Pada
pertengahan oktober kemaren, tepatnya hari Minggu (16/10/2011), warga Medokan
Semampir, Kec. Sukolilo, Surabaya melaksankan kerja bakti dalam rangka Persiapan
Lomba RW Bebas Jentik. Kerja bakti yang dimulai jam 06:00 pagi merupakan
salahsatu program dari Kelurahan Medokan Semampir. Program yang dipandu oleh
Seksi Kebersihan dan Lingkungan Hidup RW II ini bisa dibilang unik. Karena di
samping sebagai bentuk kepedulian masyarakat terhadap lingkungan, kerja bakti
ini juga dikemas dalam bentuk kompetisi. Di dalamnya dilakukan penilaian yang
nantinya akan diambil juara pada tiap RT.
Warga
Medokan Semampir sangat antusias dengan kerja bakti ini. Betapa tidak, meski
bergelut dengan lumpur selokan karena lebih dikhususkan pada kebersihan saluran
air, mereka tetap semangat. Antusiasme warga Medokan dalam membersihkan
lingkungan setidaknya perlu dijadikan “referensi” bagi masyarakat umum. Sebab,
pembersihan lingkungan yang dilakukan pada musim pancaroba sekarang ini
merupakan langkah antisipatif menyikapi datangnya musim hujan yang rawan
terjadi banjir.
Meski kerja bakti ini adalah langkah
sederhana, namun setidaknya apa yang dilakukan warga medokan merupakan bagian
dari upaya membendung bahaya yang sewaktu-waktu akan menerjang kota Surabaya. Di
samping itu, dengan adanya kegiatan kerja bakti yang dikemas dalam bentuk lomba
ini juga dapat menjadi bahan perenungan tentang pentingnya menjaga kelestarian
sosial, terutama dalam konteks masyarakat patembayan di kota Surabaya.
Ada
beberapa hal yang dapat dijadikan renungan dalam kegiatan kerja bakti ini. Pertama, membersihkan lingkungan
merupakan salah satu bentuk pencerahan batin dalam dimensi vertikal. Hadits annadhafathu min al-iman (kebersihan
adalah sebagian dari iman) begitu tampak ketika dalam keseharian masyarakat
sudah terbangun mental bersih. Sehingga hadits tersebut tidak hanya berhenti
sekedar jargon, melainkan dapat diaktualisasikan esensinya.
Kedua,
memperkuat ikatan sosial dalam dimensi horizontal. Spirit kerja sama adalah
bagian terpenting yang ditunjukkan oleh warga Medokan. Hal ini tak lepas dari
motivasi Lurah Medokan--sebagai segmen penting, yang mendorong warga dengan
cara mengadakan lomba, untuk lebih memperhatikan lingkungan. Inisiatif ini
harus terus dilakukan dan dikembangkan. Bahkan bila perlu pemda harus
mengagendakan lomba ini di seluruh pelosok Surabaya.
Ketiga,
langkah peduli lingkungan melalui kerja bakti ini dapat dijadikan spirit untuk
mengimbangi besarnya volume polusi, baik polusi yang diakibatkan oleh
pabrik-pabrik maupun kendaraan yang kian membanjir, sehingga untuk
menyiasatinya warga mengmbil inisiatif kerja bakti yang, bila perlu, dapat
dibarengi dengan gerakan penghijauan semisal menanm pohon.
Terlepas dari tiga hal di atas,
masyarakat Indonesia secara umum harus lebih menyadari pentingnya menjaga
lingkungan, seperti mengurangi penggunaan kendaraan bermotor kecuali dalam
keadaan perlu dan membuah sampah pada tempatnya. Gerakan peduli lingkungan
harus terus dilakukan demi mewujudkan Indonesia yang asri dan jauh dari
bencana. Seperti yang dilakukan oleh warga Medokan Semampir Surabaya. Wallahu a’lam.
