacana Islam klasik-kontemporer. Namun, sejauh ini sebagian dari kita hanya sedikit yang tahu bahkan mendalami tentang orientalisme dalam kajian atau studi islam. Dalam Longman Dictionary of  English Language, orientalisme berasal dari kata “orient” yang berarti timur. Sehingga, dapat kita artikan bahwa orientalisme adalah hal-hal yang berhubungan dengan masalah ketimuran. Oriental adalah sebuah kata sifat yang berarti hal-hal yang bersifat Timur, yang sangat luas ruang lingkupnya. Sendangkan isme (Belanda) atau ism (Inggris) menunjukkan arti sesuatu paham. Dus, orientalisme berarti suatu paham atau aliran yang berkeinginan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan bangsa-bangsa di Timur beserta lingkungannya.[3]
Mengenai pengertian orientalisme sebenarnya ada banyak pendapat. Namun, inti dari pengertian tentang pendapat semua pakar orientalisme tidak jauh berbeda dari pengertian yang penulis sajikan dalam paragraf di atas. Kendati begitu, tak ada salahnya jika penulis juga mengutarakan pendapat dari berbagai pakar orientalisme. A. Hanafi menjelaskan bahwa, orientalisme berasal dari kata Prancis, orient yang berarti Timur, kata tersebut berarti ilmu yang berhubungan dengan dengan dunia Timur. Orang-orang yang mempelajari atau mendalami ilmu-ilmu ini disebut orientalis atau ahli ketimuran.[4]
Ditinjau dari ruang lingkup kajian orientalisme dalam arti sempit adalah, kegiatan penyelidikan ahli ketimuran di Barat tentang agama-agama di Timur, khususnya tentang agama islam. Kegiatan penyelidikan tentang ketimuran baru memperlihatkan intensitasnya yang luar biasa sejak abad XIX ketika Max Muller (1823-1900 M) menyalin seluruh kitab yang dipandang suci oleh masing-masing agama di Timur ke dalam bahasa Inggris yang berjudul The Sacred Books of the East (kitab-kitab suci dari dunia timur) yang biasa disingkat dengan SBE.
Sedangkan ruang lingkup orientalisme secara arti luas, yakni langsung berkaitan dengan hal-hal yang menyangkut bangsa-bangsa di dunia Timur beserta lingkungannya, sehingga dapat meliputi seluruh sendi kehidupan beserta sejarah bangsa-bangsa di dunia Timur. Penyelidikan tersebut secara garis besar dapat dikategorisasikan ke dalam beberapa bidang, seperti bidang kepurbakalaan (archeology), sejarah (history),  keturunan (ethnology), adat-istiadat (customs), politik, ekonomi, dan sebagainya.
Keluasan ruang lingkup ini pasti juga didasari sejarah terjadinya paham orientalisme. Dalam sejarahnya, orientalisme tak bisa lepas dari peristiwa Perang Dunia II (1939-1945 M) yang juga disebut dengan  “Dunia Belahan Utara” dan “Dunia Belahan Selatan”. Bahkan jauh sebelum itu, Zaman Purbakala setidaknya juga mencatat benturan antara Barat dan Timur ketika memperebutkan wilayah kekuasaan sehingga pecah perang berkepanjangan antara Grik Kono dengan Dinasti Acheamenids (600-330 SM) yang kemudian diteruskan oleh keturunannya. Benturan kepentingan dan permusuhan antara Timur dan Barat yang berlangsung berabad-abad lamanya hanya meninggalkan Grik Kono karya Xenophon (431-378 SM) berjudul Anabasis. Ketegangan ini berlanjut setidaknya sampai Perang Salib yang berlangsung sekitar dua abad, yakni 1096-1270 M.[5]
Di abad Pertengahan dan Era Kebangkitan (Renaissance) dapat dilihat dari sikap orang Barat terhadap islam yang terkesan kagum bercampur segan terhadap kekuatan islam serta peradabannya, sehingga mereka menganggap Islam sebagai sebuah bahaya bagi Eropa, baik segi akidah, peradaban, serta kekuatan meliter. Hal ini tak lepas dari kekuatan Islam benar-benar telah mencapai kesempurnaan dan menyeluruh sejak awal abad I Hijriah. Bahkan bangsa Eropa pemeluk Masehi pada abad pertengahan menamakan dirinya dengan setan, sehingga tidak mengherankan bila ada kaitan antara gerakan kristtenisasi dengan orientalisme di Barat.
