Mengenai Saya

Minggu, 30 Desember 2012

Terorisme, Pemuda, dan Ancaman NKRI


Di tengah optimisme memperingati sumpah pemuda yang jatuh pada 28 oktober kemaren, rakyat Indonesia kembali dikejutkan oleh aksi Detasemen Khusus (Densus) 88 yang membongkar suatu kelompok yang dinamakan Harakah Sunni untuk Masyarakat Indonesia (Hasmi). Dalam aksi itu, sebelas orang yang dituduh akan mengadakan serangan ke berbagai tempat strategis berhasil ditangkap. Salah seorang di antaranya adalah Achmad Abu Hanifah, 30, yang disebut-sebut sebagai pentolan kelompok terduga teroris Hasmi. (JP dan Harian Surya, 28/10/2012)
Selain nama Achmad, Agus Anton Figian, 31, juga menjadi tersangka teroris yang ditangkap di Madiun. Salah seorang alumni Fakultas MIPA Universitas Jember yang ketika menjadi mahasiswa sempat aktif di organisasi HMI, Agus berpindah alur mengikuti organisasi NII yang dianggap mempunyai prinsip bertentangan dengan HMI. Sehingga akhirnya, tak pernah lagi aktif sebagai anggota HMI. Dapat diduga, bahwa mayoritas anggota yang ikut dalam keroganisasian semaca NII dan Hasmi, dulunya adalah seorang mahasiswa yang aktif di berbagai organisasi mahasiswa semisal PMII, HMI, Kammi dan GMNI. Karakter dan semangat kepemudaan sebagai agent of chenge dan agent of social control menjadi sasaran utama bagi organisasi NII untuk direkrut sebagai anggota yang pada akhirnya akan menentang keutuhan NII. Sebuah segmen masyarakat yang bagi kita cukup tragis jika tetap berlanjut.
Dalam pada itu, narasi gerakan semacam NII yang berorientasi membentuk negara Islam dan merubah ideologi serta hukum yang ada di Indonesia menjadi negara yang mempunyai ideologi Islam sehingga dalam penerapan hukumnya yang menggunakan konsep syari’at Islam pada akhirnya akan mengancam keutuhan NKRI. Di saat itulah akan mucul suatu fakta yang pernah di sebut Dom Helder Camara sebagai spiral of violence (spiral kekerasan). Di mana di dalamnya terdapat sebuah resistensi dari kelompok minoritas seperti NII terhadap pemerintah Indonesia, begitupun pada akhirnya akan juga bertentangan dengan pemerintah. Sebuah gerakan Islamisasi yang akan berujung pada kekrasan antar golongan, bahkan juga antar agama ini benar-benar menjadi hambatan bagi keberlangsungan negara Indonesia. Di tengah ruetnya persoalan hukum, politik dan sosial, ternyata masih harus ada fenomena kekerasan semacam ini. Kekerasan yang akan menguak sisi kemanusiaan kita.
Menurut hemat penulis, ada tiga kecenderungan terbentuknya organisasi yang mendoktrin agar dapat didirikan negara Islam. Pertama, adanya ketidakmampuan pemerintah dalam menegakkan hukum yang ada di Indonesia. Mengingat selama ini banyak penegak hukum yang tidak menjalankan hukum sesuai dengan koridor berbangsa dan bernegara, seperti ketidakadilan dalam hukum, sehingga di dalamnya akan muncul golongan minoritas yang pada akhirnya juga akan menuntut hak-hak dasar kemanusiaan mereka. Jika hak-hak tersebut tidak dapat dipenuhi oleh negara, maka golongan tersebut akan melakukan tindakan yang dianggap ekstrim.
Kedua, romantisme berlebihan terhadap sejarah pemerintahan kelam. Buku-buku biografi tokoh yang menceritakan tentang masa keemasan Islam dulu menjadi bahan rujukan untuk menerapkan ideologi Islam. Mereka menganggap bahwa penerapan kebijakan mengenai hukum dan politik yang ada pada masa kepemimpinan khalifah masih dianggap final. Dan menerapkannya pada era kini merupakan tindakan yang menurut pandangan kalangan romantisis itu adalah suatu tindakan yang benar. Bahkan dianggap akan memperoleh pahala di sisi tuhan karena telah menjalankan perintah yang ada di dalam teks suci itu, seperti keharusan mempunyai pemimpin beragama Islam.
Ketiga, adanya doktrin dari teks kitab suci yang hanya dimaknai secara tekstualistik, semisal adanya penjelasan bahwa pemimpin harus dari kalangan Islam sehingga dalam penerapan hukum maupun politik di dalamnya merujuk pada konsep syariah Islam. Partai-partai politik yang tidak lahir dari ideologi Islam akan diberangus dan pada akhirnya dalam penerapan praktis berpolitik harus berlandaskan pada azas-azas keislaman. Nuansa berpolitik demikian dimimpikan akan membentuk iklim politik yang persis seperti masa kekhalifahan di negara-negara timur tengah.
Setidaknya, bergambar pada kecenderungan di atas juga akan mempengaruhi stabilitas politik di Indonesia. Lembaga-lembaga sosial termasuk di dalamnya lembaga pemerintahan menjadi sasaran empuk guna menerapkan konsep hukum dan politik yang berlandaskan pada nilai-nilai keislaman.  Lembaga-lembaga sosial ini akan merubah fungsi tak lebih dari sebuah masjid yang di dalamnya terdapat jama’at ibadah dan hubungan antara manusia dengan tuhan (hablum minallah), dan tanpa memperhatikan urusan keduniawian yang dikenal dengan faham Jabariyah.
Lebih jauh, Robert K. Merton dalam teori fungsionalisme sturuktural memandang bahwa dalam lembaga-lembaga sosial mengaharuskan adanya sebuah hubungan yang tanpa konflik. Harmonisasi akan tercipta ketika dalam lembaga-lembaga sosial tersebut mempunyai fungsi yang relevan pada berbagai dinamika zaman. Sebaliknya jika fungsi dari lembaga-lembaga sosial tersebut sudah tidak ada, pada akhirnya akan hilang ditelan peradaban dan zaman.
Kondisi demikian tentu tidak diinginkan dalam negara yang multikultural, multiagama, multietnis dan memiliki karakter pluralitas seperti di Indonesia. Kebhinekaan sebagai realitas kehidupan mempunyai tujuan bagaimana warga negara dituntut untuk mampu bersikap toleran. Bahkan ketika antarperbedaan tersebut mempunya latar belakang yang bertentangan baik secara ideologis maupun historis.
Dengan demikian, gerakan islamisasi seperti dilakukan oleh organisasi semacam NII dan Hasmi adalah sebuah pengingkaran terhadap nilai kebhinnekaan. Ketuhanan Yang Maha Esa seperti yang ada pada Pancasila sila pertama seakan tidak mempunyai nilai karena telah diberangus oleh keinginan suatu kelompok. Egoisme berlebihan ini pada akhirnya hanya akan menciptakan kekacauan yang berantai, justru ketika persoalan penegakan hukum, korupsi, kemiskinan dan kebodohan tengah berlangsung di negeri ini.