Jagat politik Nasional digemparkan oleh gagalnya
pengajuan hak angket mafia pajak di DPR. Kegemparan ini dipicu oleh persoalan
koalisi yang setengah hati. Pasalnya, pada voting persetujuan hak angket
di DPR, telah menghasilkan selisih dua suara yakni, 266 anggota menolak dan 264
menerima. Hal ini mengindikasikan bahwa partai koalisi, yang tergabung dalam
Setgab, tidak sejalan dengan fungsinya sebagai pendukung pemerintah. Akibatnya,
“reshuffle” (pergantian) kabinet menjadi isu sentral dalam Pemerintahan
Kabinet Bersatu jilid II.
Isu reshuffle ini memang mengagetkan.
Betapa tidak, perjalanan politik pada pemerintahan SBY yang berusia 1,5 tahun
disinyalir mengalami keretakan. Kondisi ini dipicu oleh sikap politik anggota
sebagian partai koalisi yang secara gamblang membuktikan tidak sejalan dengan
tujuan awal yakni, menciptakan stabilitas pemerintahan melalui penyatuan misi
dalam Sekretariat Gabungan (Setgab) Koalisi.
Akan tetapi, isu reshuffle itu kian menyusut
ketika Presiden Yudhoyono dalam pidatonya mengatakan, “Saya belum pernah
mengatakan bahwa bulan depan akan ada reshuffle, minggu ini ada reshuffle.
Belum pernah.” (Kompas edisi 14 Maret 2011, halaman 5).
Kendati demikian, isu reshuffle ini setidaknya
telah mengabarkan kepada publik bahwa “prinsip kesatuan” yang dibangun dalam Setgab
Koalisi belum solid, bahkan mengalami keretakan. Menurut Hanta Yuda Ar –Analis Politik
dan Kebijakan Publik—bahwa keretakan ini dipicu oleh partai-partai koalisi yang
menjalankan “politik dua kaki”. Politik dua kaki merepresentasikan adanya dua kepentingan
dalam partai koalisi yakni, berkoalisi di pemerintah (eksekutif) sekaligus
menjalankan peran oposisi di parlemen. Dalam hal ini, partai yang sering
melakukan politik dua kaki adalah Golkar dan PKS. Tidak hanya itu, pada waktu
terakhir, politik dua kaki telah menjadi “budaya” yang sulit dihilangkan.
Adanya politik dua kaki ini sebenarnya
merupakan konsekuensi logis dari sistem pemerintahan presidensial-multipartai. Ini
sebenarnya merupakan konsekuensi akut. Sistem presidensial dipaksa
mengakomodasi koalisi parpol seperti dalam sistem parlementer. Inilah yang
disebut dengan politik transaksional, politik yang hanya didasarkan pada
kepentingan sesaat dan melahirkan kerjasama politik semu. Akibatnya, penyatuan tujuan
menjadi jauh panggang dari api karena diwarnai oleh silang kepentingan. Idealisme
politik Setgab Koalisi kini telah mengalami pergeseran bahkan penyusutan. Inilah
gambaran bahwa partai koalisi mengalami inkonsistensi (tidak konsisten).
Pertanyaannya kemudian, bagaimana bisa partai
koalisi menjalankan politik dua kaki? Apakah karena minimnya komitmen sehingga
mengabaikan tujuan awal dalam mendukung pemerintah?
Empat Alasan
Setidaknya,
ada empat alasan kenapa partai koalisi menjalankan politik dua kaki sehingga
mengalami inkonsistensi: pertama, adanya silang kepentingan antara
partai koalisi dan pemerintah. Ini menjadi alasan utama ketika partai koalisi dipertemukan
dengan “perseberangan kepentingan” yang tidak sesuai dengan kepentingan
partainya.
Kedua, belum maksimalnya sistem pemerintahan
presidensial. Presiden Yudhoyono sebagai Pimpinan Setgab Koalisi cenderung
kurang tegas dalam menyikapi partai koalisi yang menjalankan oposisi di
parlemen. Sikap ini yang pada akhirnya akan memberikan “celah” berupa
kesempatan untuk menghindar dari kesepakatan awal. Partai koalisi yang tidak
sejalan dengan kesepakatan kabinet akan merasa memiliki “kewenangan” untuk
menghindar.