Mayoritas orientalis Barat sejak abad pertengahan dan Renaissance telah sepakat dalam memberikan sifat kepada Rasulullah Saw. dengan tuduhan dusta belaka. Pengingkaran kaum orientalis terhadap kenabian Muhammad saw. berarti juga mengingkari kebenaran Al-Qur’an sebagai wahyu dan mengingkari kemukjizatan Alquran, serta menganggap Alquran adalah buatan manusia. Sehingga, kaum orientalis Alesander Ross untuk pertama kalinya menerjemahkan Alquran ke dalam bahasa Inggris pada abad XVII (1649 M) dan baru populer ketika George Sale juga menerjemahkannya dengan nama The Kuran or The Kuran of Muhammad. Dalam mukadimahnya banyak sekali menyebutkan dakwaan dan tuduhan yang terangkum dalam judul Preliminary Discourse.[6]
Dengan demikian, dilihat dari pengertian, ruang lingkup, dan sejarah yang singkat sebagaimana penulis kemukakan setidaknya orientalisme merupakan sebuah paham yang dalam berbagai tingkat dapat memahami agama Timur khususnya  Islam, namun pada tingkatan selanjutnya juga mereduksi eksotisme agama Islam sehingga—meminjam istilahnya Turner—terkesan sebagai produk kultural yang tipikal dari dominasi Barat. 

B.  Al-Qur’an dalam Desakan Paham Orientalisme
Dalam usaha kaum orientalis melakukan pengkajian Islam yang dilakukan oleh ilmuan Barat, trend baru telah dilakukan, yakni dengan menggunakan logika dan metodologi mereka sendiri. Orientalisme menjadi sangat menguntungkan bagi para kolonial Barat, karena ia telah memeberikan segudang informasi dan data tentang Islam dan umatnya. Bidang kajian orientalis bahkan sudah mencakup berbagai studi dan disiplin ilmu yang pernah digeluti oleh ulama-ulama islam sendiri, termasuk di dalamnya tentang pengkajian sumber utama Islam, yakni Alqur’an.
Dalam konteks sejarah, kita dapat melihat kaum paganisme Mekkah yang menentang keras ide bahwa Alqur’an adalah wahyu Allah. Paganis Mekkah menuduh bahwa Alqur’an adalah perkataan atau mitosnya tukang sihir atau dukun, bahkan juga menuduh bahwa Nabi Muhammad saw. diajari orang lain.
Sedangkan kaum orientalis menyebarkan opini-opininya tidak jauh berbeda dengan paganisme Mekkah. Hanya saja, cara dan polanya lah yang membedakannya. Kalau paganis Mekkah melempar tuduhan melalui lisan kepada Nabi Muhammad saw. dan para sahabatnya, sementara orientalis melontarkan klaim-klaim itu melalui forum seminar dan diskusi di ruang kuliah yang megah dan ber-AC, melalui tulisan di dalam buku, jurnal, leksikon, dan ensiklopedi, dengan selubung akademik ilmiah. Tak ketinggalan mereka juga susupkan melalui bimbingan tesis dan disertasi bagi mahasiswa yang sedang menulis karya tulis ilmiah dan penelitian.[7]
 Di antara orientalis yang paling getol melakukan studi tentang Alqur’an ialah George Sale[8]. Dalam mukadimah terjemahan Alqur’an versi Inggris karya G. Sale berjudul The Kuran or The Kuran of Muhammad yang diterbitkan pada tahun 1736 M, Sale menulis, “adapun mengenai Muhammad, yang pada hakikatnya sebagai penyusun Alqur’an dan penemu utamanya adalah masalah yang tidak dapat dibantah, meskipun tidak mengesampingkan bantuan yang diperolehnya dari orang lain yang tidak sedikit. Hal ini jelas terlihat dari sikap kaumnya yang tidak pernah diam memprotesnya sehubungan dengan masalah tersebut.”. Ungkapan ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan apa yang dituduhkan oleh paganis Mekah yang divetarisasi oleh Alqur’an semisal tertera dalam surat An-Nahl ayat 103.
Yang paling membahayakan ternyata suara G. Sale ini sangat berpengaruh terutama di Eropa. Ini dapat kita lihat pada orientalis lainnya semisal Kasmiere Skey ketika menerjemahkan Alqur’an dalam bahasa Prancis pada tahun 1841, yang menjiplak mukadimah G. Sale ke dalam mukadimah versi Prancis itu. Kalangan orientalis meyakini kebenarannya secara ilmiah atas tulisan G. Sale itu, karena dalam persepsi mereka tulisan itu mengandung uraian yang komprehensif tentang agama Islam.[9]
Seorang mantan Ketua Department of Arabic and Islamic Studies di Universitas Manchester, Inggris C. Edmund Bosworth menyebutkan bahwa banyak hal-hal berharga muncul dari anotasi teks-teks detailnya Sale dari para mufassir Muslim, di antara para mufassir tersebut adalah al-Baidhawi dan al-Suyuthi. Akan tetapi, menurut pakar yang pernah menjadi editor Encyclopaedia of Islam ini, Sale tidak bisa diberi penghargaan atas hasil ilmiahnya yang orisinil itu, karena sepertinya ia telah memindahkan berbagai sumber yang digunakan oleh biarawan Latin bernama Lodovico Maracci dalam tulisannya Alcorani Textus Universus (1698), sebagaimana yang telah Sale akui dalam pendahuluan terjemahannya: “Untuk Pembaca” (Bosworth, 2003: 78).[10]