Menggagas Pendidikan Berkebijakan Sosial


Membincang tentang tema pendidikan selalu menarik. Di samping karena pendidikan merupakan wahana mencerdaskan kehidupan bangsa seperti tertera dalam Pembukaan UUD 1945, pendidikan juga disebut sebagai jembatan transformasi sosial. Di dalam dunia pendidikan manusia juga diajak untuk mengenal lingkungan, masyarakat, dan mengenal diri sendiri melalui proses transfer ilmu pengetahuan. Sehingga tak salah jika Paulo Freire mendefinisikan pendidikan sebagai proses pemanusiaan manusia (humanization).
Akan tetapi, cita-cita demikian belum dapat dilaksanakan dalam konteks pendidikan Nasional kita. Realitas pendidikan Nasional masih jalan di tempat, tidak dapat maju namun juga tidak mundur. Terutama mengenai kebijakan pemerintah (dalam hal ini Kemendiknas) yang kini masih diragukan. Banyak dari berbagai kalangan terutama pemerhati dan praktisi pendidikan melakukan otokritik terhadap anggaran 20% yang tak dapat dicairkan. Karena terbukti masih banyak sekolah-sekolah dan perguruan tinggi negeri yang mahal.
Akibatnya, dapat ditebak bahwa pendidikan (khususnya pendidikan negeri) hanya dapat dinikmati oleh orang kaya atau ber-duit. Belakangan ini masyarakat dihebohkan dengan isu pendidikan berkualitas, sebuah pendidikan yang dalam administrasi dan sarana di dalamnya relatif lengkap. Namun, pendidikan demikian ternyata hanya dapat kita lihat di sekolah RSBI atau perguruan tinggi negeri yang ada di kota. Sebaliknya, realitas pendidikan di pedesaan sama sekali masih tidak berkualitas (untuk tidak mengatakan karut-marut).
Di sinilah dapat kita anggap bahwa pendidikan berkualitas ternyata makin tidak berpihak pada wong miskin. Alih-alih memberikan pendidikan berkualitas bagi semua, yang terjadi justru hanya dapat dinikmati oleh kalangan menengah ke atas, borjuis, dan minoritas. Masyarakat kebanyakan, terutama masyarakat pedesaan terpaksa menikmati pendidikan dengan fasilitas seadanya. Jangankan mendapat pendidikan berkualitas, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja terasa sulit. Apalagi membangun gedung-gedung atau memperbaiki sistem administratif sekolah yang mayoritas pendidikan di desa jarang mendapat kucuran dana dari pemerintah.
Pendidikan Berkebijakan Sosial
Perubahan era sentralisme ke desentralisasi ternyata sekadar ide yang pelaksanaannya lagi-lagi berpihak pada kekuasaan. Adanya Otonomi Daerah ternyata hanya dinikmati oleh kalangan birokrasi yang memegang kendali kekuasaan, baik itu di daerah  kecil maupun di kota. Tidak dapat dipungkiri bahwa ini juga memiliki konsekuensi akut terhadap dunia pendidikan dalam lingkup Nasional. Sehingga mimpi mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana visi negara Indonesia hanya berhenti sekadar catatan di atas kertas yang kian kusam.
Sebagai penyelenggara kebijakan pendidikan Nasional, Kemendiknas sudah saatnya prihatin terhadap kondisi sosial pendidikan kita. Jika di era globalisasi-modernisasi ini masyarakat benar-benar ingin diajak bersaing, menyelenggarakan pendidikan berkualitas bagi semua strata sosial (upper, midle, and lower class) harus benar-benar dilakukan. Sebuah kebijakan yang perlu dilakukan sehingga nantinya dapat menjadi basis dari tegaknya intelektualisme, profesionalisme, skill dan kreativitas masyarakat sosial secara umum. Kebijakan demikian diharapkan dapat berindikasi pada adanya kepedulian pemerintah terhadap pentingnya kebijakan dalam sistem pendidikan yang berbasis kualitas bagi semua strata sosial.
Lebih tegas, Dwiyanto Indiahono (2009) dalam Public Disobedience: Telaah Penolakan Publik Terhadap Kebijakan Pemerintah menjelaskan bahwa, pendidikan Nasional juga amat terkait erat dengan komitmen pemerintah dalam hal pemenuhan basic-need warga negara. Mendapatkan pendidikan berkualitas adalah hak publik, sehingga jika eksekutif dan legislatif tidak memperdulikannya, maka mereka pun sebenarnya tidak berpihak kepada publik. Apalagi di era Otonomi Daerah ini benar-benar harus lebih dinamis dan fleksibel. Pemerintah daerah, tidak boleh tidak, harus dapat menjembatani pemenuhan hak-hak publik secara lebih baik.
Pada babakan inilah setidaknya penting untuk dilakukan berbagai pertimbangan. Pertama, pusat perhatian dari kebijakan pemerintah setidaknya lebih khusus pada pemenuhan hak kualitas pendidikan masyarakat akar rumput (grass-roots). Ini merupakan penjelmaan dari kesadaran akan pentingnya membangun dari bawah. Membangun kualitas dari level bawah adalah bentuk dari demokrasi yang berorientasi jangka panjang. Sebab, dengan upaya ini dapat menciptakan proses membangun kualitas yang nantinya juga menentukan orientasi pendidikan Nasional yang berkualitas, terlebih kualitas di level midle and lower class.
Kedua, memenuhi proporsionalitas anggaran kepada sektor pendidikan lebih baik daripada sekadar memberikan anggaran yang diperuntukkan kepada anggota-anggota DPRD yang “tak bertanggung jawab”. Selama ini, walaupun kebijakan Otonomi Daerah telah berjalan, tetapi pemenuhan anggaran bagi berbagai program Pemda masih bias menimbulkan ketidakjelasan dan ketidakadilan. Masih banyak masyarakat sosial kita mempertanyakan ke mana anggaran untuk pelaksanaan program pemberdayaan pendidikan. Karena terbukti, lembaga pendidikan tidak terkecuali perguruan tinggi tetap memperihatinkan. Sehingga perlu ada adanya transparansi mengenai sejauh mana anggaran untuk pendidikan (daerah pedesaan) dapat direalisasikan.
Dengan demikian, dua gagasan di atas diharapkan dapat memberikan jawaban terhadapat persoalan kualitas pendidikan dengan upaya campur tangan kebijakan pemerintah yang berbasis sosial. Agenda mendesak yang harus segera direalisasikan oleh Kemendiknas adalah membangun kualitas pendidikan dari sektor masyarakat sosial yang tertinggal. Supaya membangun pendidikan berkualitas dapat dirasakan oleh semua level sosial, seperti cita-cita bersama. Semoga.

