Mengenai Saya

Minggu, 30 Desember 2012

Terorisme, Pemuda, dan Ancaman NKRI


Di tengah optimisme memperingati sumpah pemuda yang jatuh pada 28 oktober kemaren, rakyat Indonesia kembali dikejutkan oleh aksi Detasemen Khusus (Densus) 88 yang membongkar suatu kelompok yang dinamakan Harakah Sunni untuk Masyarakat Indonesia (Hasmi). Dalam aksi itu, sebelas orang yang dituduh akan mengadakan serangan ke berbagai tempat strategis berhasil ditangkap. Salah seorang di antaranya adalah Achmad Abu Hanifah, 30, yang disebut-sebut sebagai pentolan kelompok terduga teroris Hasmi. (JP dan Harian Surya, 28/10/2012)
Selain nama Achmad, Agus Anton Figian, 31, juga menjadi tersangka teroris yang ditangkap di Madiun. Salah seorang alumni Fakultas MIPA Universitas Jember yang ketika menjadi mahasiswa sempat aktif di organisasi HMI, Agus berpindah alur mengikuti organisasi NII yang dianggap mempunyai prinsip bertentangan dengan HMI. Sehingga akhirnya, tak pernah lagi aktif sebagai anggota HMI. Dapat diduga, bahwa mayoritas anggota yang ikut dalam keroganisasian semaca NII dan Hasmi, dulunya adalah seorang mahasiswa yang aktif di berbagai organisasi mahasiswa semisal PMII, HMI, Kammi dan GMNI. Karakter dan semangat kepemudaan sebagai agent of chenge dan agent of social control menjadi sasaran utama bagi organisasi NII untuk direkrut sebagai anggota yang pada akhirnya akan menentang keutuhan NII. Sebuah segmen masyarakat yang bagi kita cukup tragis jika tetap berlanjut.
Dalam pada itu, narasi gerakan semacam NII yang berorientasi membentuk negara Islam dan merubah ideologi serta hukum yang ada di Indonesia menjadi negara yang mempunyai ideologi Islam sehingga dalam penerapan hukumnya yang menggunakan konsep syari’at Islam pada akhirnya akan mengancam keutuhan NKRI. Di saat itulah akan mucul suatu fakta yang pernah di sebut Dom Helder Camara sebagai spiral of violence (spiral kekerasan). Di mana di dalamnya terdapat sebuah resistensi dari kelompok minoritas seperti NII terhadap pemerintah Indonesia, begitupun pada akhirnya akan juga bertentangan dengan pemerintah. Sebuah gerakan Islamisasi yang akan berujung pada kekrasan antar golongan, bahkan juga antar agama ini benar-benar menjadi hambatan bagi keberlangsungan negara Indonesia. Di tengah ruetnya persoalan hukum, politik dan sosial, ternyata masih harus ada fenomena kekerasan semacam ini. Kekerasan yang akan menguak sisi kemanusiaan kita.
Menurut hemat penulis, ada tiga kecenderungan terbentuknya organisasi yang mendoktrin agar dapat didirikan negara Islam. Pertama, adanya ketidakmampuan pemerintah dalam menegakkan hukum yang ada di Indonesia. Mengingat selama ini banyak penegak hukum yang tidak menjalankan hukum sesuai dengan koridor berbangsa dan bernegara, seperti ketidakadilan dalam hukum, sehingga di dalamnya akan muncul golongan minoritas yang pada akhirnya juga akan menuntut hak-hak dasar kemanusiaan mereka. Jika hak-hak tersebut tidak dapat dipenuhi oleh negara, maka golongan tersebut akan melakukan tindakan yang dianggap ekstrim.
Kedua, romantisme berlebihan terhadap sejarah pemerintahan kelam. Buku-buku biografi tokoh yang menceritakan tentang masa keemasan Islam dulu menjadi bahan rujukan untuk menerapkan ideologi Islam. Mereka menganggap bahwa penerapan kebijakan mengenai hukum dan politik yang ada pada masa kepemimpinan khalifah masih dianggap final. Dan menerapkannya pada era kini merupakan tindakan yang menurut pandangan kalangan romantisis itu adalah suatu tindakan yang benar. Bahkan dianggap akan memperoleh pahala di sisi tuhan karena telah menjalankan perintah yang ada di dalam teks suci itu, seperti keharusan mempunyai pemimpin beragama Islam.