Sementara itu, seorang orientalis Inggris sekaligus dosen Arabic Language pada Edinburgh University, juga berpendapat dalam bukunya, Pengantar Al Quran bahwa, Nabi saw. dalam penulisan Alqur’an berpegang kepada Bible, khususnya yang menyangkut cerita-cerita dalam Perjanjian Lama. Dia juga mengatakan bahwa bagian terbesar dari materi yang dipakai oleh Nabi Muhammad saw. untuk menafsirkan ajaran-ajaran dan utnuk memperkuatnya berasal dari sumber-sumber Yahudi dan Nasrani. Tuduhan ini, jika diamati, tidak lebih dari sekadar luapan emosi yang didukung oleh fanatisme agama mereka, sehingga tuduhan-tuduhan tersebut tidak mempunyai bobot ilmiah dan tidak ada landasan historisnya (Daud Rasyid, 2006: 142)
Berbagai sumber yang telah didapatkan ini sebenarnya sudah cukup menjelaskan betapa Alqur’an kini ternyata telah berada dalam desakan atau intervensi kaum orientalis. Paham orientalisme yang sejak berabad-abad silam mencoba mengkritik Alqur’an merupakan sebuah ancaman penyelewengan dan pemutarbalikan fakta ilmiah terus diprogram oleh orientalis Barat. Fenomena ini setidaknya telah mengingatkan kepada kita, betapa bahayanya doktrin-doktrin orientalisme jika diterima oleh kalangan pelajar yang mengenyam pendidikan islam ke universitas-universitas di Barat. Mengingat lemahnya daya intelektualitas keislaman dan pengetahuan mereka tentang syari’at islam, sehingga ketika mereka sudah kembali dengan gelar sarjananya hanya mampu meneruskan ide-ide orientalis yang mereka terima dari Barat.

C.  Al-Qur’an yang Otentik
Namun demikian, sebagai umat Muslim, kepercayaan terhadap kebenaran Alqur’an sekaligus tak ada keraguan apapun di dalamnya merupakan sebuah kewajiban yang tak boleh kita tawar. Karena kepercayaan inilah yang nantinya akan membentuk sebuah keimanan terhadap keotentikan Alqur’an. Bahkan keotentikan Alqur’an sendiri sebenarnya sudah dijamin oleh Allah, karena Alqur’an telah “dipelihara” oleh-Nya.Seperti tertera dalam QS. Al Hijr ayat 09: Inna nahnu nazzalna al-dzikra wa inna lahu lahafizhun (Sesungguhnya Kami yang menurunkan Alqur’an dan Kamilah Pemelihara-Pemelihara-Nya) (QS. 15: 9) (Quraish Shihab, 1994: 21)
Dalam membendung gerakan orientalisme di kalangan islam, mantan Syaikh Al-Azhar, almarhum Abdul-Halim Mahmud telah menegaskan tentang keotentikan Al-Qur’an bahwa, “para orientalis yang dari saat ke saat berusaha menunjukkan kelemahan Al-Qur’an, tidak mendapat celah untuk meragukan keotentikannya.”
Dalam konteks inilah sebenarnya telah menunjukan bahwa Al-Qur’an merupakan kitab suci umat Islam yang dijamin keotentikannya.M. Quraish Shihab pun juga memberikan penjelasan tentang bukti kebenaran, baik itu bukti-bukti dari Alqur’an sendiri maupun bukti-bukti kesejarahan Alqur’an kemudian juga dari segi penulisannya, Alqur’an telah menempatkan dirinya sebagai kitab suci yang benar-benar otentik.
Menurut M. Quraish Shihab dalam bukunya: Membumikan Al-Qur’an:Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat menjelaskan bahwa, ada tiga bukti keotentikan Al-Qur’an.[11]Pertama, dalam huruf-huruf hija’iyah yang terdapat pada awal beberapa surat dalam Al-Qur’an. Jika dilihat dari ini, huruf-huruf dalam Alqur’an tidak berlebih atau berkurang satu huruf pun sejak diterima oleh Rasulullah Muhammad saw., yang kesemuanya habis terbagi 19. Misalnya “qaf” yang menjadi awal dari Surah ke-50, ditemui terulang sebanyak 57 kali atau 3x19.Begitupun denga huruf kaf, ha’, ya’, ‘ayn, shad pada permulaan Surah Maryam, ditemukan sebanyak 798 kali atau 42x19.Pun pada Surah Yasin, huruf ya’ dan sinditemukan sebanyak 285 kali atau 15x19.
Kedua, dalam konteks sejarah masyarakat Arab dahulu, yang hidup pada masa turunnya Alqur’an adalah masyarkat yang tidak mengenal baca tulis.Karena itu, satu-satunya andalan mereka adalah hafalan. Riwayat sejarah telah banyak menginformasikan bahwa terdapat ratusan sahabat Nabi saw. yang menghafalkan Alqur’an. Selain metode hafalan ini, sejarah juga telah menginformasikan bahwa setiap ada ayat yang turun, Nabi saw.lalu memanggil sahabat-sahabat yang dikenal pandai menulis, untuk menuliskan ayat-ayat yang turun itu sembari menyampaikan tempat dan urutan setiap ayat dalam surahnya. Ayat-ayat tersebut kemudian mereka tulis dalam pelapah kurma, batu, kulit-kulit atau tulang-tulang binatang. Kepingan naskah tulisan yang diperintahkan oleh Rasul itu baru bias dihimpun dalam bentuk kitab pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar r.a.
