Kehidupan ini seakan berada di dua jalan, yang kedua jalan itu sudah
sangat tipis perbedaannya. Ada kebaikan dan keburukan, ada kebenaran dan
ada kesalahan, dan banyak contoh lagi tentang ini. Atau malah antara
kebaikan dan keburukan, kebenaran dan kesalahan telah diputarbalikkan
faktanya sehingga mengaburkan esensinya.
Saya tidak dapat melihat keburukan di balik kebaikan dan kesalahan di
balik kebenaran. Namun saya hanya dapat merasakannya bahwa di setiap
adanya kebaikan yang sebenarnya dibaikbaikan padahal di balik kebaikan
itulah keburukan, dan ada kebenaran yang sebenarnya dibenarbenarkan
padahal di balik kebenaran itulah kesalahan.
Semuanya seakan terjebak pada logikanya masing-masing, hingga
akhirnya ada kata “menang” dan ada juga kata “kalah”. Bahkan kalah dan
menang masing-masing ada logikanya. Jika sudah demikian, saya yakin
emosional lah yang akan jadi korban. Setelah menyentuh ke hal emosional
inilah terkadang akan muncul permusuhan, ketidakpercayaan, kecurigaan,
iri, dan bahkan egoisme.
Jika tak ada komunikasi dan interaksi yang mengarah pada perbaikan,
kehidupan ini akan selalu terkotak-kotak, ada berbagai sudut pandang
namun tidak bisa disatukan. Pada akhirnya tetap, tak ada yang namanya
kemajuan, tak ada yang namanya harmonisme, melainkan hanya terjatuh
dalam kecurigaan semu.
Coba lihatlah masa setengah abad lebih yang lalu. Ketika rakyat
Indonesia bersama-sama menentukan satu tujuan: kemerdekaan. Walaupun
mereka berbeda-beda, dan ada banyak sudut pandang, namun dengan jalinan
komunikasi dan interaksi yang lekat dan tahan lama, akhirnya mampu
menembus batas kecurigaan, ketakpercayaan, untuk tetap menjadikan mereka
bangsa yang merdeka dengan satu nama: Indonesia.
Maka buanglah gengsi untuk saling bertukar pendapat, lenyapkanlah
kelesuan untuk kembali membangun satu tujuan. Berikanlah penghargaan,
walaupun hanya berupa senyuman, kepada mereka yang berbeda pendapat
denganmu. Dan semuanya akan tercipta harmonisme dalam keseharian hingga
kau dapat menemukan apa itu kemajuan. Semoga!
Minggu, 27 Mei 2012
Jumat, 11 Mei 2012
IKSBAR dan Nostalgia Kepemimpinan yang Gagal
Sepanjang kepemimpinan Penulis di organisasi
yang diibaratkan dengan sebuah “mobil nyungsep” dan harus dibawa ke
bengkel, berbagai kecacatan ada dalam organisasi yang lahir dari masyarakat Desa
Celurit itu. Kepudaran potensi dan eksistensi yang dirasakan Penulis belakangan
ini justru menjadi sebuah pelajaran hidup. Betapa sulitnya mempertahankan dan
memajukannya jika komponen-komponen penting tidak begitu memiliki ghirah,
sehingga wajar ketika seorang pemimpin kerapkali harus dihadapkan pada “kekerdilan
potensialitas”; yang mulai dulu sudah terbangun.
“Kecenderungan” kepada lain jenis sehingga
melahirkan “keindahan sementara” dalam “sindrom kasmaran” yang menjangkiti
mayoritas “kernet” (baca: Pengurus, dan tak terkecuali “Sopir”[2]-nya)
justru membuat Penulis semakin gamang menjamah masa depan. Alasannya jelas,
karena Penulis masih berada dalam lingkungan yang agamis di lembaga pendidikan Islam
tertua di Indonesia. Kegamangan itu terlahir ketika harus dihadapkan pada ‘absurditas
yang dipuji-puji’ (baca: barokah). Karena barokah seumpama “nilai lebih” yang
tidak bisa didapat jika terus melayani dan menjalin hubungan (yang bisa disebut
dengan) kasmaranisme[3].