Ketiga, adanya doktrin dari teks kitab suci yang hanya dimaknai secara tekstualistik, semisal adanya penjelasan bahwa pemimpin harus dari kalangan Islam sehingga dalam penerapan hukum maupun politik di dalamnya merujuk pada konsep syariah Islam. Partai-partai politik yang tidak lahir dari ideologi Islam akan diberangus dan pada akhirnya dalam penerapan praktis berpolitik harus berlandaskan pada azas-azas keislaman. Nuansa berpolitik demikian dimimpikan akan membentuk iklim politik yang persis seperti masa kekhalifahan di negara-negara timur tengah.
Setidaknya, bergambar pada kecenderungan di atas juga akan mempengaruhi stabilitas politik di Indonesia. Lembaga-lembaga sosial termasuk di dalamnya lembaga pemerintahan menjadi sasaran empuk guna menerapkan konsep hukum dan politik yang berlandaskan pada nilai-nilai keislaman.  Lembaga-lembaga sosial ini akan merubah fungsi tak lebih dari sebuah masjid yang di dalamnya terdapat jama’at ibadah dan hubungan antara manusia dengan tuhan (hablum minallah), dan tanpa memperhatikan urusan keduniawian yang dikenal dengan faham Jabariyah.
Lebih jauh, Robert K. Merton dalam teori fungsionalisme sturuktural memandang bahwa dalam lembaga-lembaga sosial mengaharuskan adanya sebuah hubungan yang tanpa konflik. Harmonisasi akan tercipta ketika dalam lembaga-lembaga sosial tersebut mempunyai fungsi yang relevan pada berbagai dinamika zaman. Sebaliknya jika fungsi dari lembaga-lembaga sosial tersebut sudah tidak ada, pada akhirnya akan hilang ditelan peradaban dan zaman.
Kondisi demikian tentu tidak diinginkan dalam negara yang multikultural, multiagama, multietnis dan memiliki karakter pluralitas seperti di Indonesia. Kebhinekaan sebagai realitas kehidupan mempunyai tujuan bagaimana warga negara dituntut untuk mampu bersikap toleran. Bahkan ketika antarperbedaan tersebut mempunya latar belakang yang bertentangan baik secara ideologis maupun historis.
Dengan demikian, gerakan islamisasi seperti dilakukan oleh organisasi semacam NII dan Hasmi adalah sebuah pengingkaran terhadap nilai kebhinnekaan. Ketuhanan Yang Maha Esa seperti yang ada pada Pancasila sila pertama seakan tidak mempunyai nilai karena telah diberangus oleh keinginan suatu kelompok. Egoisme berlebihan ini pada akhirnya hanya akan menciptakan kekacauan yang berantai, justru ketika persoalan penegakan hukum, korupsi, kemiskinan dan kebodohan tengah berlangsung di negeri ini.

Menggagas Pendidikan Berkebijakan Sosial


Membincang tentang tema pendidikan selalu menarik. Di samping karena pendidikan merupakan wahana mencerdaskan kehidupan bangsa seperti tertera dalam Pembukaan UUD 1945, pendidikan juga disebut sebagai jembatan transformasi sosial. Di dalam dunia pendidikan manusia juga diajak untuk mengenal lingkungan, masyarakat, dan mengenal diri sendiri melalui proses transfer ilmu pengetahuan. Sehingga tak salah jika Paulo Freire mendefinisikan pendidikan sebagai proses pemanusiaan manusia (humanization).
Akan tetapi, cita-cita demikian belum dapat dilaksanakan dalam konteks pendidikan Nasional kita. Realitas pendidikan Nasional masih jalan di tempat, tidak dapat maju namun juga tidak mundur. Terutama mengenai kebijakan pemerintah (dalam hal ini Kemendiknas) yang kini masih diragukan. Banyak dari berbagai kalangan terutama pemerhati dan praktisi pendidikan melakukan otokritik terhadap anggaran 20% yang tak dapat dicairkan. Karena terbukti masih banyak sekolah-sekolah dan perguruan tinggi negeri yang mahal.
Akibatnya, dapat ditebak bahwa pendidikan (khususnya pendidikan negeri) hanya dapat dinikmati oleh orang kaya atau ber-duit. Belakangan ini masyarakat dihebohkan dengan isu pendidikan berkualitas, sebuah pendidikan yang dalam administrasi dan sarana di dalamnya relatif lengkap. Namun, pendidikan demikian ternyata hanya dapat kita lihat di sekolah RSBI atau perguruan tinggi negeri yang ada di kota. Sebaliknya, realitas pendidikan di pedesaan sama sekali masih tidak berkualitas (untuk tidak mengatakan karut-marut).
