Mengenai Saya

Selasa, 20 September 2016

Latar Belakang Judul Skripsi Saya; Prodi Sosiologi FISIP UIN Sunan Ampel Surabaya

Pada pertengahan Juli (11/07/2016) lalu, Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Sumenep menggelar acara “Khalaqah Kedaulatan Tanah; Upaya untuk Melindungi dan Merawat Tanah Warisan Para Leluhur”. Seluruh elemen masyarakat mulai dari mahasiswa (termasuk peneliti), warga, tokoh masyarakat, para peneliti dan berbagai perwakilan LSM di Sumenep turut serta dalam acara tersebut, bahkan tokoh intelektual NU sekaligus Direktur Moderate Muslim Society Zuhairi Misrawi juga menyempatkan hadir dalam memberikan sudut pandangnya terkait persoalan pelik penjualan tanah di Sumenep.
Tak dapat dipungkiri, banyaknya tanah yang dijual di Sumenep kepada para investor/corporate menjadi keresahan tersendiri bagi masyarakat. Pasalnya, hingga saat ini sudah sekitar 500 hektar lahan produktif Sumenep dikuasai investor. Berdasarkan data dari PCNU Sumenep, lahan-lahan itu tersebar secara massif di berbagai daerah, mulai dari Kecamatan Talango, Gapura, Manding, Lenteng, Dasuk, Kecamatan Kota, Ambunten, Kalianget, Pasongsongan, dan Bluto serta berbagai daerah lain, khususnya sepanjang pantai utara Sumenep (Dungkek, Batang-Batang, dan Batu Putih).[1]
Isu yang santer dibicarakan sejak dua tahun terakhir, pantai utara Sumenep itu kemungkinan akan menjadi pelabuhan internasional yang menghubungkan Madura dengan pulau-pulau lain di Indonesia dan Negara-Negara Asia lainnya. Kemudian, tanah-tanah yang mereka beli di sepanjang pantai Dungkek, Batang-Batang dan Batuputih itu akan dijadikan sebagai tempat tambak dan budidaya ikan untuk diekspor ke luar negeri. Hal ini bukan tanpa dasar, para investor tersebut rata-rata memang bukan asli Indonesia, hanya untuk memuluskan langkahnya mengatasnamakan orang Indonesia, bahkan ada yang atas nama penduduk lokal.[2]
Oleh karena peluang yang sangat menjanjikan ini, hukum pasar (kapitalisme) pun berlaku: semakin tinggi permintaan, semakin tinggi pula harga komoditas. Tanah yang awalnya seharga 10 ribu rupiah per meter persegi, sekarang melonjak menjadi sekitar 100 ribu rupiah per meter persegi. Lalu, siapa yang tidak tergiur untuk menjual tanahnya. Kebanyakan masyarakat berpikir begitu. Mereka lebih memilih menjual tanah akibat kebutuhan yang kian hari kian tinggi. Mereka juga tidak berpikir tentang bagaimana konsekuensi yang akan timbul jika para investor dan kapital terus menguasai tanah mereka.
Alhasil, persoalan-persoalan baru semacam konflik antar masyarakat kecil, antartetangga, antarsaudara meletup sebagai imbas dari perebutan hak milik tanah. Tidak absen juga konflik yang dialami antara warga dengan perangkat-perangkat desa dan pamong praja, bahkan konflik antara kelompok masyarakat dengan pemerintah daerah menjadi pemandangan yang sangat miris. Bahkan seperti yang terjadi di banyak tempat, di mana pemodal sudah beroperasi, bukan tidak mungkin rumah-rumah warga yang tersisa, atas nama pembangunan, akan ikut digusur.
Dalam analisa Badrul Arifin terhadap konsep ursprünglische akkumulation atau akumulasi primitif yang dikemukakan Marx di mana dalam penguasaan tanah oleh investor mengindikasikan adanya proses historis pembentukan kelas proletariat. Dapat dikatakan bahwa akumulasi primitif ini merupakan transisi awal dalam proses produksi pra-kapitalis yang kemudian diikuti kelahiran produksi kapitalisme. Pelan tapi pasti, masyarakat pesisir Sumenep yang berada di dekat lokasi beroperasinya produksi oleh investor mulai teralienasi dari hidup dan lingkungan sekitarnya.[3]

[1] Harian Radar Madura (Jawa Pos Group) edisi 15 Juli 2016
[2] Bedah editorial Majalah Fajar, bertajuk: “Investor Borong Tanah Sumenep; Penduduk Diancam, Ditakuti, dan Ditipu”, oleh Daulat Tanah Sumenep pada 14/09/2016 di Kantor PCNU Sumenep.
[3] Badrul Arifin, Akumulasi Primitif dan Masalah Agraria di Pesisir Sumenep dalam Harian Indoprogress edisi 1 September 2016