Gerakan Sosial Politik Menuju Pemilu


Walaupun pelaksanaan Pemilu 2014 masih lama, namun suasana perpolitikan di Indonesia sudah terasa. Pada 28/10 kemaren, Komisi Pemilihan Umum telah mengumumkan hasil seleksi verifikasi administrasi parta politik. Setidaknya sekitar 16 parpol yang berhasil lolos, sedangkan 18 lainnya tidak. (JP, Duta Masyarakat, Kompas 29/10/2012).
Tahap verifikasi ini setidaknya dapat dijadikan ukuran bagi partai politik yang berhasil lolos, sebagai lembaga politik guna memperjelas dan mempertegas visinya dalam mencalonkan anggotanya sebagai capres pada Pemilu nanti, minimal punya harapan menduduki parlemen dalam birokrasi.
Dalam konteks negara demokratis, partai politik dapat menyelenggarakan berbagai fungsi. Selain sebagai sarana dalam menyalurkan aneka ragam aspirasi sehingga dapat disatukan melalui komunikasi politik, parpol juga berfungsi sebagai sarana sosialisasi politik (instrument of political socialization). Fungsi yang kedua ini lebih pada tujuan bagaimana partai politik menyikapi perkembangan dan pengaruh politik terhadap masyarakat luas. Partai politik diharapkan mampu mengomunikasikan nilai-nilai dan norma-norma, untuk kemudian mendapat dukungan seluas mungkin guna menguasai pemerintahan melalui kemenangan dalam pemilu.
Akan tetapi, luas pemahaman masyarakat terhadap fenomena partai politik di Indonesia sejauh ini masih dipahami “kotor”. Pragmatisme politik sebagai “karakter” parpol dalam menguasai pemerintahan masih menimbulkan orientasi yang pincang. Menurut Dwiyanto Indiahono, perubahan ke kehidupan yang lebih baik sejak reformasi 1998 yang juga dimotori partai politik ternyata masih blum dapat “dicicipi” masyarakat bawah (grass roots). Konsekuensi dari cacat politik ini setidaknya harus menjadi “cermin diri” bagi parpol untuk kembali menata komitmen politik sehingga dalam ikhtiar politik lebih diorientasikan kesejahteraan masyarakat luas.
            Namun, gerakan politik menjelang pemilu telah banyak diwarnai persaingan yang tak sehat. Ini dapat dilihat dari informasi yang disuguhkan justeru menimbulkan kegelisahan dalam masyarakat, karena yang dikejar bukanlah kepentingan nasional, melainkan kepentingan partai yang sempit dengan menimbulkan pengkotakan politik sehingga meninggalkan konflik, baik dalam lingkup partai maupun masyarakat luas. Gerjala-gejala partai politik yang mungkin timbul pada nuansa pemilu depan ini mengingatkan penulis pada kekecewaan terhadap sistem kepartaian di Pakistan tahun 1958 sehingga berakhir pada pembubaran partai-partai politik ketika itu.
            Lebih jauh, Daniel S. Lev dalam Political Parties in Indonesia menyatakan bahwa sistem partai (multi-partai dalam sistem parlementer) yang ada di Indonesia masih menimbulkan kekacauan. Tidak ada partai politik yang memikul tanggung jawab penuh seperti yang biasanya terdapat pada partai yang menguasai pemerintahan tanpa koalisi. Sehingga, dalam spekulasi Daniel, sistem pemerintahan parlementer demikian pada akhirnya juga akan dijatuhkan oleh kekuatan-kekuatan ekstra parlementer seperti presiden dan tentara.
Gerakan Sosial (Partai) Politik
            Persoalan semisal tersebut di atas kemudian menjadi diskursus dalam gerakan partai politik, terutama dalam proses menyambut Pemilu 2014 mendatang. Gerakan politik yang dilakukan parpol selama ini tentu memerlukan sebuah kejelasan orientasi jangka panjang.
Tom Bottomore (1992) dalam Sosiologi Politik menilai bahwa salah satu cara untuk menemukan perbedaan tegas antara “gerakan” dengan “politik” adalah dengan menunjuk sifat yang kurang terorganisir dari suatu gerakan, di mana dalam gerakan tersebut mungkin tidak ada keanggotaan tetap atau keanggotaan yang mudah dikenal yang tidak memiliki jalur staf pusat. Artinya, gerakan partai politik yang bertujuan meraih kekuasaan harus juga didukung dengan adanya biografi keanggotaan yang dikenal masyarakat luas karena kiprahnya di masyarakat, setidaknya sebelum menjabat sebagai anggota politik.
Dengan demikian, orientasi gerakan partai politik setidaknya juga sealur dan searah dengan  gerakan sosial. Aspirasi dan harapan masyarakat terhadap adanya kesejahteranan dan iklim politik yang baik dan sehat menjadi modal utama. Di tengah persoalan bangsa seperti kemiskinan, keterbelakangan pengetahuan dan disorientasi nilai, gerakan partai politik setidaknya juga harus diimbangi dengan gerakan sosial. Walaupun dilihat dari lembaga pelaksana dari kedua gerakan ini berbeda, akan tetapi nantinya juga diharapkan dapat sealur karena kepentingan partai harus juga diimbangi dengan kepentingan sosial masyarakat.
Pada babakan inilah penting adanya indikasi dari gerakan sosial politik. Partai politik sebagai penyalur aspirasi dari masyarakat memiliki potensi untuk membangun kerjasama dengan lembaga-lembaga sosial semacam LSM dan sejenisnya. Begitupun lembaga sosial yang ada selain menjadi penguatan partisipasi masyarakat madani, juga sebagai instrumen masyarakat terlibat dalam proses terbentuknya clean and good governance dalam konteks Indonesia. Semoga.