Di sinilah dapat kita anggap bahwa pendidikan berkualitas ternyata makin tidak berpihak pada wong miskin. Alih-alih memberikan pendidikan berkualitas bagi semua, yang terjadi justru hanya dapat dinikmati oleh kalangan menengah ke atas, borjuis, dan minoritas. Masyarakat kebanyakan, terutama masyarakat pedesaan terpaksa menikmati pendidikan dengan fasilitas seadanya. Jangankan mendapat pendidikan berkualitas, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja terasa sulit. Apalagi membangun gedung-gedung atau memperbaiki sistem administratif sekolah yang mayoritas pendidikan di desa jarang mendapat kucuran dana dari pemerintah.
Pendidikan Berkebijakan Sosial
Perubahan era sentralisme ke desentralisasi ternyata sekadar ide yang pelaksanaannya lagi-lagi berpihak pada kekuasaan. Adanya Otonomi Daerah ternyata hanya dinikmati oleh kalangan birokrasi yang memegang kendali kekuasaan, baik itu di daerah  kecil maupun di kota. Tidak dapat dipungkiri bahwa ini juga memiliki konsekuensi akut terhadap dunia pendidikan dalam lingkup Nasional. Sehingga mimpi mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana visi negara Indonesia hanya berhenti sekadar catatan di atas kertas yang kian kusam.
Sebagai penyelenggara kebijakan pendidikan Nasional, Kemendiknas sudah saatnya prihatin terhadap kondisi sosial pendidikan kita. Jika di era globalisasi-modernisasi ini masyarakat benar-benar ingin diajak bersaing, menyelenggarakan pendidikan berkualitas bagi semua strata sosial (upper, midle, and lower class) harus benar-benar dilakukan. Sebuah kebijakan yang perlu dilakukan sehingga nantinya dapat menjadi basis dari tegaknya intelektualisme, profesionalisme, skill dan kreativitas masyarakat sosial secara umum. Kebijakan demikian diharapkan dapat berindikasi pada adanya kepedulian pemerintah terhadap pentingnya kebijakan dalam sistem pendidikan yang berbasis kualitas bagi semua strata sosial.
Lebih tegas, Dwiyanto Indiahono (2009) dalam Public Disobedience: Telaah Penolakan Publik Terhadap Kebijakan Pemerintah menjelaskan bahwa, pendidikan Nasional juga amat terkait erat dengan komitmen pemerintah dalam hal pemenuhan basic-need warga negara. Mendapatkan pendidikan berkualitas adalah hak publik, sehingga jika eksekutif dan legislatif tidak memperdulikannya, maka mereka pun sebenarnya tidak berpihak kepada publik. Apalagi di era Otonomi Daerah ini benar-benar harus lebih dinamis dan fleksibel. Pemerintah daerah, tidak boleh tidak, harus dapat menjembatani pemenuhan hak-hak publik secara lebih baik.
Pada babakan inilah setidaknya penting untuk dilakukan berbagai pertimbangan. Pertama, pusat perhatian dari kebijakan pemerintah setidaknya lebih khusus pada pemenuhan hak kualitas pendidikan masyarakat akar rumput (grass-roots). Ini merupakan penjelmaan dari kesadaran akan pentingnya membangun dari bawah. Membangun kualitas dari level bawah adalah bentuk dari demokrasi yang berorientasi jangka panjang. Sebab, dengan upaya ini dapat menciptakan proses membangun kualitas yang nantinya juga menentukan orientasi pendidikan Nasional yang berkualitas, terlebih kualitas di level midle and lower class.
Kedua, memenuhi proporsionalitas anggaran kepada sektor pendidikan lebih baik daripada sekadar memberikan anggaran yang diperuntukkan kepada anggota-anggota DPRD yang “tak bertanggung jawab”. Selama ini, walaupun kebijakan Otonomi Daerah telah berjalan, tetapi pemenuhan anggaran bagi berbagai program Pemda masih bias menimbulkan ketidakjelasan dan ketidakadilan. Masih banyak masyarakat sosial kita mempertanyakan ke mana anggaran untuk pelaksanaan program pemberdayaan pendidikan. Karena terbukti, lembaga pendidikan tidak terkecuali perguruan tinggi tetap memperihatinkan. Sehingga perlu ada adanya transparansi mengenai sejauh mana anggaran untuk pendidikan (daerah pedesaan) dapat direalisasikan.