Ketiga, dalam penyusunan dan penulisan mushhaf. Pada masa Khalifah Abu Bakar dibentuklah suatu tim yang diketuai oleh Zaid ibn Tsabit untuk membentuk sebuah mushhaf Alqur’an. Dengan dibantu oleh beberapa orang sahabat Nabi, Zaid pun mulai menjalanka tugas yang besar dan mulia itu.Abu Bakar r.a memerintahkan kepada seluruh kaum Muslim untuk membawa naskah tulisan ayat Alqur’an yang mereka miliki ke Masjid Nabawi untuk kemudian diteliti oleh Zaid dan timnya. Abu Bakar r.a memberi petunjuk kepada tim tersebut agar tidak menerima satu naskah kecuali memenuhi dua syarat; a. Harus sesuai dengan hafalan para sahabat lain; b. Tulisan tersebut benar-benar adalah yang ditulis atas perintah dan dihadapan Nabi saw. (Quraish Shihab, 1994: 21-26).
Dengan demikian, ke tiga bukti ini setidaknya telah memberikan sebuah pemahaman bagi kita bahwa Alqur’an benar-benar otentik dan tanpa ada perubahan sekecilpun.Tuduhan yang selama ini dilakukan oleh kaum orientalis Barat terhadap Alqur’an sebenarnya merupakan tuduhan yang kosong dan terkesan “ambisius”, tanpa dibarengi dengan pengetahuan mereka yang mendalam tentang bukti keotentikan Alqur’an. Di samping itu, sangat naïf kiranya jika kita terjebak dalam kubangan dan desakan orientalisme yang berusaha masuk, baik secara kasar maupun dengan cara halus, ke dalam kalangan umat Islam sendiri.


A   Kesimpulan
Dari paparan tersebut di atas setidaknya dapat disimpulkan bahwa paham orientalisme merupakan suatu paham atau aliran yang berkeinginan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan bangsa-bangsa di Timur beserta lingkungannya. Namun, pada perkembangan selanjutnya, terutama pada abad pertengahan dan kontemporer ini, orientalisme lebih bersifat menentang terhadap agama Islam, dengan cara menjadikan Alqur’an sebagai objek studi kritik. Bahkan, pada tataran tertentu orientalisme lebih bersifat doktrinasi bagi kaum Muslim yang pada akhirnya akan menggerogoti kepercayaan umat Muslim terhadap kitab sucinya.
Di samping itu, yang paling berbahaya adalah bahwa, ajaran atau doktrin orientalisme kini dalam style baru yakni dengan menggunakan metodologi dan penafsiran tersendri terhadap Alqur’an, sehingga pemahaman tersebut terkesan dipertentangkan dengan kebenaran Alqur’an.
Akan tetapi, ketika kita hadapkan pada pandangan M. Quraish Shihab, kaum orientalis ternyata begitu parsial dalam memahami dan menafsirkan Alqur’an, karena mereka tidak mempunyai kekuatan pengetahuan tentang sejarah dan keotentikan Alqur’an.Sementara menurut M. Quraish Shihab, Alqur’an memang merupakan kitab suci yang keotentikannya sangat dijamin, bahkan oleh Allah Swt. Wallahu A’lam bisshawab.



DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Buchari, H.A. Mannan. 2006. Menyingkap Tabir Orientalisme. Jakarta: AMZAH
Nanji, Azim. 2003. Peta Studi Islam: Orientalisme dan Arah Baru Kajian Islam di Barat. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.
Rasyid, Daud. 2006. Pembaruan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan. Bandung: Syaamil Publishing.
Shihab, M. Quraish. 1994. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan.
Tim Penyusun MKD Iain Sunan Ampel Surabaya.2012. Studi Al-Quran. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Surabaya Perss.
Turner,Bryan S. 2006.Runtuhnya Universalitas Sosiologi Barat; Bongkar Wacana Atas Islam Vis A Vis Barat, Orientalisme, Postmodernisme, dan Globalisme. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

Website:


[1] Anonim, Orientalisme dan Al-Quran: Kritik Wacana Keislaman Mutakhir, 9 Maret 2013, dari http://tulil.wordpress.com/2008/04/10/orientalisme-dan-al-quran-kritik-wacana-keislaman-mutakhir/
[2]Bryan S. Turner, Runtuhnya Universalitas Sosiologi Barat; Bongkar Wacana Atas Islam Vis A Vis Barat, Orientalisme, Postmodernisme, dan Globalisme, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2006), hal. 58.
[3] H.A. Mannan Buchari, Lc, Menyingkap Tabir Orientalisme, (Jakarta: AMZAH, 2006), hal. 07
[4]Ibid, hal. 09
[5] Lebih jelas, lihat H.A. Mannan Buchari, Lc, Menyingkap Tabir Orientalisme, (Jakarta: AMZAH, 2006), hal. 36-46.
[6] Lebih lengkap dapat dibaca dalam: H.A. Mannan Buchari, Lc, Menyingkap Tabir Orientalisme....... , hal. 36-58.