Walaupun statement ini belum tentu menjadi
kebenaran universal, namun setidaknya realitas lingkungan telah membuktikannya
secara gamblang pada generasi-generasi sebelumnya. Misalnya yang terjadi pada Ahmad
Fawaid[4] yang--kabarnya
sekarang--sudah tidak lagi memiliki komitmen konkret karena telah terjebak pada
kasmaranisme budaya “pink”. Bukti ini semakin memojokkan Penulis karena terus
dibayang-bayangi oleh kegagalan individual yang pada akhirnya akan mengubur
idealisme kehidupan masa depan.
Bukannya penulis merasa pesimis, namun pembacaan
realistis pada individu-individu yang mulai mengalami pemudaran potensialisme
semakin membuktikan hipotesa yang (setidaknya) harus diakui kebenarannya secara
universal bahwa, sekuat apapun komitmen seseorang jika ia tidak mampu membangun
dan mengonkretkan prinsip hidupnya, maka ia akan menjadi orang yang paling
gagal dalam kehidupan. Sungguh kenyataan yang ironis jika ini harus dialami
oleh Penulis sebagai “Sopir” di Mobil IKSBAR.
Ada fakta lain yang (mungkin) lebih besifat
magis, tetapi bisa dirasionalisasikan melalui pembacaan kritis dan kontemplatif
yakni, mental sibuk(isme) yang akan melahirkan sebuah konsekuensi logis pada
penurunan semangat mencari bakat potensi diri. Ketika “dipaksa” berpegang teguh
pada prinsip sosialisme, seorang individu justru menjadi lelah dan tidak yakin
akan eksistensialitas dirinya. Prinsip sosialistik yang menjadi dasar dan
komitmen dalam suatu organisasi, diakui atau tidak, akan menjadi momok
menakutkan bagi seorang pemimpin yang masih berada pada taraf pencarian jati
diri. Karena, secara tidak langsung, karakter dan kepribadiannya akan
digadaikan dengan sebuah kepentingan yang belum tentu terbaik bagi perkembangan
dan penegasan komitmen masa depannya.
Talenta karakter kepemimpinan yang masih minim
menjadi faktor lain atas lumpuhnya sebuah organisasi. Walaupun, sebenarnya,
kedewasaan berfikir seseorang bukan dari faktor usia, namun kondisi emosional-psikologis
yang belum mencapai stabilitas klimaks pada diri seorang remaja[5]
justru akan memperlemah anatomi keorganisasian. Ketidakjelasan tujuan yang dilatari
oleh pertentangan antar-ideologi individualisme-sosialisme menjadi sebuah konsekuensi
logis yang tak tertanggungkan.
Padahal, Penulis sendiri sadar bahwa,
sosialisme adalah sebuah komitmen yang harus menjadi prinsip dalam diri seorang
pemimpin tanpa ada kecenderungan individualisme sedikitpun. Karena dengan
sosialisme-lah pada tataran aplikasinya akan menciptakan atmosfir demokratis
dalam tubuh organisasi, kebangsaan dan kenegaraan. Namun Penulis belum bisa memegang
teguh prinsip dasar demokrasi itu, karena keperibadian ini masih harus mencapai
idealisme individual sebagai langkah awal menuju perbaikan derajat kehidupan.
Inilah kerancuan paradigma psikologis yang
dirasakan Penulis sejauh kepemimpinan dirinya di IKSBAR. Istilah “Pemimpin yang
Gagal” (mungkin) yang patut disandangkan kepada Penulis justru harus dijadikan “cambuk”
bagi generasi-generasi selanjutnya. Kemajuan dan kesuksesan dalam hal keorganisasian
yang bersifat pembelajaran (organizing of education)[6]
bukan diukur dari sejauh mana Ia melaksanakan proker formal, melainkan
pemberdayaan dialogis yang mampu melahirkan individu-individu (baca: kader)
kritis dan mumpuni[7]
ketika telah terjun ke dunia nyata yang dinamai dengan “masyarakat”, kelak!
Dengan demikian, tulisan ini hanya sekadar
curahan hati Penulis atas kepemimpinannya yang telah gagal. Sebuah harapan dari
penulis kepada generasi-generasi selanjutnya: dalam hal keorganisasian,
kestrukturan jangan hanya dimaknai sebagai formalitas di atas kertas. Struktur organisasi
harus jelas seperti keanggotaan baik putra maupun putri[8]. Karena
struktur menggambarkan sakralitas dan soliditas yang harus dibangun sejak awal
guna memudahkan kordinasi antar-anatomi dalam tubuh organisasi.