Dengan demikian, dua gagasan di atas diharapkan dapat memberikan jawaban terhadapat persoalan kualitas pendidikan dengan upaya campur tangan kebijakan pemerintah yang berbasis sosial. Agenda mendesak yang harus segera direalisasikan oleh Kemendiknas adalah membangun kualitas pendidikan dari sektor masyarakat sosial yang tertinggal. Supaya membangun pendidikan berkualitas dapat dirasakan oleh semua level sosial, seperti cita-cita bersama. Semoga.

Gerakan Sosial Politik Menuju Pemilu


Walaupun pelaksanaan Pemilu 2014 masih lama, namun suasana perpolitikan di Indonesia sudah terasa. Pada 28/10 kemaren, Komisi Pemilihan Umum telah mengumumkan hasil seleksi verifikasi administrasi parta politik. Setidaknya sekitar 16 parpol yang berhasil lolos, sedangkan 18 lainnya tidak. (JP, Duta Masyarakat, Kompas 29/10/2012).
Tahap verifikasi ini setidaknya dapat dijadikan ukuran bagi partai politik yang berhasil lolos, sebagai lembaga politik guna memperjelas dan mempertegas visinya dalam mencalonkan anggotanya sebagai capres pada Pemilu nanti, minimal punya harapan menduduki parlemen dalam birokrasi.
Dalam konteks negara demokratis, partai politik dapat menyelenggarakan berbagai fungsi. Selain sebagai sarana dalam menyalurkan aneka ragam aspirasi sehingga dapat disatukan melalui komunikasi politik, parpol juga berfungsi sebagai sarana sosialisasi politik (instrument of political socialization). Fungsi yang kedua ini lebih pada tujuan bagaimana partai politik menyikapi perkembangan dan pengaruh politik terhadap masyarakat luas. Partai politik diharapkan mampu mengomunikasikan nilai-nilai dan norma-norma, untuk kemudian mendapat dukungan seluas mungkin guna menguasai pemerintahan melalui kemenangan dalam pemilu.
Akan tetapi, luas pemahaman masyarakat terhadap fenomena partai politik di Indonesia sejauh ini masih dipahami “kotor”. Pragmatisme politik sebagai “karakter” parpol dalam menguasai pemerintahan masih menimbulkan orientasi yang pincang. Menurut Dwiyanto Indiahono, perubahan ke kehidupan yang lebih baik sejak reformasi 1998 yang juga dimotori partai politik ternyata masih blum dapat “dicicipi” masyarakat bawah (grass roots). Konsekuensi dari cacat politik ini setidaknya harus menjadi “cermin diri” bagi parpol untuk kembali menata komitmen politik sehingga dalam ikhtiar politik lebih diorientasikan kesejahteraan masyarakat luas.
            Namun, gerakan politik menjelang pemilu telah banyak diwarnai persaingan yang tak sehat. Ini dapat dilihat dari informasi yang disuguhkan justeru menimbulkan kegelisahan dalam masyarakat, karena yang dikejar bukanlah kepentingan nasional, melainkan kepentingan partai yang sempit dengan menimbulkan pengkotakan politik sehingga meninggalkan konflik, baik dalam lingkup partai maupun masyarakat luas. Gerjala-gejala partai politik yang mungkin timbul pada nuansa pemilu depan ini mengingatkan penulis pada kekecewaan terhadap sistem kepartaian di Pakistan tahun 1958 sehingga berakhir pada pembubaran partai-partai politik ketika itu.
            Lebih jauh, Daniel S. Lev dalam Political Parties in Indonesia menyatakan bahwa sistem partai (multi-partai dalam sistem parlementer) yang ada di Indonesia masih menimbulkan kekacauan. Tidak ada partai politik yang memikul tanggung jawab penuh seperti yang biasanya terdapat pada partai yang menguasai pemerintahan tanpa koalisi. Sehingga, dalam spekulasi Daniel, sistem pemerintahan parlementer demikian pada akhirnya juga akan dijatuhkan oleh kekuatan-kekuatan ekstra parlementer seperti presiden dan tentara.
Gerakan Sosial (Partai) Politik
            Persoalan semisal tersebut di atas kemudian menjadi diskursus dalam gerakan partai politik, terutama dalam proses menyambut Pemilu 2014 mendatang. Gerakan politik yang dilakukan parpol selama ini tentu memerlukan sebuah kejelasan orientasi jangka panjang.
