Mengenai Saya

Sabtu, 06 Februari 2016

Memaksimalkan Potensi Laut Kita

Oleh: Muhammad Mihrob *)
Memperingati Hari Laut Sedunia tanggal 8 Juni ini lalu, hal penting untuk direfleksikan adalah memaksimalkan potensi laut kita. Dengan luas wilayah laut yang mencapai 5,8 juta meter persegi dan menjadi poros maritim dunia, Indonesia merupakan negara yang dapat memakmurkan warga negaranya jika potensi laut dapat dimaksimalkan dengan baik.
Menurut laporan yang dirilis Food Agricultural Organization (FAO), produksi ikan dunia dari kegiatan penangkapan di laut maupun di perairan umum cenderung stagnan, yakni 93,5 persen pada 2012. Begitupun dengan Indonesia yang hanya mampu memanfaatkan kekayaan laut mencapai 5,71 juta ton ikan atau sekitar 77,38 persen. Sementara pada tahun 2015 ini, menurut Asisten Operasi KSAL Laksamana Muda TNI Didit Herdiawan, pemanfaatannya hanya 66 persen saja.
Diberhentikannya izin penangkapan ikan oleh kapal asing membuat mereka tidak lagi mengeksploitasi kekayaan laut kita di Indonesia. Kebijakan ini terbukti efektif. Dari 1300 kapal asing yang dulu berlayar di perairan Indonesia, pada tahun ini hanya ada sekitar 67 kapal yang tersisa.
Berdasarkan data di atas terdapat dua hal penting yang perlu diperhatikan. Pertama, maksimalisasi potensi laut menjadi kewajiban yang harus direalisasikan oleh pemerintah dan warga negara Indonesia. Dalam hal ini, dibutuhkan kerjasama antara pemangku kebijakan (Kementerian Kelautan dan Perikanan) dan nelayan sebagai action people dalam memanfaatkan potensi laut kita.
Kedua, maksimalisasi potensi laut sejatinya juga perlu mempertimbangkan ketahanan reproduksi ikan di laut. Artinya, penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan juga penting memikirkan keberlangsungan reproduksi ikan dan tidak merusak estetika maupun kekayaan pesona alam kelautan kita.

Jangka Panjang
Sejauh ini, sangat tepat langkah Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengeluarkan peraturan tentang larangan menangkap lobster bertelur atau berukuran kecil, dan pengetatan penangkapan udang serta kepiting. Tujuannya, selain untuk reproduksi lobster, udang dan kepiting, peraturan tersebut juga memiliki tendensi untuk kepentingan dan masa depan nelayan di Indonesia.
Laut adalah “ladang emas” bagi nelayan dan masyarakat Indonesia secara umum. Ketahanan produksi laut merupakan kewajiban yang harus dilakukan. Sehingga, dalam rangka membuat ikan tetap berproduksi di laut maka kebijakan tersebut mempunyai arti jangka panjang.
Selain itu, kebijakan brilian juga dilakukan Menteri Susi tentang diberhentikannya seluruh ijin penangkapan ikan oleh kapal asing. Adanya masalah illegal fishing yang selama ini terjadi di perairan yang minim pengawasan menjadikan kita mengelus dada, hingga kebijakan tersebut sangat tepat diambil.
Diberhentikannya izin penangkapan ikan oleh kapal asing membuat mereka tidak lagi mengeksploitasi kekayaan laut kita di Indonesia. Kebijakan ini terbukti efektif. Dari 1300 kapal asing yang dulu berlayar di perairan Indonesia, pada tahun ini hanya ada sekitar 67 kapal yang tersisa. Terutama di perairan ujung timur Indonesia yaitu laut Aru dan Arafuru yang kini nyaris tidak tersentuh oleh kapal-kapal asing pencuri ikan.
Sebagai negara maritim, pemerintah Indonesia (terutama Kementerian Kelautan dan Perikanan) mempunyai tugas yang cukup berat. Pemerintah Indonesia sejauh ini hanya memiliki 27 kapal pengawas di seluruh wilayah laut Indonesia. Maka, pengawasan dan penjagaan terhadap kekayaan potensi laut kita merupakan tanggung jawab bersama yang wajib ditunaikan, sehingga potensi sumber daya alam (SDA) laut dapat dimaksimalkan dengan baik.

Maksimalisasi
Untuk memaksimalkan potensi laut, ada tiga hal penting yang harus dipertimbangkan. Pertama, kerjasama antara Menteri Kelautan dan Perikanan dengan sejumlah nelayan di daerah  pesisir. Kerjasama ini bisa berbentuk sosialisasi terkait kebijakan-kebijakan apa saja yang telah diprogram oleh pemerintah untuk kemudian melibatkan para nelayan. Ini penting, karena pada bulan Maret lalu terdapat aksi protes dan demonstrasi oleh nelayan di Kawasan Pantai Utara Jawa Tengah terhadap Peraturan Menteri Nomor 2 Tahun 2015 tentang larangan penggunaan alat penangkapan ikan pukat hela (Trawls) dan pukat tarik (Seine Nets), tidak terulang.
Kedua, potensi keindahan laut kita dengan pesona pantai yang merata di berbagai pulau di Indonesia harus dijaga dan dilestarikan. Pesona laut yang mengundang para wisatawan dari dalam maupun luar negeri ini adalah kekayaan tak ternilai. Dengan menjaga dan melestarikannya, tidak mengotori, tidak dijadikan sebagai limbah, dan kebersihannya tetap terjaga. Dalam hal ini, pemerintah juga perlu mengawasi pabrik-pabrik agar tidak membuang limbah ke laut.
Ketiga, dalam rangka menegaskan bahwa Indonesia menjadi poros maritim dunia diperlukan langkah-langkah taktis-strategis dari instansi terkait. Misalnya, pembangunan pelabuhan harus lebih merata agar keseimbangan ekonomi kita dapat tercapai dan membuat laut kita bukan lagi sebagai batas. Hal ini sejalan dengan pidato Pak Jokowi bahwa, kita harus menjadikan kembali Indonesia sebagai kekuatan poros maritim dunia.
Dengan pertimbangan ini, diharapkan kekayaan potensi SDA laut kita dapat dimanfaatkan dengan maksimal. Jangan sampai potensi alam laut kita dieksploitasi oleh negara lain seperti yang (waluapun tidak mengemuka) telah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya.
*) Penulis adalah Pecinta laut dan Akademisi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Sunan Ampel Surabaya. Artikel ini dimuat di Harian Duta Masyarakat edisi 16 Juni 2015