Mengenai Saya

Minggu, 28 Agustus 2016

Muhadjir dan Tendensi Penerapan FDS

Akhir-akhir ini dunia pendidikan kita diwarnai oleh berbagai persoalan-persoalan krusial, justeru ketika selesai reshuffle Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud). Menyikapi hal itu, publik kemudian terpantik reaksinya. Ada yang mengatakan bahwa reshuffle Mendikbud dari Anis Baswedan ke Muhadjir Efendy sangat jauh dari harapan. Tetapi sebagian yang lain menyatakan bahwa dengan digantinya Anis Baswedan, wajah pendidikan Nasional akan semakin baik.
Terlepas dari pro dan kontra mengenai reshuffle Mendikbud tersebut, mari kita kembali memikirkan bagaimana seharusnya dunia pendidikan Nasional kita. Dengan realitas masyarakatnya yang majemuk, konsep dasar pendidikan benar-benar harus lahir dari rahim  ke-Indonesia-an.
Jika kita bedah satu persatu, persoalan yang paling pelik adalah bagaimana seharusnya sistem pendidikan Nasional dapat menyentuh esensi dari pendidikan itu sendiri. Pendidikan Nasional (mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi) harus mampu mencapai kebutuhan-kebutuhan dasar manusia. Karena pendidikan sebenarnya merupakan kebutuhan dasar itu sendiri, sehingga mencapai visi dasar pendidikan (yang dalam UUD 1945 adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa”), merupakan harga mati yang tak bisa ditawar.

Penerapan FDS
Hal yang tak lepas dari perhatian dan perbincangan publik adalah mencuatnya gagasan ful day school (sekolah sehari penuh, selanjutnya disingkat FDS) oleh Mendikbud Muhadjir. Gagasan ini jika dirunut ke akarnya, bukan sesuatu yang baru bagi kita dalam kancah pendidikan Nusantara. FDS sudah lama diterapkan di seluruh lembaga pendidikan pesantren di Indonesia. Keberadaan manajemen FDS memang menajdi pioner tersendiri di tengah realitas pendidikan Nasional. Sehingga tidak salah jika kemudian pesantren (sebagai lembaga pendidikan islam tertua di Indonesia) merupakan lembaga yang paling berhasil dalam mencetak kader bangsa yang berkarakter.
Sampai di sini, jika FDS yang digagas Mendikbud memang diilhami oleh sistem manajemen pendidikan pesantren, kemungkinan besar dapat berbuah manis dan sangat positif bagi pembentukan karakter anak bangsa. Akan tetapi, gagasan ini menjadi hal yang perlu diperhitungkan kembali ketika dihadapkan pada kondisi lembaga pendidikan formal di Indonesia yang dari segi kurikulum, tatakelola, maupun keadaan peserta didik (baik dari segi psikis maupun sosial) tidak sama. Sehingga bukan hal baru jika kritik menjadi konsekuensi logis yang timbul di kalangan masyarakat.
Kendati demikian, bukan tidak mungin manajemen FDS diterapkan di sekolah formal (terutama SD dan SMP) ini. Hanya saja, Mendikbud memang perlu melakukan beberapa hal. Pertama, gagasan FDS dapat dijadikan sebagai sebuah kebijakan untuk diterapkan di sekolah dengan berlandaskan spirit “back to local”. Artinya, diterapkannya FDS harus juga mempertimbangkan apa yang menjadi kekuatan dan kelemahan pada sekolah-sekolah tertentu.
Kedua, diperluakan sosialisasi yang jelas mengenai bagaimana FDS ini diterapkan. Hal ini dapat meliputi kurikulum, kegiatan, dan goal serta evaluasi mengenai perkembangannya ini ke depan. Hal ini penting, karena untuk memberikan pemahaman dan penjelasan kepada masyarakat luas, terutama intinya bermuara pada kebaikan dan kemajuan anak didik di sekolah maupun di luar sekolah.
Ketiga, sebagai penerjemahan terhadap konsep Nawacita-nya Presiden Jokowi, manajemen FDS yang digagas Muhadjir harus juga identik dengan peningkatan taraf kualitas pendidikan terutama di desa-desa dan pedalaman. Hal ini terutama dari segi prasarana, anggaran dana, dan fasilitas-fasilitas sekolah. Jika perlu, Kemendikbud dapat membentuk tim pengawas pengembangan kualitas sekolah pinggiran di berbagai daerah-daerah tertinggal.

Pembentukan Karakter
Sebagaimana dikemukakan Mendikbud Muhadjir, gagasan FDS timbul adalah sebagai upaya dalam membentuk karakter anak didik melalui lembaga pendidikan. Dengan diterapkannya gagasan ini, Muhadjir berhadap agar siswa tidak lagi berperilaku di luar batas, tidak nakal ketika siswa di luar kelas, dan tetap dalam perhatian orangtua ketika anak didik sudah keluar dari lingkungan sekolah.
Jika yang menjadi esensi adalah demikian, gagasan FDS sebenarnya bukan satu-satunya upaya dalam membentuk karakter anak didik (terutama di tingkat SD dan SMP). Ia hanya merupakan satu dari sekian banyak upaya yang telah dilakukan sejak dulu, misalnya seperti telah diterapkannya kantin kejujuran, mengantar anak ketika masuk sekolah, dan adanya kontrol guru ketika siswa sudah tidak berada di lingkungan sekolah serta upaya-upaya lainnya.
Konklusinya, Muhadjir melontarkan gagasan FDS memang bukan merupakan sebuah kekeliruan, akan tetapi untuk menjadikannya sebagai kebijakan Nasional juga perlu mementingkan eksistensi sekolah-sekolah pinggiran dan pedesaan. Ada hal yang jauh lebih penting yang dibutuhkan sekolah-sekolah di pedesaan daripada sekadar kebijakan FDS, yakni pemerataan.