Tom Bottomore (1992) dalam Sosiologi Politik menilai bahwa salah satu cara untuk menemukan perbedaan tegas antara “gerakan” dengan “politik” adalah dengan menunjuk sifat yang kurang terorganisir dari suatu gerakan, di mana dalam gerakan tersebut mungkin tidak ada keanggotaan tetap atau keanggotaan yang mudah dikenal yang tidak memiliki jalur staf pusat. Artinya, gerakan partai politik yang bertujuan meraih kekuasaan harus juga didukung dengan adanya biografi keanggotaan yang dikenal masyarakat luas karena kiprahnya di masyarakat, setidaknya sebelum menjabat sebagai anggota politik.
Dengan demikian, orientasi gerakan partai politik setidaknya juga sealur dan searah dengan  gerakan sosial. Aspirasi dan harapan masyarakat terhadap adanya kesejahteranan dan iklim politik yang baik dan sehat menjadi modal utama. Di tengah persoalan bangsa seperti kemiskinan, keterbelakangan pengetahuan dan disorientasi nilai, gerakan partai politik setidaknya juga harus diimbangi dengan gerakan sosial. Walaupun dilihat dari lembaga pelaksana dari kedua gerakan ini berbeda, akan tetapi nantinya juga diharapkan dapat sealur karena kepentingan partai harus juga diimbangi dengan kepentingan sosial masyarakat.
Pada babakan inilah penting adanya indikasi dari gerakan sosial politik. Partai politik sebagai penyalur aspirasi dari masyarakat memiliki potensi untuk membangun kerjasama dengan lembaga-lembaga sosial semacam LSM dan sejenisnya. Begitupun lembaga sosial yang ada selain menjadi penguatan partisipasi masyarakat madani, juga sebagai instrumen masyarakat terlibat dalam proses terbentuknya clean and good governance dalam konteks Indonesia. Semoga.

Dekonstruksi Konflik Sosial dalam Kekerasan


Sudah terasa bosan hidup dalam suasana kekerasan yang ditimbulkan oleh konflik. Belum lama kita mendengar kabar tentang konflik dan kekerasan karena perbedaan paham antara Sunni dan Syi’ah di Sampang Madura, kita kembali disuguhkan informasi bentrok warga Desa Agom, Kecamatan Kalianda dengan warga Desa Balinuraga Kecamatan Waypanji, Lampung Selatan. Kekerasan yang akhirnya merengguh banyak nyawa ini dilatari modus balas dendam atas tewasnya warga Kalianda.
Sehari setelah kejadian di Lampung Selatan, bentrok susulan juga terjadi antarwarga Desa Tinggede Kecamatan Marawola Kebupaten Sigi dengan warga Kelurahan Tatura Selatan Kecamatan Palu Selatan Sulawesi Tengah. Di hari yang sama konflik juga pecah antar warga di Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, NTT. Walaupun dalam peristiwa itu tidak ada korban jiwa, tetapi kita tetap merasa miris ketika melihat masyarakat masih suka menyelesaikannya dengan cara kekerasan. Sebuah fakta kehidupan yang lagi-lagi telah mampu mengoyak sisi kemanusiaan kita.
Fenomena kekerasan yang tak kunjung berakhir di bumi Indonesia ini adalah sebuah konsekuensi dari konflik sosial yang kemudian pecah menjadi kekerasan. Mental tak mau mengalah atau egoistik yang sering menimbulkan konflik masih menjadi nalar bangsa. Sebuah nalar yang kemudian berubah menjadi aksi kekerasan karena sikap konservatisme dan miskin toleransi dipandang biasa oleh sebagian masyarakat. Bahkan nalar kekerasan dianggap karakter untuk menunjukkan superioritas dan keperkesaan individu atau kelompok.
Dalam perspektif Udo Steinbach (1988), penyebab terjadinya konflik dalam masyarakat ketika menganalisis masyarakat di Dunia Ketiga (termasuk di dalamnya Indonesia) ada empat kategorisasi: perpecahan bangsa, perkembangan yang timpang, bentrokan kultural, dan gerakan pembebasan. Dalam analisis ini, waupun keempatnya saling berkaitan, namun Steinbach mengungkap bahwa kategorisasi penyebab terjadinya konflik dalam masyarakat ini dapat dipisahkan. Artinya, menganalisa konflik yang terjadi di masyarakat adalah tergantung pada konteks di mana konflik itu terjadi.
