Mengenai Saya

Rabu, 09 Juli 2014

Catatan Pilpres, 9 Juli 2014

Hari ini adalah hari di mana terjadi penentuan siapa pemimpin negara kita selanjutnya. Hari ini pula Indonesia akan memilih bapaknya, yang akan kita akui sebagai founding father di Negara kita selama lima tahun ke depan. Pun, hari ini kita berkuasa, punya kebebasan, dan objektivitas masing-masing dalam memilih. Sungguh hari ini merupakan harga mahal yang telah kita bayar selama lebih dari setengah abad Indonesia merdeka. Sehingga tak mungkin kita jual dan kita tukar dengan doktrin-doktrin yang murahan, ataupun dengan sekadar mooney politic an-sich.
Kita saat ini tengah berada pada masa di mana gesekan-gesekan atau bahkan benturan-benturan problematika ekonomi, politik, budaya, agama, sedang menanti untuk dicarikan solusi. Indonesia dalam lima tahun ke depan akan dihadapkan pada masalah hutang, free trade Asia, persoalan integritas, dan sejumlah masalah lainnya. Maka, siapapun nantinya yang terpilih, dari latar belakang hidup bagaimanapun, dan dari motivasi apapun, kita menanti dengan penuh harap akan kepemimpinan yang benar-benar bersih, mampu menyelesaikan segala masalah, dan membawa kita pada keadaan yang lebih baik, sejahtera dan bahagia bersama.

Kamis, 03 Juli 2014

Andai Kita Tidak Konsumtif


Di tengah kenyataan adanya tiga seperempat dari masyarakat dunia mendekati kelaparan, kita masih sulit menghindari pembelian yang berlebihan pada barang-barang yang tidak kita butuhkan. Makan di McDonals, belanja baju dan pernak-pernik dengan mengunjungi mall, konsumsi kosmetika, koleksi mobil mewah, ke salon dua kali dalam satu minggu, hingga berdandan ala artis dengan lipstik dan make-up berwarna-warni. Suatu keputusan yang menjadi kenyataan masyarakat modern, sekaligus kesukseskan kapitalisme dalam “bermain” di tengah arus masyarakat yang kacau.
Iklan berserta godaannya juga sah kita anggap telah menawarkan berbagai barang yang tidak benar-benar kita butuhkan. Kita secara sadar atau tidak, diundang untuk menjalani kehidupan yang tidak nyata. Iklan telah membentuk pola pikir kita dengan menyembunyikan kondisi kehidupan yang sebenarnya, kebutuhan yang sebenarnya, dan keinginan sosial paling dasar, yang kemudian digantikan dengan fantasi dan bermimpi tentang kaum berkuasa dan kaya. Obrolan-obrolan dari gerai ke gerai di mana kalangan pekerja perusahaan nongkrong, hingga mahasiswa-mahasiswi telah didominasi obrolan seputar produk-produk terbaru yang disiarkan melalui iklan.
Pun, kelemahan teori ekonomi adalah tidak pernah memperlakukan konsumsi—mengapa dan bagaimana orang mengonsumsi barang—sebagai bagian dari hasil produksi. Hal ini karena konsumsi dianggap sebagai proses reaktif, bereaksi secara kasar terhadap barang yang telah diproduksi. Bisa jadi, juga karena terkadang kita lupa bahwa di setiap komoditas ada “nilai guna” dan “nilai tukar”, yang menjelaskan adanya perbedaan antara barang yang berguna dan yang tidak, pada kehidupan kita. Nilai guna pada dasarnya bersifat fungsional, seperti nilai guna mantel terletak pada kemampuannya untuk menjadikan pemakainya tetap hangat, oleh karenanya, nilai guna mengekspresikan hubungan antara benda dan manusia. Sementara nilai tukar lebih bersifat komersial, di mana tenaga kerja (tangan kapitalis) menginvestasikan memampuannya pada suatu barang atau komoditas yang sama sekali tidak berhubungan dengan kebutuhan dasar manusia.
Belum lagi kita, yang konsumtif, akan segera dihadapkan pada Asean Free Trade Area (AFTA) 2015 mendatang, di mana produk-produk China, Jepang, Thailand, India, Singapore, dan Vietnam akan lebih semangat menyerang ke Indonesia. Sementara kebijakan Asean Economic Community (AEC) walaupun diprediksi akan membawa Indonesia menjadi regional champions karena memiliki PDB terbesar, namun Indonesia berpotensi hanya menjadi pasar dari produk barang Asia lainnya. Usaha-usaha kecil, penjual soto, bakso, dan produksi lokal lainnya akan terancam gulung-tikar dan tersungkur di bawah telapak kaki kapitalisme. Masihkah kita mau konsumtif?
Rasa-rasanya tidak cukup hanya dengan ceramah-ceramah dan seminar-seminar. Lebih dari itu, kita perlu bangun nalar produktif, sebuah nalar berkesadaran produktif-kreatif, dari individu ke individu lain hingga membentuk kesadaran kolektif. Sadar akan tantangan dan ancaman persaingan, dan sadar bahwa produk barang yang bertebaran tidak semua memiliki fungsi dan nilai guna bagi kehidupan kita yang sebenarnya.
Gerakan mahasiswa tidak harus terus stagnan di ranah kritis dan teoritis-oriented, tetapi lebih pada penyadaran masyarakat luas dalam memilih produk barang bernilai guna, dan tidak terjebak konsumerisme, tidak menjadi korban komoditas dan korban pasar yang menawarkan barang yang tidak benar-benar kita butuhkan. Andai kita tidak konsumtif, lalu kita ciptakan masyarakat rasional dan produktif.