Dekonstruksi Konflik Sosial dalam Kekerasan


Sudah terasa bosan hidup dalam suasana kekerasan yang ditimbulkan oleh konflik. Belum lama kita mendengar kabar tentang konflik dan kekerasan karena perbedaan paham antara Sunni dan Syi’ah di Sampang Madura, kita kembali disuguhkan informasi bentrok warga Desa Agom, Kecamatan Kalianda dengan warga Desa Balinuraga Kecamatan Waypanji, Lampung Selatan. Kekerasan yang akhirnya merengguh banyak nyawa ini dilatari modus balas dendam atas tewasnya warga Kalianda.
Sehari setelah kejadian di Lampung Selatan, bentrok susulan juga terjadi antarwarga Desa Tinggede Kecamatan Marawola Kebupaten Sigi dengan warga Kelurahan Tatura Selatan Kecamatan Palu Selatan Sulawesi Tengah. Di hari yang sama konflik juga pecah antar warga di Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, NTT. Walaupun dalam peristiwa itu tidak ada korban jiwa, tetapi kita tetap merasa miris ketika melihat masyarakat masih suka menyelesaikannya dengan cara kekerasan. Sebuah fakta kehidupan yang lagi-lagi telah mampu mengoyak sisi kemanusiaan kita.
Fenomena kekerasan yang tak kunjung berakhir di bumi Indonesia ini adalah sebuah konsekuensi dari konflik sosial yang kemudian pecah menjadi kekerasan. Mental tak mau mengalah atau egoistik yang sering menimbulkan konflik masih menjadi nalar bangsa. Sebuah nalar yang kemudian berubah menjadi aksi kekerasan karena sikap konservatisme dan miskin toleransi dipandang biasa oleh sebagian masyarakat. Bahkan nalar kekerasan dianggap karakter untuk menunjukkan superioritas dan keperkesaan individu atau kelompok.
Dalam perspektif Udo Steinbach (1988), penyebab terjadinya konflik dalam masyarakat ketika menganalisis masyarakat di Dunia Ketiga (termasuk di dalamnya Indonesia) ada empat kategorisasi: perpecahan bangsa, perkembangan yang timpang, bentrokan kultural, dan gerakan pembebasan. Dalam analisis ini, waupun keempatnya saling berkaitan, namun Steinbach mengungkap bahwa kategorisasi penyebab terjadinya konflik dalam masyarakat ini dapat dipisahkan. Artinya, menganalisa konflik yang terjadi di masyarakat adalah tergantung pada konteks di mana konflik itu terjadi.
Dalam konteks Indonesia, terutama ketika dikaitkan dengan konflik yang dilatari oleh unsur sara yang marak terjadi adalah bentrokan kultural. Ketika misalkan ada perbedaan budaya, baik itu dalam hal budaya agama ataupun adat dan tradisi masyarakat justeru malah cenderung dipertentangkan. Di sini, secara sosiologis merupakan konflik yang pada akhirnya juga akan berujung pada perpecahan, pertumpahan darah, bahkan juga akan terjadi pengebiran terhadap hak-hak asasi kemanusiaan.
Yang lebih naif lagi jika konflik pribadi individu kebanyakan dilatari oleh persoalan antarperorangan yang kemudian dibawa ke lingkup sosial yang lebih besar, sehingga melahirkan konflik berkepanjangan dan tak ayal juga banyak terjadi kekerasan. Ketidakmampuan salah seorang dari figur dalam kelompok sosial juga menjadi salah satu penyebab terjadinya konflik yang berujung pada kekerasan. Ketegangan internal antar individu atau  kelompok sosial pada akhirnya akan menciptakan perpecahan. Sehingga, dalam konteks masyarakat sudah jarang kita mendengar harmonisasi ikatan yang ada di masyarakat.
Akan tetapi, sebagian dari kita tentu juga tidak dapat memungkiri bahwa lahirnya konflik sosial yang berujung pada kekerasan juga dilatarbelakangi oleh adanya kontrol otonomi pemerintahan yang cacat. Otonomi daerah sebagai hasil dari era demokrasi saat ini ternyata juga memiliki  kecacatan. Sebab, konflik dan ketegangan internal juga banyak ditimbulkan oleh kegagalan pembangunan ekonomi dan politik. Dengan demikian, masyarakat sebenarnya juga telah menjadi “korban” atas tindakannya sendiri karena dengan tidak sadar, konflik sosial tersebut sebenarnya merupakan kegagalan pemerintah dalam membangun perdamaian sosial dan antikekerasan.
Rasa-rasanya kita juga kurang bijak jika hanya menjadikan kelompok atau masyarakat yang terlibat konflik dianggap sebagai “kambing hitam” atas timbulnya kekarasan kelompok dalam masyarakat. Sehingga dengan inilah perlu adanya kesadaran diri dan kelompok dalam menyikapi kekerasan yang telah terjadi. Sebab, menurut hemat penulis, konflik sosial yang timbul juga tergantung dari sejauh mana tingkat pengetahuan dan kesadaran masyarakat atas adanya toleransi terhadap perbedaan dalam konteks masyarakat multikultural, multietnis, multiagama dan sebagainya.
Konflik dan Integrasi Sosial
Kesadaran inilah yang nantinya dapat membentuk sebuah kesepakatan tentang adanya sikap toleran. Dalam konteks ini, menyikapi konflik lebih penting daripada mendiamkannya yang hanya akan berujung pada tindak kekerasan. Menyikapi konflik sosial yang terjadi tidak untuk ikut larut dalam persoalan di dalam konflik masyarakat, melainkan memposisikannya sebagai suatu tindakan yang wajar terjadi namun bukan lantas larut dalam bentuk kekerasan. Melainkan konflik sosial setidaknya dapat dijadikan sebagai akar dari adanya sebuah integrasi sosial.
Lewis Coser (1956) dalam The Fungtions of Social Conflict juga memberi penjelasan bahwa konflik sosial dipandang sebagai suatu perjuangan terhadap nilai dan pengakuan terhadap status yang langka, kemudian kekuasaan dan sumber-sumber pertentangan dinetralisir atau dilangsungkan, atau dieliminir saingan-saingannya. Artinya, adanya konflik sosial dipandang sebagai sesuatu yang pasti terjadi karena biasanya menyangkut nilai dan pengakuan status dari kelompok-kelompok tertentu. Akan tetapi, dalam pandangan Coser, masyarakat juga dapat memilih apakah konflik tersebut harus selalu diakhiri dengan tindak kekerasan atau dijadikan sebagai pembelajaran terbentuknya integrasi sosial.
Dengan demikian, terjadinya konflik sosial di masyarakat yang berujung pada kekerasan seperti dialami di Sampang Madura dan di Lampung Selatan kemaren, merupakan realitas sosial yang tak dapat dibantah. Akar persoalannya masih terletak pada sikap individu dalam menyikapi konflik sosial agar tidak lagi disalurkan dalam bentuk kekerasan. Melainkan pemahaman terhadap akar persoalan dan menghindarkan egoisme diri merupakan  jalan bagaimana menciptakan suasana yang jauh dari konflik, dan tidak harus berujung pada tindak kekerasan.

