Mengenai Saya

Rabu, 07 Februari 2024

Pulang Buntu, Tak Pulang Rindu


Kurang lebih begitulah perasaan kami para perantau yang bertahun-tahun hidup di perantauan. Rasa-rasanya setiap hari kami membandingkan lebih baik mana, kembali ke desa tempat kami dilahirkan atau menetap di kota dengan perjuangan dan pengorbanan. Berjuang, untuk menggapai mimpi, untuk keluarga kecil yang sedang dibangun, untuk cicilan rumah, untuk cicilan kendaraan, bahkan berjuang untuk sekadar bertahan hidup. Berkorban, karena meninggalkan kampung halaman dan orangtua yang sudah melahirkan. Dilematis memang.

Apa yang kami rasakan saat ini tampaknya amat berbeda jauh dengan perasaan saat dulu baru menginjakkan kaki di tanah rantau. Rasa-rasanya, dulu tidak sedilematis ini, tidak sepesimis ini, bahkan tidak sebimbang ini. 

Dulu, kami hanya merasakan mimpi yang menggebu. Seolah-olah semua akan dicapai, semua ingin digapai. Dengan berbagai cara. Ada yang bekerja, melanjutkan kuliah, bahkan ada yang sekadar membantu keluarga dekat yang juga hidup di satu tanah rantau.

Meski demikian banyak dari kami yang kadang seolah tanpa tujuan, hilang arah, menyelesaikan masalah tanpa bimbingan siapapun. Mandiri. Hanya belajar dari yang sudah-sudah, menengadah meminta pertolongan dan permohonan jalan lillah

Perjuangan itu seolah telah membawa kaki kami menjauh dari eksistensi kehidupan kami di tanah kelahiran. Hari demi hari hingga tahun demi tahun ternyata pikiran kami dan cara bersosialisasi kami mulai beradaptasi dengan cara bersosialisasi kehidupan orang-orang di tanah rantau. Mulai menemukan kesamaan dan perbedaan budaya, bahasa, adat dan kebiasaan antara kehidupan di desa dengan kehidupan di kota rantau. 

Tidak sedikit dari kami yang lebih terlihat sebagai orang kota daripada orang kampung, baik dari segi pakaian, cara berbicara, logat yang digunakan, hingga pemikiran dan karakter. Meskipun juga tidak sedikit dari kami yang masih terlihat kampung-(an)nya.

Secara tidak kami sadari bahwa kebiasaan-kebiasaan, aktivitas, dan interaksi sosial kami telah membuat kami merasa “nyaman” dan mulai meninggalkan kebiasaan dan pemikiran-pemikiran kami dari kampung dahulu. 

Sebagian dari kami bahkan mulai tidak betah ketika lama-lama pulang dan tinggal di kampung halaman. Bukan tanpa alasan. Kami mulai beranggapan bahwa hidup di tanah rantau lebih prospektif dari sekadar menetap di kampung halaman dengan hidup yang “ala kadarnya”.

Kendati demikian, di luar itu semua, ternyata masih ada satu perasaan yang sama sejak awal kali merantau hingga detik-detik ini. Perasaan itu adalah rindu. Kadang tanpa kami sadari, terlintas perasaan rindu kepada apa-apa yang masih di kampung, kepada orangtua tercinta, kepada rumah dengan isi perabotannya, atau pada halaman depan rumah atau sawah-sawah dan bebukitan. 

Kami menuntaskan kerinduan itu biasanya dengan pulang sejenak ke kampung halaman, melalui moment mudik lebaran, liburan akhir pekan, atau moment-moment lain yang dirasa cukup waktu untuk pulang.

Sejujurnya kami para perantau sangat rindu pulang dan ingin tinggal di kampung halaman, tetapi kami sadar di kampung halaman, orang-orang seperti kami memiliki akses yang amat terbatas untuk bisa survive di tengah kondisi sosial yang statis dan akses ekonomi yang sempit. 

Keguyuban masyarakat kami di kampung kadang juga menjadi sindrom dan benalu bagi psikis kami yang sudah terbiasa hidup individualistik dan masing-masing. Belum lagi ketika ada tetangga julid dan suka ngurusi hidup kami, bahkan kadang ikut campur urusan rumah tangga orang padahal rumah tangga sendiri belum keurus.

Bagi kami, sindrom-sindrom semacam itu umpama “kran buntu” yang menghambat pertumbuhan kami dan ujung-ujungnya menjadi tekanan kosong tak berisi. 

Pada akhirnya, kami tetap memilih untuk menjalani hidup di tanah rantau dengan segala kondisi dan kewajiban berjuang tiap hari. Tersebab, kami menyadari bahwa untuk pulang dan menetap di tanah kelahiran masih terasa buntu, pun juga tidak pulang kami merasa rindu.(*)