[7] Dr. Daud Rasyid, MA., Pembaruan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan, (Bandung: Syaamil Publishing, 2006), hal. 141
[8] George Sale adalah seorang pengacara terlatih dan seorang ahli tentang Arab yang utama dan pertama yang tidak termasuk golongan anggota pendeta. Menurut C. Edmund Bosworth, Sale merupakan seorang yang punya prestasi yang luar biasa, karena karya itu dicetak berulangkali hingga abad sekarang ini. Lebih jelas dapat dilihat dalam: C. Edmund Bosworth, “Islamic studies in English”, dalam, Peta Studi Islam: Orientalisme dan Arah Baru Kajian Islam di Barat, Prof. Dr. Azim Nanji (ed.), (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003), hal. 78.
[9] Dr. Daud Rasyid, MA., Pembaruan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan................, hal. 142
[10] Lebih jelas dapat dilihat dalam: C. Edmund Bosworth, “Islamic studies in English”, dalam, Peta Studi Islam: Orientalisme dan Arah Baru Kajian Islam di Barat, Prof. Dr. Azim Nanji (ed.), (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003), hal. 78
[11]Mengenai keotentikan Alqur’an ini, lebih jelas dapat ditelisik dalam: M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1992), hal. 21-26

Dekonstruksi Nalar Masyarakat Multikultural; Upaya Mempersatukan Keanekaragaman Bangsa


A.  Pengantar
Akhir semester dua ini, ketika salah seorang dosen mata kuliah Pengantar Ilmu Politik (Ibu Wahidah Br. Siregar) memberikan kuliah terakhirnya di kelas, penulis dicengangkan oleh ceritanya. Beliau bercerita tentang pengalamannya mengisi kuliah umum di Washington DC, AS. Salah seorang rekannya dari manca-Negara bertanya kepada beliau, “kenapa di negaramu selalu mengedepankan perbedaan (dengan adanya semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” = walaupun berbeda, tapi tetap satu)? Bukankah itu yang memicu adanya masalah kebangsaan seperti konflik suku, agama, dan ras?”. Lantas, beliau berpikir, “iya, ya. Kenapa harus perbedaan yang dikedepankan? Kenapa tidak dengan semboyan ‘kita tetap satu, walaupun berbeda’?”.
Cerita ini membuat penulis berpikir kembali tentang bangsa yang multikultural ini. Bangsa yang terdiri dari banyak suku, banyak agama, dan terdiri dari berbagai ras selama ini telah menjadi karakter Indonesia. Dengan identitas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), bangsa ini telah berdiri dengan segala karakter dan khazanah lokal yang ada di dalamnya. Termasuk juga masyarakat yang memiliki corak dan warna yang berbeda-beda.
Persoalan yang paling krusial belakangan ini adalah merebaknya konflik dan kekerasan yang berkedok suku, agama, dan ras (selanjutnya disingkat menjadi SARA). Tentu, konflik dan kekerasan menjadi salah satu masalah (selain masalah politik dan hukum) yang sangat diperhitungkan dan berada pada wilayah yang sensitif bagi masyarakat kita.
Ada sebagian kalangan menganggap bahwa multikulturalitas sebagai pemicu adanya konflik dan kekerasan yang berbatu SARA. Multikulturalitas sebagai realitas sosial masyarakat kita seakan-akan telah menjadi masalah yang bahkan oleh berbagai kalangan dipandang sebagai suatu realitas sosial yang perlu dihilangkan. Ini terlihat dari banyaknya sikap organisasi masyarakat yang menginginkan bangsa ini harus terdiri dari satu suku, satu ras, dan bahkan yang paling gencar adalah harus terdiri dari satu agama.
Menurut hemat penulis, paham demikian sebenarnya merupakan paham yang pada akhirnya akan menjadi masalah baru yang dialami oleh bangsa kita. Mereka cenderung tidak menerima perbedaan, karena perbedaan dianggap sebagai sesuatu yang akan memicu lahirnya konflik dan kekerasan.
Lantas, apakah yang melatarbelakangi adanya paham demikian? Benarkah bahwa realitas masyarakat yang multikultural menjadi pemicu lahirnya konflik dan kekerasan? Bagaimanakah sikap kita sebagai warga negara menyikapi multikulturalitas sebagai karakter bangas Indonesia ini?

B.  Problem Kebangsaan
Ketika kita mencoba menelaah kembali, persoalan krusial yang mendera bangsa kita adalah fenomena konflik dan kekerasan yang belakangan terjadi. Konflik dan kekerasan jika kemudian terus berlanjut, pada akhirnya akan memorakporandakan keutuhan NKRI. Ini tak bisa dipungkiri, sebab realitas yang terjadi memang demikian. Pasalnya, ada banyak kasus yang membuktikan adanya ancaman bagi keutuhan bangsa kita.