Minggu, 27 Mei 2012

This is One of Life’s Problems

Kehidupan ini seakan berada di dua jalan, yang kedua jalan itu sudah sangat tipis perbedaannya. Ada kebaikan dan keburukan, ada kebenaran dan ada kesalahan, dan banyak contoh lagi tentang ini. Atau malah antara kebaikan dan keburukan, kebenaran dan kesalahan telah diputarbalikkan faktanya sehingga mengaburkan esensinya.
Saya tidak dapat melihat keburukan di balik kebaikan dan kesalahan di balik kebenaran. Namun saya hanya dapat merasakannya bahwa di setiap adanya kebaikan yang sebenarnya dibaikbaikan padahal di balik kebaikan itulah keburukan, dan ada kebenaran yang sebenarnya dibenarbenarkan padahal di balik kebenaran itulah kesalahan.
Semuanya seakan terjebak pada logikanya masing-masing, hingga akhirnya ada kata “menang” dan ada juga kata “kalah”. Bahkan kalah dan menang masing-masing ada logikanya. Jika sudah demikian, saya yakin emosional lah yang akan jadi korban. Setelah menyentuh ke hal emosional inilah terkadang akan muncul permusuhan, ketidakpercayaan, kecurigaan, iri, dan bahkan egoisme.
Jika tak ada komunikasi dan interaksi yang mengarah pada perbaikan, kehidupan ini akan selalu terkotak-kotak, ada berbagai sudut pandang namun tidak bisa disatukan. Pada akhirnya tetap, tak ada yang namanya kemajuan, tak ada yang namanya harmonisme, melainkan hanya terjatuh dalam kecurigaan semu.
Coba lihatlah masa setengah abad lebih yang lalu. Ketika rakyat Indonesia bersama-sama menentukan satu tujuan: kemerdekaan. Walaupun mereka berbeda-beda, dan ada banyak sudut pandang, namun dengan jalinan komunikasi dan interaksi yang lekat dan tahan lama, akhirnya mampu menembus batas kecurigaan, ketakpercayaan, untuk tetap menjadikan mereka bangsa yang merdeka dengan satu nama: Indonesia.
Maka buanglah gengsi untuk saling bertukar pendapat, lenyapkanlah kelesuan untuk kembali membangun satu tujuan. Berikanlah penghargaan, walaupun hanya berupa senyuman, kepada mereka yang berbeda pendapat denganmu. Dan semuanya akan tercipta harmonisme dalam keseharian hingga kau dapat menemukan apa itu kemajuan. Semoga!