Ketiga, kontrak koalisi yang tidak jelas. Kontrak koalisi
yang seharusnya menjadi syarat awal dalam membangun hubungan politik, ternyata
malah diabaikan. Sehingga, ketidakjelasan kontrak koalisi pada gilirannya akan
memicu adanya inkonsistensi dari partai koalisi dalam konteks pemerintahan
demokrasi.
Keempat, terlalu mementingkan kuantitas daripada
kualitas. Hal ini terlihat dari gemuknya koalisi yang ada di Setgab. Dengan
kata lain, koalisi pada jilid II kini hanya merangkul partai
sebanyak-banyaknya, tetapi mengesampingkan pentingnya soliditas dan kohesivitas
anggota partai dalam membangun hubungan politik.
Dengan adanya empat pemicu politik dua kaki di
atas, setidaknya telah melahirkan hipotesis yakni, inkonsistensi partai dalam
Setgab Koalisi. Inkonsistensi ini, jika dibiarkan pada gilirannya akan
berpengaruh pada stabilitas peran pemerintahan. Wajar jika isu reshuffle
menjadi santer diwacanakan, utamanya oleh Partai Demokrat (PD) sebagai partai
yang merepresentasikan politik SBY.
Menyikapi persoalan itu, dibutuhkan komunikasi
politik yang sejalan demi membangun soliditas dalam Setgab Koalisi. Karena
walau bagaimanapun, komunikasi politik merupakan wahana bagaimana interaksi
atau konstruksi ide dalam membentuk pemerintahan yang solid bisa tercapai.
Sehingga, berbagai kecacatan, seperti silang kepentingan antar anggota Setgab
Koalisi, bisa terselesaikan. Dan, perpecahan yang ditandai dengan adanya isu reshuffle,
tidak perlu terjadi.
Sejak Majelis
Ulama Indonesia (MUI) pada Juli 2005 lalu mengeluarkan fatwa haram bagi umat Islam
dalam menganut liberalisme karena bertentangan dengan spirit agama, bumi Indonesia
seakan menjadi dua warna. Warna yang satu mencerca kalau MUI itu tolol dan
bodoh bahkan harus dibubarkan karena dianggap melawan titah sang tuan. Sementara,
warna yang lain membenarkan pernyataan bahwa liberalisme (paham kebebasan
menurut keyakinan sendiri) akan meracuni pikiran dan hati umat muslim sehingga
lepas dari ajaran Tauhid para Nabi.
Kebebasan
yang berlandaskan kesadaran atas ketertindasan dan keterpasungan menjadi “solusi
absurd” dalam menempuh kemerdekaan dari segala hegemoni yang melandanya.
Seperti belakangan mencuat wacana emansipasi wanita dengan jargon feminisme-nya.
Kebebasan dalam menentukan kepercayaan dan keyakinan beragama bagi seluruh umat
melahirkan istilah “pluralisme agama”. Akan tetapi, kadangkala keinginan
seseorang untuk bebas tak jarang menerobos batas norma agama, sosial dan
tradisi. Mungkin, orang yang merasa risih dan tidak betah terhadap tradisi yang
dikonstruk oleh budaya agama akan menjadi alasan untuk bebas secara lahiriah
dari hukum dan ketetapannya sebagai seorang muslim, sehingga mencuat gagasan
untuk membentuk “agama baru” yang berlandaskan logika kemanusisaan (akal),
yakni Islam Liberal.
Setidaknya,
itulah yang menjadi gambaran awal ketika menuntaskan novel KEMI: Cinta
Kebebasan yang Tersesat. Dalam novel setebal 316 ini diceritakan seorang Ahmad
Sukaimi (Kemi; sapaannya) adalah santri yang “meninggalkan” pesantren tanpa
mendapat restu dari kyainya untuk melanjutkan kuliah di salah satu universitas di
Jakarta. Gilirannya, ia “terjerat” kelompok Islam Liberal yang menjanjikan
kebebasan dan kesenangan dengan aktivitas doktrinasinya; mengajak semua orang
berpaham kebebasan tanpa memerhatikan aspek spiritual sekalipun. Kehidupan yang
dilalui Kemi begitu menantang. Mengadakan acara yang bertajuk liberalisasi
melalui LSM-LSM dan forum-forum diskusi yang menentang terhadap metode dan pemikiran
Islam klasik lagi tradisional, menuju pemahaman Islam kontemporer yang lebih
mementingkan ramah sosial daripada beribadah kepada Tuhan. Praktik syariah
berupa ritual keagamaan tidak lagi dijadikan dasar dalam kehidupan Kemi.