Sebagai bagian akhir, Penulis mencoba
menyajikan sebuah lagu yang mungkin cukup representatif bagi akhir pengembaraan
panjang Penulis selama satu periode di Organisasi IKSBAR;
Takkan selamanya…
Tanganku mendekapmu,
Takkan selamanya…
Raga ini menjagamu
Seperti alunan detak jantungku
Tak bertahan melawan waktu
Dan semua keindahan yang memudar
Atau cinta yang ‘tlah hilang
Tak ada yang abadi…
Tak ada yang abadi…
Tak ada yang abadi…
Tak ada yang abadi…
Owww..
Biarkan aku bernafas, sejenak, sebelum
hilang…..
Takkan selamanya tanganku mendekapmu,
Takkan selamanya raga ini menjagamu
Jiwa yang lama segera pergi…
Bersiaplah para pengganti[9].
Wassalamu’alaikum.
*) Tulisan ini
berdasarkan pengalaman pribadi penulis ketika menjabat sebagai Ketua Organisasi
Daerah Ikatan Keluarga Santri Bragung (IKSBAR)
[1]
Tulisan sederhana ini berdasarkan pengalaman Penulis selama kepemimpinannya di Orda
Ikatan Keluarga Santri Bragung (IKSBAR) periode 2009-2010 M. Kemudian judul di
atas Penulis terinspirasi kepada tulisan Fathorrahman Hasbul yang menengarai
bahwa sumber kecacatan seorang pemimpin ialah ketika pemimpin itu telah
menjadikan jabatannya sebagai wahana meraup kebahagiaan pribadinya dengan
mencari kehidupan dalam anggaran organisasi, serta korupsi kesempatan dan
jabatan dengan menjalin asmara di balik asrama. Lebih jelasnya lihat: Fathorrahman
Hasbul, Benih Potensial Pendidikan Antikorupsi (Majalah Muara edisi
XXXII, 2010), hlm: 44-45.
[2] Hal ini dialami Penulis (sebagai
Sopir) ketika di awal kepemimpinannya sempat mengalami “kecelakaan” sejarah
dan hampir terjun ke dunia pink. Istilah “Sopir” pun lahir karena peristiwa
yang tak disangka itu.
[3]
Istilah ini (baca: kasmaranisme) dipakai ketika seseorang telah terjangkit
virus suka antarlawan jenis sehingga berkonsekuensi pada pacaran dan
sebagainya.
[4] Ahmad Fawaid adalah alumni PPA.
Lubsel, pada waktu masih nyantri pernah menjuarai lomba LKTI Nasional. Namun kabarnya,
ketika sudah tinggal di Jogja (untuk kuliah) produktivitasnya malah mengalami
penurunan, karena telah terkontaminasi oleh virus pink.
[5]
Pemimpinnya kan masih dalam usia
remaja. Dan mungkin inilah alasan mengapa saya agak pesimis di organisasi
(ketika berbincang dengan mbak mahfudhah kemaren), karena memang kondisi
emosional-psikologis yang masih belum mencapai kedewasaan. Tapi akhirnya saya
sadar bahwa berorganisasi itu memang penting dengan tidak menafikan potensi
yang lain.
[6] Organizing of education sebagai
wahana pembelajaran dalam meningkatkan kecerdasan emosional, intelektual dan
spiritual santri yang nantinya dapat memeberikan kontribusi urgen untuk
masyarakat, bangsa dan Negara.
[7]
Mengacu pada visi misi organisasi IKSBAR yakni, berdisiplin, bertanggung jawab,
kritis, kreatif, inovatif, populis dan up to date serta
memerankan nilai-nilai ukhwah islamiyah.
[8] Kalau perlu (bukan hanya perlu tapi wajib),
di putri harus ada struktur yang legal formal sehingga membentuk sebuah
“organisasi ideal”. Namun dalam pmebuatan program kerja jangan terlalu
muluk-muluk, intinya dapat terorganisir dengan baik.
[9] Lagu dari grup band Peterpan
dengan judul: “Tak Ada yang Abadi”. Ini muncul sebagai penegasan bahwa
kepemimpinan seseorang pasti berada di atas “menara gading”. Dan (seperti kata pepatah)
‘tak ada gading yang tak retak’. Sehingga diperlukan generasi yang dapat
memperbaiki dan mengokohkan kembali gading itu. Berjuanglah…!