Jumat, 11 Mei 2012

IKSBAR dan Nostalgia Kepemimpinan yang Gagal

Sepanjang kepemimpinan Penulis di organisasi yang diibaratkan dengan sebuah “mobil nyungsep” dan harus dibawa ke bengkel, berbagai kecacatan ada dalam organisasi yang lahir dari masyarakat Desa Celurit itu. Kepudaran potensi dan eksistensi yang dirasakan Penulis belakangan ini justru menjadi sebuah pelajaran hidup. Betapa sulitnya mempertahankan dan memajukannya jika komponen-komponen penting tidak begitu memiliki ghirah, sehingga wajar ketika seorang pemimpin kerapkali harus dihadapkan pada “kekerdilan potensialitas”; yang mulai dulu sudah terbangun.
“Kecenderungan” kepada lain jenis sehingga melahirkan “keindahan sementara” dalam “sindrom kasmaran” yang menjangkiti mayoritas “kernet” (baca: Pengurus, dan tak terkecuali “Sopir”[2]-nya) justru membuat Penulis semakin gamang menjamah masa depan. Alasannya jelas, karena Penulis masih berada dalam lingkungan yang agamis di lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Kegamangan itu terlahir ketika harus dihadapkan pada ‘absurditas yang dipuji-puji’ (baca: barokah). Karena barokah seumpama “nilai lebih” yang tidak bisa didapat jika terus melayani dan menjalin hubungan (yang bisa disebut dengan) kasmaranisme[3].
Walaupun statement ini belum tentu menjadi kebenaran universal, namun setidaknya realitas lingkungan telah membuktikannya secara gamblang pada generasi-generasi sebelumnya. Misalnya yang terjadi pada Ahmad Fawaid[4] yang--kabarnya sekarang--sudah tidak lagi memiliki komitmen konkret karena telah terjebak pada kasmaranisme budaya “pink”. Bukti ini semakin memojokkan Penulis karena terus dibayang-bayangi oleh kegagalan individual yang pada akhirnya akan mengubur idealisme kehidupan masa depan.
Bukannya penulis merasa pesimis, namun pembacaan realistis pada individu-individu yang mulai mengalami pemudaran potensialisme semakin membuktikan hipotesa yang (setidaknya) harus diakui kebenarannya secara universal bahwa, sekuat apapun komitmen seseorang jika ia tidak mampu membangun dan mengonkretkan prinsip hidupnya, maka ia akan menjadi orang yang paling gagal dalam kehidupan. Sungguh kenyataan yang ironis jika ini harus dialami oleh Penulis sebagai “Sopir” di Mobil IKSBAR.
Ada fakta lain yang (mungkin) lebih besifat magis, tetapi bisa dirasionalisasikan melalui pembacaan kritis dan kontemplatif yakni, mental sibuk(isme) yang akan melahirkan sebuah konsekuensi logis pada penurunan semangat mencari bakat potensi diri. Ketika “dipaksa” berpegang teguh pada prinsip sosialisme, seorang individu justru menjadi lelah dan tidak yakin akan eksistensialitas dirinya. Prinsip sosialistik yang menjadi dasar dan komitmen dalam suatu organisasi, diakui atau tidak, akan menjadi momok menakutkan bagi seorang pemimpin yang masih berada pada taraf pencarian jati diri. Karena, secara tidak langsung, karakter dan kepribadiannya akan digadaikan dengan sebuah kepentingan yang belum tentu terbaik bagi perkembangan dan penegasan komitmen masa depannya.
Talenta karakter kepemimpinan yang masih minim menjadi faktor lain atas lumpuhnya sebuah organisasi. Walaupun, sebenarnya, kedewasaan berfikir seseorang bukan dari faktor usia, namun kondisi emosional-psikologis yang belum mencapai stabilitas klimaks pada diri seorang remaja[5] justru akan memperlemah anatomi keorganisasian. Ketidakjelasan tujuan yang dilatari oleh pertentangan antar-ideologi individualisme-sosialisme menjadi sebuah konsekuensi logis yang tak tertanggungkan.
Padahal, Penulis sendiri sadar bahwa, sosialisme adalah sebuah komitmen yang harus menjadi prinsip dalam diri seorang pemimpin tanpa ada kecenderungan individualisme sedikitpun. Karena dengan sosialisme-lah pada tataran aplikasinya akan menciptakan atmosfir demokratis dalam tubuh organisasi, kebangsaan dan kenegaraan. Namun Penulis belum bisa memegang teguh prinsip dasar demokrasi itu, karena keperibadian ini masih harus mencapai idealisme individual sebagai langkah awal menuju perbaikan derajat kehidupan.
Inilah kerancuan paradigma psikologis yang dirasakan Penulis sejauh kepemimpinan dirinya di IKSBAR. Istilah “Pemimpin yang Gagal” (mungkin) yang patut disandangkan kepada Penulis justru harus dijadikan “cambuk” bagi generasi-generasi selanjutnya. Kemajuan dan kesuksesan dalam hal keorganisasian yang bersifat pembelajaran (organizing of education)[6] bukan diukur dari sejauh mana Ia melaksanakan proker formal, melainkan pemberdayaan dialogis yang mampu melahirkan individu-individu (baca: kader) kritis dan mumpuni[7] ketika telah terjun ke dunia nyata yang dinamai dengan “masyarakat”, kelak!
Dengan demikian, tulisan ini hanya sekadar curahan hati Penulis atas kepemimpinannya yang telah gagal. Sebuah harapan dari penulis kepada generasi-generasi selanjutnya: dalam hal keorganisasian, kestrukturan jangan hanya dimaknai sebagai formalitas di atas kertas. Struktur organisasi harus jelas seperti keanggotaan baik putra maupun putri[8]. Karena struktur menggambarkan sakralitas dan soliditas yang harus dibangun sejak awal guna memudahkan kordinasi antar-anatomi dalam tubuh organisasi.
Sebagai bagian akhir, Penulis mencoba menyajikan sebuah lagu yang mungkin cukup representatif bagi akhir pengembaraan panjang Penulis selama satu periode di Organisasi IKSBAR;
Takkan selamanya…
Tanganku mendekapmu,
Takkan selamanya…
Raga ini menjagamu
Seperti alunan detak jantungku
Tak bertahan melawan waktu
Dan semua keindahan yang memudar
Atau cinta yang ‘tlah hilang
Tak ada yang abadi…
Tak ada yang abadi…
Tak ada yang abadi…
Tak ada yang abadi…
Owww..
Biarkan aku bernafas, sejenak, sebelum hilang…..
Takkan selamanya tanganku mendekapmu,
Takkan selamanya raga ini menjagamu
Jiwa yang lama segera pergi…
Bersiaplah para pengganti[9].
  Wassalamu’alaikum.
*) Tulisan ini berdasarkan pengalaman pribadi penulis ketika menjabat sebagai Ketua Organisasi Daerah Ikatan Keluarga Santri Bragung (IKSBAR)