Tidak jauh
beda dengan Siti, mahasiswi keturunan “darah biru”, yang secara tidak langsung
menentang ayahnya dengan menyokong gerakan penolakan terhadap RUU
Antipornografi dan Pornoaksi oleh MUI (hlm. 199). Siti menjadi bagian dari
kelompok Kemi yang gempar menyuarakan liberalisasi Islam, kesetaraan gender,
dan pluralisme agama, hingga tak lagi membedakan dirinya apakah laki-laki atau
perempuan. Bagi Siti, laki-laki dan perempuan sama saja ihwal hak dan
kewajibannya sebagai manusia. Namun, pada akhirnya, fitrah kewanitaan yang ada
pada diri Siti memberontak. Karena walau bagaimanapun Siti adalah makhluk yang
membutuhkan laki-laki, membutuhkan pasangan hidup, dan membutuhkan kasih
sayang, termasuk juga dari keluarganya (hlm. 200).
Oleh
karenanya, Siti membongkar seluruh “kebejatan” yang ada pada kelompok Islam
Liberal dengan membeberkan misi dan taktik-taktiknya kepada Rahmat. Seorang Rahmat,
yang diutus oleh kyai Rois (pengasuh pesantren Minhajul Abidin tempat Kemi nyantri
dulu) untuk menyelamatkan Kemi, sekaligus menentang pemikiran dan
gerakan-gerakan Islam Liberal, mulai paham bahwa kelompok itu tak lebih merupakan
penyakit yang pada akhirnya akan menghancurkan keutuhan Islam, utamanya
generasi pesantren. Sepak terjang Rahmat (sebagai seorang santri) dalam melawan
logika pemikiran liberalisme begitu tampak ketika ia mampu membuat “mati kutu”
Prof. Malikan, salah seorang dosennya.
Sebagai
lulusan International Institute of Islamic Thought and Civilization-International
Islamic University Malaysia (ISTAC-IIUM), Adian Husaini, penulis novel ini,
sangat lihai mengolah logika dalam wacana pemikiran Islam klasik-kontemporer.
Seperti karakter pada tokoh Rahmat. Menyelami novel ini tidak jauh berbeda
dengan membaca buku ilmiah. Hanya saja, logika yang dibangun seakan menjadi
terkesan “provokatif” (utamanya mengenai gender) ketika dihadapkan pada
khazanah pemikiran kontemporer yang merekonstruksi teori emansipasi wanita
seperti yang terdapat dalam banyak buku.
Perbedaan
yang cukup mencolok ketika novel ini menjadi antitesa terhadap novel
Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah el-Khalieqy. Novel KEMI: Cinta
Kebebasan yang Tersesat jelas-jelas mengangkat kembali derajat pesantren
sebagai ‘lembaga pendidikan Islam yang ideal dan tokoh-tokoh pesantren yang
berwawasan luas, sekaligus gigih dalam membendung gelombang liberalisme’—seperti
ditulis oleh Taufiq Ismail ketika memberikan tanggapan terhadap novel ini—di
satu sisi. Akan tetapi, di sisi lain, dari unsur intrinsiknya, karakter tokoh
perempuan yang terdapat dalam novel ini seakan telah dibentuk secara subjektif,
sehingga mau tidak mau, pembaca diajak untuk menyetujui gagasan-gagasan yang
ditawarkan Adian tanpa harus memerhatikan aspek lain. Seperti yang terdapat
pada sub-bab berjudul Dialog Bejo dan Doktor Ita.