Jumat, 04 Mei 2012
mengagumimu
aku ingin mengagumimu. sembari memanggilmu sahabat. bukan seorang
kekasih, apalagi seorang musuh. lalu akan kujumpai kau di kursi itu.
sesekali berbicara tentang masing-masing bakat kita. berbagi kisah
tentang kejadian yang kau alami. dan akan aku ceritakan padamu tentang
penderitaanku. mengajarkanmu tentang kesendirian. lalu kau mengajakku ke
tempat terindah yang menjelaskan pada kita tentang kebijaksanaan dan
kebahagiaan. dari sanalah kita memulai perjalanan baru. menuliskan
sebuah kisah pada kertas putih pemberianmu.
(Surabaya, 15 Februari 2012)
(Surabaya, 15 Februari 2012)
Semuanya Karena Aku Merasa Kesepian
Semuanya karena aku merasa kesepian. Seperti pagi ditikam mentari.
Kesejukan itu telah berubah panas, membara, satu-persatu berguguran.
Membasahi tanah yang kini berubah jalan-jalan tol dan gedung-gedung
metropolis. Tak punya perasaan.
Semuanya karena aku merasa kesepian. Seperti bunga layu diracun sang waktu. Tak berdaya. Kelam. Seakan semuanya suram. Tak punya masa depan. Bahkan asa itu kini tertutup kabut hitam pekat. Hanya menyisakan lolongan. Namun tak ada seorangpun mendengar.
Semuanya karena aku merasa kesepian. Langkah kaki perlahan menjauhi kehidupan. Mencari titik terang. Kadang terpeleset dan terjerembab pada jurang gelap. Mataku pun kedap. Hanya ada beberapa mata yang mengolok-olok. Merobek ketenangan.
Semuanya karena aku merasa kesepian. Berharap hujan akan menghapus tangisan malam. Hingga menyelami mimpi-mimpi orang yang rindu keadilan dan kebahagiaan. Bukan lagi langkah kosong dari ambisi kekuasaan dan kerakusan.
Semuanya karena aku merasa kesepian. Merindukan kasih sayang, cinta, dan kedamaian. Dalam kesejukannya, keindahannya. Bersamamu. Kekasihku. Manisku. Di sini. Di malam ini.
Semuanya karena aku merasa kesepian. Seperti bunga layu diracun sang waktu. Tak berdaya. Kelam. Seakan semuanya suram. Tak punya masa depan. Bahkan asa itu kini tertutup kabut hitam pekat. Hanya menyisakan lolongan. Namun tak ada seorangpun mendengar.
Semuanya karena aku merasa kesepian. Langkah kaki perlahan menjauhi kehidupan. Mencari titik terang. Kadang terpeleset dan terjerembab pada jurang gelap. Mataku pun kedap. Hanya ada beberapa mata yang mengolok-olok. Merobek ketenangan.
Semuanya karena aku merasa kesepian. Berharap hujan akan menghapus tangisan malam. Hingga menyelami mimpi-mimpi orang yang rindu keadilan dan kebahagiaan. Bukan lagi langkah kosong dari ambisi kekuasaan dan kerakusan.
Semuanya karena aku merasa kesepian. Merindukan kasih sayang, cinta, dan kedamaian. Dalam kesejukannya, keindahannya. Bersamamu. Kekasihku. Manisku. Di sini. Di malam ini.
Suara Rakyat yang Galau (Refleksi Demo BBM)
Mengiringi kebijakan pemerintah tentang naiknya harga BBM yang akan
diberlakukan pada 01 April 2012, rakyat tak henti-hentinya melakukan
perlawanan. Berbagai aksi demonstrasi di berbagai kota, seperti di
Jogjakarta, Kalimantan, Makassar, Malang, bahkan Jakarta kini telah
mengiringinya.
Tepatnya tanggal 27-28 Maret 2012 demo besar –besaran akhirnya juga terjadi di kota Surabaya. Diperkirakan kurang lebih 72.000 orang dari berbagai kalangan turun ke jalan. Pom bensin dijaga ketat oleh aparat. Bahkan sempat terjadi kemacetan diberbagai daerah di Surabya seperti Jalan Pemuda, Tunjungan dan daerah lainnya.