[1] Tulisan sederhana ini berdasarkan pengalaman Penulis selama kepemimpinannya di Orda Ikatan Keluarga Santri Bragung (IKSBAR) periode 2009-2010 M. Kemudian judul di atas Penulis terinspirasi kepada tulisan Fathorrahman Hasbul yang menengarai bahwa sumber kecacatan seorang pemimpin ialah ketika pemimpin itu telah menjadikan jabatannya sebagai wahana meraup kebahagiaan pribadinya dengan mencari kehidupan dalam anggaran organisasi, serta korupsi kesempatan dan jabatan dengan menjalin asmara di balik asrama. Lebih jelasnya lihat: Fathorrahman Hasbul, Benih Potensial Pendidikan Antikorupsi (Majalah Muara edisi XXXII, 2010), hlm: 44-45.
[2] Hal ini dialami Penulis (sebagai Sopir) ketika di awal kepemimpinannya sempat mengalami “kecelakaan” sejarah dan hampir terjun ke dunia pink. Istilah “Sopir” pun lahir karena peristiwa yang tak disangka itu.
[3] Istilah ini (baca: kasmaranisme) dipakai ketika seseorang telah terjangkit virus suka antarlawan jenis sehingga berkonsekuensi pada pacaran dan sebagainya.
[4] Ahmad Fawaid adalah alumni PPA. Lubsel, pada waktu masih nyantri pernah menjuarai lomba LKTI Nasional. Namun kabarnya, ketika sudah tinggal di Jogja (untuk kuliah) produktivitasnya malah mengalami penurunan, karena telah terkontaminasi oleh virus pink.    
[5]  Pemimpinnya kan masih dalam usia remaja. Dan mungkin inilah alasan mengapa saya agak pesimis di organisasi (ketika berbincang dengan mbak mahfudhah kemaren), karena memang kondisi emosional-psikologis yang masih belum mencapai kedewasaan. Tapi akhirnya saya sadar bahwa berorganisasi itu memang penting dengan tidak menafikan potensi yang lain. 
[6] Organizing of education sebagai wahana pembelajaran dalam meningkatkan kecerdasan emosional, intelektual dan spiritual santri yang nantinya dapat memeberikan kontribusi urgen untuk masyarakat, bangsa dan Negara.  
[7] Mengacu pada visi misi organisasi IKSBAR yakni, berdisiplin, bertanggung jawab, kritis, kreatif, inovatif, populis dan up to date serta memerankan nilai-nilai ukhwah islamiyah.
[8]  Kalau perlu (bukan hanya perlu tapi wajib), di putri harus ada struktur yang legal formal sehingga membentuk sebuah “organisasi ideal”. Namun dalam pmebuatan program kerja jangan terlalu muluk-muluk, intinya dapat terorganisir dengan baik.
[9] Lagu dari grup band Peterpan dengan judul: “Tak Ada yang Abadi”. Ini muncul sebagai penegasan bahwa kepemimpinan seseorang pasti berada di atas “menara gading”. Dan (seperti kata pepatah) ‘tak ada gading yang tak retak’. Sehingga diperlukan generasi yang dapat memperbaiki dan mengokohkan kembali gading itu. Berjuanglah…!

Jumat, 04 Mei 2012

mengagumimu

aku ingin mengagumimu. sembari memanggilmu sahabat. bukan seorang kekasih, apalagi seorang musuh. lalu akan kujumpai kau di kursi itu. sesekali berbicara tentang masing-masing bakat kita. berbagi kisah tentang kejadian yang kau alami. dan akan aku ceritakan padamu tentang penderitaanku. mengajarkanmu tentang kesendirian. lalu kau mengajakku ke tempat terindah yang menjelaskan pada kita tentang kebijaksanaan dan kebahagiaan. dari sanalah kita memulai perjalanan baru. menuliskan sebuah kisah pada kertas putih pemberianmu.