Konflik-konflik berujung kekerasan yang terjadi di Indonesia pada umumnya adalah akibat dari keanekaragaman suku, agama dan ras yang tidak dapat duduk berdampingan. Contoh yang paling sering kita dengar adalah seperti konflik dan kekerasan yang terjadi di Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah (Poso) dan Papua. Bahkan, belakangan ini juga kita mendengar konflik berbau agama yang terjadi di Madura, konflik dan kekersan yang terjadi di Lampung Selatan dan Sulawesi Tengah, kemudian disusul dengan konflik dan kekerasan yang terjadi di Flores Timur, NTT.
Salah satu contoh konflik yang terjadi di Kalimantan Barat adalah adanya kesenjangan perlakuan aparat birokrasi dan hukum terhadap suku asli Dayak dan suku Madura, sehingga menimbulkan kekecewaan yang mendalam, khususnya bagi masyarakat Dayak. Masyarakat Dayak yang termarginalisasi semakin terpinggirkan oleh kebijakan-kebijakan yang diskriminatif. Sedangkan pada sisi penegakan hukum terhadap salah satu kelompok, tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Sementara di Poso, Sulawesi Tengah, konflik dan kekerasan berbau SARA mula-mula terjadi pada tanggal 24 Desember 1998 yang dipicu oleh seorang pemuda Kristen yang mabuk melukai seorang pemuda Islam di dalam Masjid Sayo. Kemudian pada pertengahan April 2000, terjadi lagi konflik yang dipicu oleh perkelahian antara pemuda Kristen yang mabuk dengan pemuda Islam di terminal bus Kota Poso. Perkelahian ini menyebabkan terbakarnya permukiman orang Pamona di Kelurahan Lambogia. Selanjutnya, permukiman Kristen melakukan tindakan balasan. Sehingga, banyak persepsi seorang menyebut bahwa konflik dan kekerasan yang timbul adalah dilatarbelakangi adanya unsur SARA.
Kemudian, belakangan kita diperdengarkan tentang konflik berbau agama yang terjadi di Madura. Konflik ini sebenarnya dilatari karena adanya perseteruan dan perselisihan antara individu yang satu dengan individu lain yang berbeda aliran, sehingga kemudian dianggap sebagai konflik yang dilatari oleh agama. Pihak yang satu beragama islam Syi’ah kemudian pihak lainnya beragama islam Sunni. Kedua aliran yang lahir dari satu agama ini memang memiliki corak yang berbeda dari sisi praktik ritual keagamaannya. Perbedaan ini lahir karena berbedanya imam atau tokoh (biasanya disebut syeikh) yang dijadikan panutan oleh kedua belah pihak.
Ketidakcocokan budaya, karakter, dan tradisi menyebabkan suatu masyarakat dalam lokus tertentu rentan konflik dan berujung pada tindak kekerasan. Sehingga, tak ayal juga terkadang membawa agama ke dalam suatu wilayah sensitif, bahkan seringkali dijadikan alat untuk membenarkan golongan tertentu dan menganggap golongan lainnya adalah salah. Suatu problematika yang klasik namun anehnya hingga kini masih terjadi.
Sederet persoalan-persoalan tentang konflik dan kekerasan di atas setidaknya telah membuktikan disintegrasi bangsa telah berada pada titik menggerahkan. Kita terkadang hanya mengelus dada ketika melihat dan mendengar ada sebagian masyarakat dari bangsa kita saling bertengkar, berselisih, dengan menggunakan cara kekerasan dan sejenisnya. Bahkan yang paling me-miris-kan, kekerasan tersebut dilatari oleh perbedaan yang dipertentangkan berbau SARA.

C.  Realitas Masyarakat Multikultural Indonesia
Dalam perspektif C.W. Watson (1998) dalam bukunya Multiculturalism, masyarakat multikultural membicarakan tentang masyarakat negara, bangsa, daerah, bahkan lokasi geografis terbatas seperti kota atau sekolah, yang terdiri atas orang-orang yang memiliki kebudayaan yang berbeda-beda. Sementara bagi J.S. Furnivall (1967) mendefinisikan masyarakat multikultural sebagai masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih komunitas (kelompok) yang secara kultural dan ekonomi terpisah-pisah serta memiliki struktur kelembagaan yang berbeda-beda satu sama lainnya. Dengan demikian, masyarakat multikultural merupakan masyarakat yang menempati negara, daerah, bahkan lokasi geografis tertentu di mana secara kultural dan ekonomi terpisah-pisah dan terdiri dari banyak struktur budaya yang berbeda-beda.
Dalam konteks Indonesia, masyarakat multikultural merupakan keniscayaan, karena sejak zaman dahulu masyarakat Indonesia dikenal dengan masyarakat yang majemuk. Kemajemukan bangsa indonesia dapat dilihat dari banyaknya perbedaan yang meliputi suku, agama, ras, bahasa, budaya dan tradisi yang berbeda sebagai realitas masyarakat Indonesia. Akan tetapi, di samping perbedaan itu Indonesia juga memiliki persamaan, yakni persamaan hukum, hak milik tanah, persekutuan, dan kehidupan sosialnya yang berasaskan kekeluargaan.