Kendati
begitu, novel ini tetap meneguhkan daya tariknya bukan hanya karena alur
ceritanya yang “fantastik” sehingga dapat membawa pembaca ke alam ilmiah dan
berimajinasi mengenai kondisi yang benar-benar menjadi tantangan umat Islam—dengan
setting kota metropolitan, Jakarta. Tetapi, pembaca juga akan memperoleh
wawasan tentang otentisitas khazanah keilmuan ulama Islam klasik yang terdapat
dalam karya-karyanya, dengan “permainan” logika yang rasional, utamanya dalam
hal ilmu Fiqh dan Tafsir.
Novel ini
penting bukan hanya bagi mereka yang masih berkeyakinan bahwa kebebasan (yang
sebebas-bebasnya) adalah jalan satu-satunya meraih kebahagiaan dalam kehidupan
sosial, ekonomi, khususnya keyakinan agama. Melainkan juga menjadi bacaan wajib
bagi kaum sarungan (baca: santri) yang mencintai keutuhan Islam dan memiliki
spirit dalam mengkaji pemikiran Islam klasik-kontemporer serta menuntut ilmu
Tuhan. Wallahu A’lam.
*) Pemain di
Klub NU Mimpi Lubangsa. Resensi ini dimuat dalam Majalah Muara edisi Tahun 2010
Kompleksitas
persoalan pendidikan, hingga hari ini nyaris mencapai titik klimaks memiriskan.
Ini terlihat ketika berbagai problem dialami oleh lembaga pendidikan dewasa
ini, mulai dari rendahnya kualitas sumber daya dan profesionalisme tenaga
pendidik dalam proses kegiatan belajar mengajar (KBM), sampai pada manajemen
kurikulum yang telah berjalan (actual curriculum), tak kunjung mencapai
target kurikulum yang dicita-citakan (ideal curriculum). Bukan hanya
itu, problem eksternal juga terlihat ketika output pendidikan seringkali
melakukan tindak penyimpangan sosial (amoral), kriminal, dan lain sejenisnya.
Persoalan
semakin runyam, ketika menyentuh ke ranah kebijakan mengenai UN, misalnya.
Meski sudah banyak kalangan yang melakukan otokritik terhadap pemerintah
tentang diadakannya UN. Namun kenapa kemudian, sampai detik ini, UN tetap
berjalan, mengalir tanpa ada perubahan yang pasti. Setidaknya dari inilah akan
lahir sebuah persepsi bahwa pendidikan kita—yang dikendalikan oleh
pemerintah—mengalami pergeseran paradigma (shifting paradigm) ke
pragmatis. Sehingga wajar jika kemudian Francisco Wafforrt mengarakan bahwa
pendidikan acapkali menjadi lahan segala hasrat manusiawi, seperti politik,
ambiguitas, tersedot di dalamnya. Dengan kata lain, pendidikan (dalam hal ini
sekolah) menjadi lahan empuk dalam memuaskan hasrat manusiawi para stakeholder
(pembuat kebijakan) dalam dunia pendidikan. Malangnya, mentalitas pragmatis
yang melekat pada diri pembuat kebijakan pendidikan, seakan telah menjadi
“hiasan” yang tak pernah usang.
Sekolah
sebagai lokal sentral proses transfer ilmu pengetahuan, ternyata mengalami
kesulitan ketika harus “bersentuhan” dengan UN. Tak ayal jika kemudian banyak
siswa yang menghalalkan segala cara demi memperoleh ‘sertifikat’ kelulusan.
Bahkan ironisnya, berbagai praktik kecurangan dilakukan oleh pengelola instansi
sekolah. Sehingga dampak dari hal tersebut pada akhirnya akan menjadikan anak
didik sebagai lulusan yang kurang (untuk tidak mengatakan “tidak bisa”)
kompeten setelah mereka lulus sekolah.
Berbagai
persoalan pelik di atas, setidaknya akan membawa dampak akut yang kian mencuat
ke permukaan yang pada titik klimaksnya akan semakin memperkokoh persepsi
buramnya dunia pendidikan kita. Tantangan yang muncul sebagai bentuk
pengejawantahan dari upaya mencapai pendidikan idealis-formalistik semata,
semakin membuat kita sadar bahwa sejatinya tujuan pendidikan, sebagai wahana
mencerdaskan kehidulpan bangsa dan jembatan transformasi sosial, semakin
menjauh dan tercerabut dari akarnya, sehingga idealisme pendidikan sulit bahkan
sukar dicapai.