Berbagai aksi demonstrasi tersebut menunjukkan kegalauan rakyat atas kebijakan pemerintah yang cenderung idealistik an-sich, nampak memiliki tujuan jangka panjang namun tidak dibarengi pemberdayaan rakyat secara riil. Betapa tidak, naiknya harga BBM yang dilatari karena melonjaknya harga minyak mentah di pasar Internasional hingga lebih dari 104,70 dollar AS per barel, hanya berdasarkan spekulasi angka dengan dalih menyelamatkan APBN. Di luar itu, hingga hari ini pemerintah belum mengantisipasi dampak luas yang akan dirasakan rakyat.
Pemerintah seakan miskin inovasi. Contohnya, dari hasil kenaikan harga BBM sebesar 25 triliun, akan digunakan untuk BLT. Padahal, pemeberlakuan BLT banyak menyisakan dampak dan masalah yang cukup akut. Ini bukan hanya masalah efektivitas dan efisiensi kebijakan yang banyak diragukan, apalagi bila teringat kalau naiknya BBM adalah kondisi defisit keuangan Negara yang bertolak belakang dengan BLT. Tetapi pemberlakuan BLT juga sama sekali tidak memberdayakan, bahkan hanya akan membuat karakter rakyat yang selalu dimanja dan menjadi bangsa “peminta-minta”.
Pada gilirannya kemiskinan akan tetap diderita. Kebijakan menaikkan BBM yang tak bisa dibendung ataupun program BLT yang tak memberdayakan, hanya semakin melukai nurani rakyat. Betapa galaunya rakyat jelata. Betapa tak bergunanya suara-suara lantang, menentang kebijakan naiknya BBM tersebut. Setelah ribuan bahkan jutaan mahasiswa, buruh, maupun aktivis-aktivis LSM di berbagai daerah di Nusantara menolak naiknya BBM, namun tetap tak kunjung mengundang simpati pemerintah. Rakyat tetap galau.
Yang bisa dilakukan hanya menunggu dan berusaha sebisabisanya. Menunggu bukan berarti terjatuh dalam kebisuan, ketakberdayaan, dan ketakacuhan. Melainkan bertumpu pada sikap tegas (affirmation) untuk berpikir dan bertindak demi kemakmuran dan kesejahteraan tiap pribadi seseorang. Karena sikap pemerintah yang kian hari kian tak berpihak pada kesejahteraan rakyat, rakyat tak bisa lagi bergantung pada pemerintah.
Pemerintah bukan Dewa, juga bukan Tuhan. Mereka hanya orang-orang yang bisa diharapkan memberi perubahan ke arah yang lebih baik. Jika pemerintah tak bisa memberi yang terbaik, rakyatlah yang harus menjadi pemerintah, memerintah diri sendiri dan memerdekakan diri dari penindasan dan kebijakan yang terasa mencekik itu.
Naiknya BBM hanya bagian dari persoalan yang melilit negeri ini, selain masalah korupsi, tumpulnya penegak hukum, dan seabrek masalah lainnya. Mungkin saya hanya bisa memikirkan atau paling tidak berangan-angan bagaiamana suatu saat rakyat bisa membangun peradaban baru. Sebuah peradaban di mana tak ada lagi kata menindas, ataupun merasa ditindas. Semuanya dalam kondisi merdeka untuk menentukan nasib hidupnya, dalam suatu ikatan moral yang agung, moral kemanusiaan.
Harapan ini mungkin terlahir dari kerpercayaan atau sekadar sugesti saya bahwa setiap manusia memiliki pikiran dan hati yang selalu menuntun ke arah menjadi makhluk merdeka. Karena seperti kata seorang novelis Mesir bernama Naguib Mahfouz kalau “peradaban manusia tidak ditentukan oleh apa yang dimilikinya, tetapi oleh denyut pikiran dan hatinya.”
Akhirnya, mewakili kegalauan yang lahir dari rasa sakit nurani rakyat atas kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM, saya hanya bisa berharap bahwa kegalauan itu bisa tersembuhkan dengan menggunakan obat pikiran dan perasaan untuk melangkah menjadi manusia yang benar-benar merdeka.
Merdekakan! Merdeka! Semangat!
*) tulisan ini pendapat pribadi…
Tepatnya tanggal 27-28 Maret 2012 demo besar –besaran akhirnya juga terjadi di kota Surabaya. Diperkirakan kurang lebih 72.000 orang dari berbagai kalangan turun ke jalan. Pom bensin dijaga ketat oleh aparat. Bahkan sempat terjadi kemacetan diberbagai daerah di Surabya seperti Jalan Pemuda, Tunjungan dan daerah lainnya.