Inilah sebenarnya karakter dan identitas yang dimiliki Indonesia, seperti yang termuat dalam semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang berarti “berbeda-beda tetapi tetap satu”. Semboyan ini dicetuskan oleh pujangga Mpu Tantular ketika melihat keanekaragamaan masyarakat yang ada di dalam masyarakat Majapahit. Ia menuangkan sebuah rumus sosial yang bisa mempersatukan seluruh perbedaan yang ada di masyarakat waktu itu. Mpu Tantular kemudian belakangan kita ketahui menulis sebuah kitab bernama Sutasoma yang di dalamnya tertulis Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa. Karena itu, berdasarkan fakta sejarah yang kita ketahui telah membuktikan bahwa kehidupan agama di Kerajaan Majapahit berjalan secara harmonis antara agama Hindu Siwa, Buddha, dan lainnya, bahkan sampai masuknya agama Islam. Itu juga dibuktikan dengan adanya kebijakan dari raja Majapahit yang membebaskan raja-raja bawahan di pesisir pantai utara Jawa untuk memeluk agama Islam.
Kondisi demikian menjadi gambaran sejarah atas lahirnya masyarakat multikultural Indonesia sampai saat ini. Akan tetapi, realitas masyarakat multikultural di Indonesia ternyata tidak selalu berbuah integrasi, seringkali adanya masyarakat multikultural menyebabkan adanya disintegrasi. Paling banyak yang menjadi pemicu utama terjadinya disintegrasi bangsa adalah saling mempertentangkan perbedaan agama dan budaya yang ada di Indonesia, seperti contoh kasus di atas yang terjadi selama beberapa dasawarsa terakhir ini.
Selain itu, masalah lain yang menjadi sumber adanya disintegrasi bangsa adalah sentralisasi pembangunan; seakan-akan yang terlihat hanya dilaksanakan di Pulau Jawa, sementara daerah-daerah lain kurang mendapat perhatian (utamanya daerah terpencil yang sulit dijangkau), sehingga memicu kesenjangan dan kecemburuan, bahkan keinginan memisahkan diri dari NKRI. Dalam persepsi subjektif penulis, di luar adanya masalah disintegrasi bangsa ini sebenarnya telah terjadi kekeliruan, yang justeru kekeliruan tersebut berada pada wilayah yang paling dasar dan mikro, yaitu: “nalar”.
D.  Dekonstruksi Nalar Masyarakat Multikultural
Kembali pada cerita dari dosen penulis tentang semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” atau “Berbeda-beda, tetapi tetap satu” di atas. Jika penulis tanggapi, semboyan demikian sebenarnya bukan dimaksudkan untuk mengutamakan perbedaan daripada persatuan. Redaksi “berbeda-beda, tetapi tetap satu” adalah sebuah gagasan yang didasarkan pada konteks sejarah di mana semboyan itu dibuat. Artinya, semboyan Bhinneka Tunggal Ika tidak lain adalah untuk menggambarkan realitas masyarakat yang multikultural di Indonesia, yang kemudian disatukan oleh satu bangsa, satu bahasa, yaitu bangsa dan bahasa Indonesia. Sementara redaksi kata “tetapi tetap satu” bukan untuk diakhirkan, melainkan dijadikan sebagai penyelesaian atau klimaks dari masyarakat multikultural (masyarakat yang berbeda-beda).
Gagasan ini sebenarnya terlahir dari logika pembalikan sebuah makna, atau dengan kata lain memakai “logika terbalik”. Jika dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang berarti ‘berbeda-beda, tetapi tetap satu’ memaikai logika induktif, maka perubahan menjadi kalimat “tetap satu, walaupun berbeda” adalah memakai logika deduktif. Akan tetapi, kedua proposisi ini sebenarnya memiliki pengertian yang tidak jauh berbeda alias sama, tetapi yang membedakan adalah konteks dan kondisi sosial dari masyarakat dari masa ke masa. Jika pada masa Kerajaan Majapahit digambarkan dengan kerukunan masyarakat multikultural, terutama dalam hal beragama, sementara munculnya konflik dan kekerasan yang terjadi di berbagai tempat di Indonesia kini ada perasangka bahwa Indonesia terlalu mengedepankan perbedaan sehingga melahirkan kegelisahan untuk merubah semboyan Bhinneka Tunggal Ika menjadi Tunggal Ika Bhinneka.
Pertanyaannya kemudian, apakah menyebut Tunggal Ika Bhinneka atau ‘tetap satu, walaupun berbeda-beda’ adalah salah? Tidak. Karena, menurut hemat penulis, istilah tersebut hanya terlahir dari kegelisahan dosen ilmu politik (Ibu Wahidah) penulis, sama seperti kegelisahan yang penulis rasakan. Bahkan dalam perspektif tertentu, penulis juga setuju ketika Bu Wahidah mengatakan, bahwa demi persatuan dan kemajuan bangsa kita ke arah yang lebih baik, mineset rasisme harus dibuang jauh-jauh, sehingga antara Jawa, Madura, Batak, maupun Sunda tidak dibeda-bedakan, melainkan merupakan satu kesatuan bangsa yang akan duduk bersama-sama dalam berjuang menuju bangsa yang lebih baik.