Akreditasi A dan Sebuah Pijakan
Namun, di
balik itu, ada hal menarik yang dapat kita saksikan, yakni adanya lembaga
pendidikan yang terakreditasi A, lembaga pendidikan (sekolah) yang dapat
dikatakan populer di masyarakat luas. Umumnya, sekolah semacam ini
“digandrungi” banyak kalangan. Beragam pujian pun bercurcuran pada sekolah yang
terakreditasi A ini. Namun, permasalahannya, dapatkah dekolah semacam ini
mengemban amanah yang telah diberikan? Atukah jangan-jangan sekolah hanya ingin
“popularitas doank” dengan menyandang gelar demikian? Inilah relevansi
pertanyaan: A, kebanggaan atau tantangan?
Di sinilah
pentingnya seluruh elemen penting pengelola pendidikan harus dapat duduk
bersama, berkontemplasi, merumuskan pelbagai langkah yang harus dilakukan. Pertama,
gelar yang cukup luar biasa itu, sewajarnya menjadi sebuah tungku pembakar
semangat para pendidik untuk terus meningkatkan profesionalismenya demi membangun
kader-kader bangsa (baca: anak didik) yang berkualitas. Sumber daya rendah yang
dimiliki pendidik belakangan ini, setidaknya menjadi hambatan yang harus segera
dibenahi. Bukan hanya pada ranah konsep an-sich, tetapi gerakan praksis
penting diumikan. Semisal, dalam kelas, pendidik hanya mampu memberikan materi
tanpa diseimbangi dengan keluesan dalam membangun minat belajar anak didik,
hanya akan membuat mereka (baca: siswa) merasa tertekan.
Konteks
inilah pentingnya pendidik (meng)-aktualisasi subtansi akreditasi A sebagai
pemacu ghirah dan minat anak didik untuk terus belajar, yakni dengan
langkah menciptakan suasana kondusif dengan metode apapun, bagaimana kemudian
anak didik terlibat aktif dalam proses KBM. Dan tanpa pandang bulu, dalam arti,
pendidik tidak membeda-bedakan siswa pintar dan siswa bodoh, kaya dan miskin,
dan sejenisnya. Seperti gagasan John Comenius (Jan Komensky, 1592-1670),
melalui karyanya Dedactica Magna (“Seni Pengajaran yang Agung”),
menggagas “pendidikan untuk semua”, yakni pendidikan yang dapat dinikmati semua
kalangan dan dari level apapun. Karena gelar akreditasi A ini merupakan cermin
bagi lembaga pendidikan yang terbuka bagi semua kalangan. Artinya,
menghilangkan paradigma dari sekolah yang terkesan elite, sekolah yang hanya
menerima siswa berkemampuan finansial mumpuni (baca: kaya), menjadi keharusan
dilakukan. Karena pendidikan mempunyai kandungan universal, bukan terikat pada
ranah pragmatisme belaka, seperti tergambar di awal.
Kedua,
reorientasi kurikulum, menjadi kurikulum berbasis minat dan kebutuhan siswa.
Ini menjadi penting diterapkan, mengingat minat dan potensi siswa tidak selalu
sama. Hal ini dapat dilakukan dengan memfokuskan pada mata pelajaran tertentu.
Karena tingginya target kognitif yang harus dicapai dalam semua mata pelajaran,
pada gilirannya akan menyulitkan siswa dalam mimilih dan menentukan materi
pelajaran apa yang harus mereka perdalam, sehingga potensi akan didik pun
menjdi burum.
Dengan kedua
langkah demikian, diharapkan akreditasi A menjadi sebuah simbol untuk
“berproses” bagi sekolah yang menyandangnya. Dan bukan sebagai kebanggaan yang
harus dirayakan. Melainkan, mengembangkan dan terus memperbaiki kulitas di
berbagai aspek—kurikulum dan tenaga pendidik—menajdi sebuah lembaga pendidikan menuju
kesempurnaan, adalah harga mati yang tak bisa ditawar.