(Surabaya, 15 Februari 2012)

Semuanya Karena Aku Merasa Kesepian

Semuanya karena aku merasa kesepian. Seperti pagi ditikam mentari. Kesejukan itu telah berubah panas, membara, satu-persatu berguguran. Membasahi tanah yang kini berubah jalan-jalan tol dan gedung-gedung metropolis. Tak punya perasaan.
Semuanya karena aku merasa kesepian. Seperti bunga layu diracun sang waktu. Tak berdaya. Kelam. Seakan semuanya suram. Tak punya masa depan.  Bahkan asa itu kini tertutup kabut hitam pekat. Hanya menyisakan lolongan. Namun tak ada seorangpun mendengar.
Semuanya karena aku merasa kesepian. Langkah kaki perlahan menjauhi kehidupan. Mencari titik terang. Kadang terpeleset dan terjerembab pada jurang gelap. Mataku pun kedap. Hanya ada beberapa mata yang mengolok-olok. Merobek ketenangan.
Semuanya karena aku merasa kesepian. Berharap hujan akan menghapus tangisan malam. Hingga menyelami mimpi-mimpi orang yang rindu keadilan dan kebahagiaan. Bukan lagi langkah kosong dari ambisi kekuasaan dan kerakusan.
Semuanya karena aku merasa kesepian. Merindukan kasih sayang, cinta, dan kedamaian. Dalam kesejukannya, keindahannya. Bersamamu. Kekasihku. Manisku. Di sini. Di malam ini.

Suara Rakyat yang Galau (Refleksi Demo BBM)

Mengiringi kebijakan pemerintah tentang naiknya harga BBM yang akan diberlakukan pada 01 April 2012, rakyat tak henti-hentinya melakukan perlawanan. Berbagai aksi demonstrasi di berbagai kota, seperti di Jogjakarta, Kalimantan, Makassar, Malang, bahkan Jakarta kini telah mengiringinya.
Tepatnya tanggal 27-28 Maret 2012 demo besar –besaran akhirnya juga terjadi di kota Surabaya. Diperkirakan kurang lebih 72.000 orang dari berbagai kalangan turun ke jalan. Pom bensin dijaga ketat oleh aparat. Bahkan sempat terjadi kemacetan diberbagai daerah di Surabya seperti Jalan Pemuda, Tunjungan dan daerah lainnya.
Berbagai aksi demonstrasi tersebut menunjukkan kegalauan rakyat atas kebijakan pemerintah yang cenderung idealistik an-sich, nampak memiliki tujuan jangka panjang namun tidak dibarengi pemberdayaan rakyat secara riil. Betapa tidak, naiknya harga BBM yang dilatari karena melonjaknya harga minyak mentah di pasar Internasional hingga lebih dari 104,70 dollar AS per barel, hanya berdasarkan spekulasi angka dengan dalih menyelamatkan APBN. Di luar itu, hingga hari ini pemerintah belum mengantisipasi dampak luas yang akan dirasakan rakyat.
Pemerintah seakan miskin inovasi. Contohnya, dari hasil kenaikan harga BBM sebesar 25 triliun, akan digunakan untuk BLT. Padahal, pemeberlakuan BLT banyak menyisakan dampak dan masalah yang cukup akut. Ini bukan hanya masalah efektivitas dan efisiensi kebijakan yang banyak diragukan, apalagi bila teringat kalau naiknya BBM adalah kondisi defisit keuangan Negara yang bertolak belakang dengan BLT. Tetapi pemberlakuan BLT juga sama sekali tidak memberdayakan, bahkan hanya akan membuat karakter rakyat yang selalu dimanja dan menjadi bangsa “peminta-minta”.
Pada gilirannya kemiskinan akan tetap diderita. Kebijakan menaikkan BBM yang tak bisa dibendung ataupun program BLT yang tak memberdayakan, hanya semakin melukai nurani rakyat. Betapa galaunya rakyat jelata. Betapa tak bergunanya suara-suara lantang, menentang kebijakan naiknya BBM tersebut. Setelah ribuan bahkan jutaan mahasiswa, buruh, maupun aktivis-aktivis LSM di berbagai daerah di Nusantara menolak naiknya BBM, namun tetap tak kunjung mengundang simpati pemerintah. Rakyat tetap galau.
Yang bisa dilakukan hanya menunggu dan berusaha sebisabisanya. Menunggu bukan berarti terjatuh dalam kebisuan, ketakberdayaan, dan ketakacuhan. Melainkan bertumpu pada sikap tegas (affirmation) untuk berpikir dan bertindak demi kemakmuran dan kesejahteraan tiap pribadi seseorang. Karena sikap pemerintah yang kian hari kian tak berpihak pada kesejahteraan rakyat, rakyat tak bisa lagi bergantung pada pemerintah.
Pemerintah bukan Dewa, juga bukan Tuhan. Mereka hanya orang-orang yang bisa diharapkan memberi perubahan ke arah yang lebih baik. Jika pemerintah tak bisa memberi yang terbaik, rakyatlah yang harus menjadi pemerintah, memerintah diri sendiri dan memerdekakan diri dari penindasan dan kebijakan yang terasa mencekik itu.
Naiknya BBM hanya bagian dari persoalan yang melilit negeri ini, selain masalah korupsi, tumpulnya penegak hukum, dan seabrek masalah lainnya. Mungkin saya hanya bisa memikirkan atau paling tidak berangan-angan bagaiamana suatu saat rakyat bisa membangun peradaban baru. Sebuah peradaban di mana tak ada lagi kata menindas, ataupun merasa ditindas. Semuanya dalam kondisi merdeka untuk menentukan nasib hidupnya, dalam suatu ikatan moral yang agung, moral kemanusiaan.
Harapan ini mungkin terlahir dari kerpercayaan atau sekadar sugesti saya bahwa setiap manusia memiliki pikiran dan hati yang selalu menuntun ke arah menjadi makhluk merdeka. Karena seperti kata seorang novelis Mesir bernama Naguib Mahfouz kalau “peradaban manusia tidak ditentukan oleh apa yang dimilikinya, tetapi oleh denyut pikiran dan hatinya.”
Akhirnya, mewakili kegalauan yang lahir dari rasa sakit nurani rakyat atas kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM, saya hanya bisa berharap bahwa kegalauan itu bisa tersembuhkan dengan menggunakan obat pikiran dan perasaan untuk melangkah menjadi manusia yang benar-benar merdeka.
Merdekakan! Merdeka! Semangat!

*) tulisan ini pendapat pribadi…