Dus, apakah sebenarnya akar dari persoalan konflik dan kekerasan yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia? Tidak lain adalah persoalan mineset masyarakat yang kemudian menjelma menjadi nalar kelompok dalam suatu masyarakat yang dalam hal suku, ras, bahkan agama adalah berbeda-beda. Dari nalar inilah kemudian muncul penyakit primordialisme, etnosentrisme, diskriminasi, dan stereotipe sebagai sindrom yang pada akhirnya akan mengoyak kerukunan bangsa kita.
Nalar ini (baca: primordialisme, etnosentrisme, diskriminatif, dan stereotip) yang perlu didekonstruksi dan dihilangkan sama sekali dari masyarakat kita yang multikultural ini. Meminjam teori “dekonstruksi”-nya Jacques Derrida, dekonstruksi adalah pembongkaran menuju pembebesan. Dalam konteks ini, dekonstruksi merupakan pembongkaran terhadap sesuatu yang telah mengalir bahkan melekat (baca: nalar) dalam diri masyarakat, kemudian membebaskan masyarakat dari jerat nalar tersebut. Sehingga, dengan adanya dekontrusksi nalar masyarakat ini pada akhirnya diharapkan dapat mengubur egoisme, dan mengenyahkan konflik maupun kekerasan, sehingga menciptakan sikap toleransi dan saling menghormati antarsuku, agama, dan ras yang satu dengan suku, agama, dan ras yang lain.
Kemudian, pada babakan selanjutnya, gerakan apakah yang harus dilakuan untuk membebaskan jerat nalar masyarakat multikultural ini? Pertama, dilakukan komunikasi kultural. Upaya ini mengindikasikan adanya suatu komunikasi yang intens antara kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lain. Komunikasi kultural ini penting dilakukan karena di dalamnya akan ditemukan bahwa antara kebudayaan dalam suatu masyarakat suku, ras dan agama memiliki keistimewaan dan khazanah tersendiri.
Kedua, menumbuhkan sikap toleransi antarsesama. Sikap toleransii sebagai sebuah sikap yang mengawali ada sebuah usaha untuk selalu menganggap lainnya adalah wajar. Toleransi beragama, toleransi berbudaya, bahkan toleransi atas sikap orang yang oleh kita dinilai tidak mengenakkan hati. Untuk menanamkan sikap toleransi ini tidak bisa hanya dilakukan dalam satu hari, melainkan harus melalui proses pembiasaan secara intens. Sehingga, jika kemudian sikap toleransi ini dapat dimiliki oleh semua masyarakat yang multikultural ini, konflik dan kekerasan tidak akan pernah terjadi.
Ketiga, menumbuhkan kearifan nasional, disamping juga mempertahankan kearifan lokal yang bernilai ashlah. Dalam menumbuhkan kearifan nasional salah satunya adalah dapat dengan cara menanamkan nilai-nilai sejarah perjuangan bangsa dan nilai-nilai Pancasila. Karena dengan demikian masyarakat akan menyadari adanya sebuah kearifan sebagai identitas bagi masyarakat indonesia, sehingga sebagai satu kesatuan bangsa, bahasa dan kesatuan tanah air, masyarakat tidak lagi mempertentangkan perbedaan.
Selain ketiga hal di atas, pendidikan multikulturalisme perlu dilakukan sejak usia dini. Sejak di mana anak didik mulai paham tentang perbedaan besar-kecil, tinggi-rendah, panjang-pendek dan sejenisnya. Pengetahuan masyarakat tentang keanekaragaman bahwa dalam bangsa Indenesia ini terdiri dari banyak suku, agama, ras, tradisi, kebudayaan dan lain sejenisnya, sehingga perbedaan tersebut harus dijadikan sebagai pemacu semangat untuk sama-sama berjuang menuju Indonesia yang lebih baik.

E.  Penutup
Realitas masyarakat multikultural di Indonesia merupakan sunnatullah yang harus kita lestarikan dan disatukan. Konflik dan kekerasan merupakan persoalan bangsa yang jika terjadi secara terus-menerus maka pada akhirnya akan menciptakan kehancuran bangsa kita. Oleh sebab itulah, mineset masyarakat yang kemudian menjadi nalar kelompok semacam primordialisme, etnosentrisme, diskriminatif dan stereotip merupakan penyakit yang harus dihancurkan dan dihilangkan dalam diri masyarakat.
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebagai sebuah rumus sosial untuk mempersatukan bangsa kita, setidaknya harus dimaknai secara luas dan holistik. Sebab dengan demikian masyarakat secara luas akan lebih bisa memahami nilai-nilai dasar bangsa kita, dan mempunyai rasa nasionalisme dengan pengakuan negara dengan satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air. 
Akhirnya, tulisan ini bukan dimaksudkan mendoktrin masyarakat secara besar-besaran, melainkan hanya sebagai bentuk rekonstruksi menuju masyarakat Indonesia yang lebih baik. Wallahu a'lam.

Logika        : Silogisme dan Generalisasi
Keywords   : Dekonstruksi, Multikultural, Nalar, Persatuan, Bangsa.