Akhirnya,
sebagai sebuah pijakan, penulis melancarkan pandangan AS Laksana yang
mengilustrasikan lembaga pendidikan sebagai sebuah pabrik: di pabrik yang baik,
anak kita (siswa, pen.) mungkin bisa diolah menjadi biskuit yang lezat atau
kripik yang gurih dan renyah atau menjadi tahu nomer satu. Sebaliknya, di
pabrik yang bekerja asal-asalan, mereka bisa menjadi biskuit beracun atau tahu
masam yang akan membuat perut kita mules-mules (AS Laksana, Tentang
Bangsa yang Gagal Belajar, Jawa Pos 21/02/2010 hal. 12).
Artinya,
lembaga pendidikan yang baik adalah lembaga pendidikan yang harus serius
berupaya menumbuhkembangkan potensi yang dimiliki anak didik. Serius tanpa
adanya unsur egosentrisme individualistik seorang pendidik dan pengelola
pendidikan. Karena terkadang, mereka (pengelola pendidikan, temasuk pendidik)
hanya mengharapkan imbalan dan –meminjam istilah Fathorrahman Hasbul- telah
terjebak pada sindrom materialisme. Oleh karena itu, menjadi sebuah kewajiban
bagi seorang pendidik untuk selalu berusaha menjadi pribadi ideal, sebagai
pribadi yang pantas digugu (dipercaya) dan ditiru (diteladani).
Supaya, dengan demikian dan dengan sekolah yang sudah terakreditasi A,
pendidikan berjalan kondusif, bijak, dan komprehensif.
* tulisan
ini dipublikasikan oleh Majalah SENSASI edisi pertama pada april 2010
Perbincangan
seputar pendidikan kian marak diperbincangkan dan menjadi tema perdebatan di
berbagai kalangan, pemerhati dan praktisi pendidikan. Terkait dengan perubahan
jadwal Ujian Nasional.
Berdasarkan
peraturan Meneri Pendidikan Nasional Nomor 75 Tahun 2009 Tentang Ujian Nasional
(UN), SMP/MTS, SMK sederajat, jadwal UN yang biasanya dilaksankan pada bulan April
dimajukan menjadi Maret. UN untuk tingkat SMA sederajat dilaksanakan minggu
ketiga Maret 2010, sedangkan untuk SMP sederajat pada minggu keempat Maret 2010
(Kompas, 12/11/2010).
Hal ini
menimbulkan tanda tanya, apakah perubahan tersebut dapat merubah ke arah
perbaikan? Atau hanya sebagai rutinitas dan formalitas semata?
Sebelumnya,
banyak kalangan mempermasalahkan keberadaan UN karena tidak dapat (tidak
sesuai) dijadikan barometer kelulusan siswa kelas akhir (SKA) karena kemampuan
dan bakat siswa bukan hanya mengacu pada materi yang diajukan. Sehingga, pada
tahun lalu, fenomena banyaknya SKA yang tidak lulus semakin menggurita dan
menajdi problem akut yang telah lama mencuat ke permukaan. Di samping itu,
tanpa menyertakan nilai afektif dan psikomotorik, seperti mustahil dijadikan
ukuran kelulusan. Padahal, indikator pendidikan sejatinya adalah untuk
membentuk manusia yang memiliki kecerdasan di semua bidang, baik kognitif,
afektif, maupun psikomotorik.
Dengan tiga
penilaian demikian, maka pendidikan dapat menemukan irama permainan terbaiknya,
yakni mencetak kader-kader berkemampuan matang dan memiliki kompetensi di semua
aspek, dapat diharapkan menjadi manuisia yng dapat memeberikan kontribusi urgen
bagi kemajuan bangsa.
Perubahan ke Arah Perbaikan
Dalam
peraturan Menteri Pendidikan Nasional bahwa pada tahun pelajaran ini UN akan
dilaksanakan dalam dua tahap, sebagai konsekuensi dari dimajukannya jadwal UN. UN
tahap kedua ini adalah sebagai sebentuk kesempatan kedua untuk SKA yang tidak
lulus dalam UN tahap pertama.