Dalam konteks Indonesia, terutama ketika dikaitkan dengan konflik yang dilatari oleh unsur sara yang marak terjadi adalah bentrokan kultural. Ketika misalkan ada perbedaan budaya, baik itu dalam hal budaya agama ataupun adat dan tradisi masyarakat justeru malah cenderung dipertentangkan. Di sini, secara sosiologis merupakan konflik yang pada akhirnya juga akan berujung pada perpecahan, pertumpahan darah, bahkan juga akan terjadi pengebiran terhadap hak-hak asasi kemanusiaan.
Yang lebih naif lagi jika konflik pribadi individu kebanyakan dilatari oleh persoalan antarperorangan yang kemudian dibawa ke lingkup sosial yang lebih besar, sehingga melahirkan konflik berkepanjangan dan tak ayal juga banyak terjadi kekerasan. Ketidakmampuan salah seorang dari figur dalam kelompok sosial juga menjadi salah satu penyebab terjadinya konflik yang berujung pada kekerasan. Ketegangan internal antar individu atau  kelompok sosial pada akhirnya akan menciptakan perpecahan. Sehingga, dalam konteks masyarakat sudah jarang kita mendengar harmonisasi ikatan yang ada di masyarakat.
Akan tetapi, sebagian dari kita tentu juga tidak dapat memungkiri bahwa lahirnya konflik sosial yang berujung pada kekerasan juga dilatarbelakangi oleh adanya kontrol otonomi pemerintahan yang cacat. Otonomi daerah sebagai hasil dari era demokrasi saat ini ternyata juga memiliki  kecacatan. Sebab, konflik dan ketegangan internal juga banyak ditimbulkan oleh kegagalan pembangunan ekonomi dan politik. Dengan demikian, masyarakat sebenarnya juga telah menjadi “korban” atas tindakannya sendiri karena dengan tidak sadar, konflik sosial tersebut sebenarnya merupakan kegagalan pemerintah dalam membangun perdamaian sosial dan antikekerasan.
Rasa-rasanya kita juga kurang bijak jika hanya menjadikan kelompok atau masyarakat yang terlibat konflik dianggap sebagai “kambing hitam” atas timbulnya kekarasan kelompok dalam masyarakat. Sehingga dengan inilah perlu adanya kesadaran diri dan kelompok dalam menyikapi kekerasan yang telah terjadi. Sebab, menurut hemat penulis, konflik sosial yang timbul juga tergantung dari sejauh mana tingkat pengetahuan dan kesadaran masyarakat atas adanya toleransi terhadap perbedaan dalam konteks masyarakat multikultural, multietnis, multiagama dan sebagainya.
Konflik dan Integrasi Sosial
Kesadaran inilah yang nantinya dapat membentuk sebuah kesepakatan tentang adanya sikap toleran. Dalam konteks ini, menyikapi konflik lebih penting daripada mendiamkannya yang hanya akan berujung pada tindak kekerasan. Menyikapi konflik sosial yang terjadi tidak untuk ikut larut dalam persoalan di dalam konflik masyarakat, melainkan memposisikannya sebagai suatu tindakan yang wajar terjadi namun bukan lantas larut dalam bentuk kekerasan. Melainkan konflik sosial setidaknya dapat dijadikan sebagai akar dari adanya sebuah integrasi sosial.
Lewis Coser (1956) dalam The Fungtions of Social Conflict juga memberi penjelasan bahwa konflik sosial dipandang sebagai suatu perjuangan terhadap nilai dan pengakuan terhadap status yang langka, kemudian kekuasaan dan sumber-sumber pertentangan dinetralisir atau dilangsungkan, atau dieliminir saingan-saingannya. Artinya, adanya konflik sosial dipandang sebagai sesuatu yang pasti terjadi karena biasanya menyangkut nilai dan pengakuan status dari kelompok-kelompok tertentu. Akan tetapi, dalam pandangan Coser, masyarakat juga dapat memilih apakah konflik tersebut harus selalu diakhiri dengan tindak kekerasan atau dijadikan sebagai pembelajaran terbentuknya integrasi sosial.
Dengan demikian, terjadinya konflik sosial di masyarakat yang berujung pada kekerasan seperti dialami di Sampang Madura dan di Lampung Selatan kemaren, merupakan realitas sosial yang tak dapat dibantah. Akar persoalannya masih terletak pada sikap individu dalam menyikapi konflik sosial agar tidak lagi disalurkan dalam bentuk kekerasan. Melainkan pemahaman terhadap akar persoalan dan menghindarkan egoisme diri merupakan  jalan bagaimana menciptakan suasana yang jauh dari konflik, dan tidak harus berujung pada tindak kekerasan.