Oleh: Muhammad Mihrob *)
Memperingati Hari Laut Sedunia tanggal 8
Juni ini lalu, hal penting untuk direfleksikan adalah memaksimalkan
potensi laut kita. Dengan luas wilayah laut yang mencapai 5,8 juta meter
persegi dan menjadi poros maritim dunia, Indonesia merupakan negara
yang dapat memakmurkan warga negaranya jika potensi laut dapat
dimaksimalkan dengan baik.
Menurut laporan yang dirilis Food Agricultural Organization
(FAO), produksi ikan dunia dari kegiatan penangkapan di laut maupun di
perairan umum cenderung stagnan, yakni 93,5 persen pada 2012. Begitupun
dengan Indonesia yang hanya mampu memanfaatkan kekayaan laut mencapai
5,71 juta ton ikan atau sekitar 77,38 persen. Sementara pada tahun 2015
ini, menurut Asisten Operasi KSAL Laksamana Muda TNI Didit Herdiawan,
pemanfaatannya hanya 66 persen saja.
Diberhentikannya izin penangkapan ikan oleh kapal asing membuat mereka tidak lagi mengeksploitasi kekayaan laut kita di Indonesia. Kebijakan ini terbukti efektif. Dari 1300 kapal asing yang dulu berlayar di perairan Indonesia, pada tahun ini hanya ada sekitar 67 kapal yang tersisa.
Berdasarkan data di atas terdapat
dua hal penting yang perlu diperhatikan. Pertama, maksimalisasi potensi
laut menjadi kewajiban yang harus direalisasikan oleh pemerintah dan
warga negara Indonesia. Dalam hal ini, dibutuhkan kerjasama antara
pemangku kebijakan (Kementerian Kelautan dan Perikanan) dan nelayan
sebagai action people dalam memanfaatkan potensi laut kita.
Kedua, maksimalisasi potensi laut
sejatinya juga perlu mempertimbangkan ketahanan reproduksi ikan di laut.
Artinya, penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan juga penting
memikirkan keberlangsungan reproduksi ikan dan tidak merusak estetika
maupun kekayaan pesona alam kelautan kita.
Jangka Panjang
Sejauh ini, sangat tepat langkah Menteri
Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengeluarkan peraturan tentang
larangan menangkap lobster bertelur atau berukuran kecil, dan pengetatan
penangkapan udang serta kepiting. Tujuannya, selain untuk reproduksi
lobster, udang dan kepiting, peraturan tersebut juga memiliki tendensi
untuk kepentingan dan masa depan nelayan di Indonesia.
Laut adalah “ladang emas” bagi nelayan
dan masyarakat Indonesia secara umum. Ketahanan produksi laut merupakan
kewajiban yang harus dilakukan. Sehingga, dalam rangka membuat ikan
tetap berproduksi di laut maka kebijakan tersebut mempunyai arti jangka
panjang.
Selain itu, kebijakan brilian juga
dilakukan Menteri Susi tentang diberhentikannya seluruh ijin penangkapan
ikan oleh kapal asing. Adanya masalah illegal fishing
yang selama ini terjadi di perairan yang minim pengawasan menjadikan
kita mengelus dada, hingga kebijakan tersebut sangat tepat diambil.
Diberhentikannya izin penangkapan ikan
oleh kapal asing membuat mereka tidak lagi mengeksploitasi kekayaan laut
kita di Indonesia. Kebijakan ini terbukti efektif. Dari 1300 kapal
asing yang dulu berlayar di perairan Indonesia, pada tahun ini hanya ada
sekitar 67 kapal yang tersisa. Terutama di perairan ujung timur
Indonesia yaitu laut Aru dan Arafuru yang kini nyaris tidak tersentuh
oleh kapal-kapal asing pencuri ikan.
Sebagai negara maritim, pemerintah
Indonesia (terutama Kementerian Kelautan dan Perikanan) mempunyai tugas
yang cukup berat. Pemerintah Indonesia sejauh ini hanya memiliki 27
kapal pengawas di seluruh wilayah laut Indonesia. Maka, pengawasan dan
penjagaan terhadap kekayaan potensi laut kita merupakan tanggung jawab
bersama yang wajib ditunaikan, sehingga potensi sumber daya alam (SDA)
laut dapat dimaksimalkan dengan baik.
Maksimalisasi
Untuk memaksimalkan potensi laut, ada
tiga hal penting yang harus dipertimbangkan. Pertama, kerjasama antara
Menteri Kelautan dan Perikanan dengan sejumlah nelayan di daerah
pesisir. Kerjasama ini bisa berbentuk sosialisasi terkait
kebijakan-kebijakan apa saja yang telah diprogram oleh pemerintah untuk
kemudian melibatkan para nelayan. Ini penting, karena pada bulan Maret
lalu terdapat aksi protes dan demonstrasi oleh nelayan di Kawasan Pantai
Utara Jawa Tengah terhadap Peraturan Menteri Nomor 2 Tahun 2015 tentang
larangan penggunaan alat penangkapan ikan pukat hela (Trawls) dan pukat tarik (Seine Nets), tidak terulang.
Kedua, potensi keindahan laut kita
dengan pesona pantai yang merata di berbagai pulau di Indonesia harus
dijaga dan dilestarikan. Pesona laut yang mengundang para wisatawan dari
dalam maupun luar negeri ini adalah kekayaan tak ternilai. Dengan
menjaga dan melestarikannya, tidak mengotori, tidak dijadikan sebagai
limbah, dan kebersihannya tetap terjaga. Dalam hal ini, pemerintah juga
perlu mengawasi pabrik-pabrik agar tidak membuang limbah ke laut.
Ketiga, dalam rangka menegaskan bahwa
Indonesia menjadi poros maritim dunia diperlukan langkah-langkah
taktis-strategis dari instansi terkait. Misalnya, pembangunan pelabuhan
harus lebih merata agar keseimbangan ekonomi kita dapat tercapai dan
membuat laut kita bukan lagi sebagai batas. Hal ini sejalan dengan
pidato Pak Jokowi bahwa, kita harus menjadikan kembali Indonesia sebagai
kekuatan poros maritim dunia.
Dengan pertimbangan ini, diharapkan
kekayaan potensi SDA laut kita dapat dimanfaatkan dengan maksimal.
Jangan sampai potensi alam laut kita dieksploitasi oleh negara lain
seperti yang (waluapun tidak mengemuka) telah terjadi pada tahun-tahun
sebelumnya.
*) Penulis adalah Pecinta laut dan Akademisi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Sunan Ampel Surabaya. Artikel ini dimuat di Harian Duta Masyarakat edisi 16 Juni 2015