Hal ini
menghadirkan angin segar bagi kalangan SKA tahun ini. Sebab, dengan keputusan
tersebut siswa diharapkan dapat menyambut UN sebagai ujian sekolah yang menguji
kemampuan di bidang tertentu. Bukan malah menganggap UN sebagai “monster” yang
menakutkan.
Akan tetapi,
perubahan tersebut belum tentu dapat memperbaiki kualitas pendidikan. Sebab,
meskipun berubah demikian, namun materi yang diujikan dan penilaian yang
diajukan hanya berkutat pada ranah kognitif semata, kelulusan SKA tetap tidak
dapat menjadi barometer keberhasilan pendidikan dalam mencetak kader bangsa
yang berkualitas. Sebab, tanpa didasari dengan penilaian tingkah laku dan/atau
moral (penilaian afektif) dan keterampilan dan/atau kreasi (nilai
psikomotorik), kualitas kelulusan pendidikan SKA masih jauh panggang dari api.
Dan mimpi pendidikan sebagai wahana pencerdasan dan transformasi sosial tidak
akan menemui titik terang.
Kemudian,
pada babakan selanjutnya, gerakan apa yang harus dilakukan pemerintah (Mendiknas)
dalam memperbaiki kualitas kelulusan pendidikan melalui UN sebagai ukuran
kelulusan SKA? Dalam hal ini, setdaknya pemerintah (Mendiknas) dapat mengambil
inisiatif. Pertama, mengikutsertakan lembaga sekolah/madrasah berdasar
pada penilaian afektif dan psikomotorik. Mengingat di era Dunia Ketiga ini,
bangsa ini sedang ditimpa krisis moral yang cukup mencengangkan. Oleh sebab
itu, mencernakan dua nilai di atas menjadi harga mati yang tak bisa ditawar.
Sehingga, pendidikan sebagai wahana pencerdasan moral-spiritual tidak hanya
menjadi “slogan” yang terpampang di mana-mana.
Kedua, meningkatkan
pengawasan dari berbagai pihak keamanan yang bertugas mengawasi jalan UN. Sebab,
kesalahan tahun lalu, dengan mencuatnya problem tindak kecurangan yang
dilakukan, bahkan ironisnya, hal itu dilakukan oleh seorang guru, maupun
pengelola lembaga pendidikan, tidak dapat terulang kembali di UN tahun ini. Dalam
konteks ini, kejujuran dari berbagai pihak menjadi hal urgen dilakukan.
Sehingga, pendidikan dapat membedakan antara siswa yang memang memiliki skill
dalam megerjakan materi yang di-UN-kan.
Ketiga, mengobservasi
kemampuan siswa di setiap lembaga pendidikan dalam tujuan mengetahui bakak dan
minat siswa dan dapat diujikan melalui UN. Karena bakat dan minat setiap siswa
tidak hanya terpaku pada materi tertentu misal, Matematika, Bahasa Inggris,
Bahasa Indonesia, dan lain sejenisnya.
Tiga langkah
di atas penting dipertimbangkan mengingat pendidikan sebagai jembatan
transformasi sosial, pencerdasan, dan peningkatan kualitas hidup sosial dapat
terlaksana dan tidak hanya berkutat pada penilaian akademik semata, melainkan
melalui penilaian moral, spiritual, emosional, kreativitas (life skill)
dan semacamnya.
Dengan
demikian, kualitas kelulusan pendidikan tahun ini melalui UN sebagai barometer
kelulusan siswa, menjadi kenyataan tak terbantahkan dan pendidikan dapat menemukan
(kembali) ruhnya sebagai wahana pencerdasan sosial dan jembatan transformasi
sosial dalam mengembangkan dan memberikan kontribusi bagi kemajian dan
peningkatan SDM bangsa kita. Tak terkecuali dalam konteks Jawa Timur. Wallahu
A’lam.
·tulisan ini dimuat di Harian Radar Madura edisi Rabu, 2 Desember
2009