Berbagai aksi demonstrasi tersebut menunjukkan kegalauan rakyat atas kebijakan pemerintah yang cenderung idealistik an-sich, nampak memiliki tujuan jangka panjang namun tidak dibarengi pemberdayaan rakyat secara riil. Betapa tidak, naiknya harga BBM yang dilatari karena melonjaknya harga minyak mentah di pasar Internasional hingga lebih dari 104,70 dollar AS per barel, hanya berdasarkan spekulasi angka dengan dalih menyelamatkan APBN. Di luar itu, hingga hari ini pemerintah belum mengantisipasi dampak luas yang akan dirasakan rakyat.
Pemerintah seakan miskin inovasi. Contohnya, dari hasil kenaikan harga BBM sebesar 25 triliun, akan digunakan untuk BLT. Padahal, pemeberlakuan BLT banyak menyisakan dampak dan masalah yang cukup akut. Ini bukan hanya masalah efektivitas dan efisiensi kebijakan yang banyak diragukan, apalagi bila teringat kalau naiknya BBM adalah kondisi defisit keuangan Negara yang bertolak belakang dengan BLT. Tetapi pemberlakuan BLT juga sama sekali tidak memberdayakan, bahkan hanya akan membuat karakter rakyat yang selalu dimanja dan menjadi bangsa “peminta-minta”.
Pada gilirannya kemiskinan akan tetap diderita. Kebijakan menaikkan BBM yang tak bisa dibendung ataupun program BLT yang tak memberdayakan, hanya semakin melukai nurani rakyat. Betapa galaunya rakyat jelata. Betapa tak bergunanya suara-suara lantang, menentang kebijakan naiknya BBM tersebut. Setelah ribuan bahkan jutaan mahasiswa, buruh, maupun aktivis-aktivis LSM di berbagai daerah di Nusantara menolak naiknya BBM, namun tetap tak kunjung mengundang simpati pemerintah. Rakyat tetap galau.
Yang bisa dilakukan hanya menunggu dan berusaha sebisabisanya. Menunggu bukan berarti terjatuh dalam kebisuan, ketakberdayaan, dan ketakacuhan. Melainkan bertumpu pada sikap tegas (affirmation) untuk berpikir dan bertindak demi kemakmuran dan kesejahteraan tiap pribadi seseorang. Karena sikap pemerintah yang kian hari kian tak berpihak pada kesejahteraan rakyat, rakyat tak bisa lagi bergantung pada pemerintah.
Pemerintah bukan Dewa, juga bukan Tuhan. Mereka hanya orang-orang yang bisa diharapkan memberi perubahan ke arah yang lebih baik. Jika pemerintah tak bisa memberi yang terbaik, rakyatlah yang harus menjadi pemerintah, memerintah diri sendiri dan memerdekakan diri dari penindasan dan kebijakan yang terasa mencekik itu.
Naiknya BBM hanya bagian dari persoalan yang melilit negeri ini, selain masalah korupsi, tumpulnya penegak hukum, dan seabrek masalah lainnya. Mungkin saya hanya bisa memikirkan atau paling tidak berangan-angan bagaiamana suatu saat rakyat bisa membangun peradaban baru. Sebuah peradaban di mana tak ada lagi kata menindas, ataupun merasa ditindas. Semuanya dalam kondisi merdeka untuk menentukan nasib hidupnya, dalam suatu ikatan moral yang agung, moral kemanusiaan.
Harapan ini mungkin terlahir dari kerpercayaan atau sekadar sugesti saya bahwa setiap manusia memiliki pikiran dan hati yang selalu menuntun ke arah menjadi makhluk merdeka. Karena seperti kata seorang novelis Mesir bernama Naguib Mahfouz kalau “peradaban manusia tidak ditentukan oleh apa yang dimilikinya, tetapi oleh denyut pikiran dan hatinya.”
Akhirnya, mewakili kegalauan yang lahir dari rasa sakit nurani rakyat atas kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM, saya hanya bisa berharap bahwa kegalauan itu bisa tersembuhkan dengan menggunakan obat pikiran dan perasaan untuk melangkah menjadi manusia yang benar-benar merdeka.
Merdekakan! Merdeka! Semangat!
*) tulisan ini pendapat pribadi…
Langganan:
Postingan (Atom)