Mengenai Saya

Minggu, 05 Oktober 2014

Wajah DPR yang Bopeng Sebelah


Drama lucu kembali ditunjukkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kita pada akhir masanya. Dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) MPR, DPD, DPR, dan DPRD (MD3), kontroversi mencuat ketika RUU Pilkada akan disidangkan. Bagaimana tidak lucu? DPR melawan rakyat. Legislatif sebagai corong kepentingan rakyat kini berubah buas menentang kedaulatan rakyat. Lagi-lagi, ini adalah kepentingan parsial partai politik (parpol) oposisi bernama Koalisi Merah Putih (KMP).
Ketika Gerinda memutuskan setuju Pilkada tidak langsung, Ahok memilih keluar dari partai berlambang kepala Garuda itu. Pun rakyat tak ketinggalan dengan berunjuk rasa menolak pengesahan RUU Pilkada. Betapa bopengnya wajah wakil rakyat kita. Tanpa sungkan atau malu, dengan muka pamrih hampir separuh suara (249 kursi/suara) di DPR setuju Pilkada dipilih Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Bukti bahwa DPR telah mencederai substansi demokrasi. Model pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat mengalami pengeroposan yang begitu memilukan. Ada etika demokrasi yang dilindas oleh ambisi dan egoisme sehingga menganggap rakyat tiada arti. Lalu untuk siapa pengabdian dan perjuangan mereka di kursi (legislatif)?
Memilih menjadi politisi sebagai jembatan menjadi negarawan yang membela kepentingan negara dan rakyat, seharusnya mereka tahu diri atas nama siapa mereka duduk di kursi. Alih-alih membuktikan kualitas diri dan kinerja, mereka justeru berbalik ingin menjadi penguasa lagi. Rupa-rupanya, hal ini membuat Koalisi Kawal RUU Pilkada berkontribusi dengan menyerahkan surat terbuka kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melalui Dewan Pertimbangan Presiden. Koalisi ini menghendaki agar suara rakyat dihargai oleh Presiden dengan mencabut RUU Pilkada.
Dampak nyata yang akan dirasa tentang RUU Pilkada ini, Indonesia bukan hanya akan kembali pada demokrasi semu (untuk tidak mengatakan otoriter) seperti dialami pada Orde Baru yang menyakitkan. RUU Pilkada juga berpotensi mengekalkan stutus quo dan maraknya korupsi. Ini diakui oleh pengamat Hukum Tata Negara Refly Harun dan Peneliti Hukum pada Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz. Keputusan untuk menetapkan Pemilu tidak langsung merupakan kesalahan fatal dalam negara demokrasi. Selain itu berpotensi terjadinya korupsi yang kian massif dan sistematis.
Bopeng Sebelah
Sidang Paripurna DPR sudah dilakukan kemaren hingga dini hari (25-26/9). Isinya mengecewakan. RUU Pilkada tidak jadi dihapus. Unsur-unsur inkonstitusional dan egoisme individualistik tetap nyata dalam DPR kita. Keputusan Fraksi Partai Demokrat (PD) untuk walk out sungguh di luar dugaan. Meski SBY memberi arahan agar anggota partainya di DPR memilih opsi pilkada langsung sejak jauh hari, PD malah memilih netral.
Hanya, perjalanan reformasi sejak 1998 hingga terciptanya kebijakan pilkada langsung oleh rakyat pada 2005 dan hampir 10 tahun berjalan ini kemudian terasa hambar. Lalu mengganjal, ketika Mahkamah Konstitusi menolak permohonan KMP (Golkar, PKS, PAN, PPP, Gerindra), kemudian KMP menggugat mekanisme pilkada secara langsung. Seperti ada udang di balik batu, KMP sebagai koalisi yang dipimpin capres yang kalah dalam pilpres pasti ada maksud di balik rasa kecewanya. Betapa tidak, kedaulatan konstitusional dan hak masyarakat warga berani ditentangnya.
KMP, terutama Golkar, berdalih pilkada langsung “tak efisien”. Padahal, menurut Ramlan Surbakti (26/9), kader parpol di DPR dan mereka yang duduk di dalam pemerintahanlah penyebab pilkada langsung tak efisien. Karena itu, merekalah yang harus mencegah pilkada yang tak efisien. Sebab, mereka yang membentuk UU, menyeleksi dan mengajukan pasangan calon kepala daerah dengan dipungut “sewa perahu” atau “uang mahar”, dan bukan merubah mekanisme pilkada langsung. Kini jelas, adanya KMP menyebabkan wajah DPR kita di Senayan menjadi bopeng sebelah.

*) Tulisan ini disampaikan pada diskusi Indonesia Belajar (IB), tanggal 26 September 2014. Judul tulisan ini terinspirasi dari tulisan Soe Hok Gie pada tahun 1969 berjudul: “Wadjah Mahasiswa UI Jang Bopeng Sebelah”.

Jumat, 08 Agustus 2014

Mesin dan Siluman Berwajah Manusia



Sekurang-kurangnya ada lebih dari 1.460 orang tewas dan lebih dari 2.000 orang luka parah hingga Jumat (01/08) kemaren di Gaza. Semuanya adalah korban kebiadaban! Semuanya adalah akibat mesin-mesin yang tak punya hati dan pikiran. Tentara-tentara itu, tidak lebih dari mesin. Tak punya rasa, tak punya hati, tak punya akal. Membunuh. Membunuh. Membunuh. Apa akan selesai hanya dengan membunuh? Ya, militer berkuasa. Ke mana si Shimon Peres dan Mahmoud Abbas itu? Bukankah mereka berdua yang harus bertanggung jawab? Atau mereka juga dikendilikan mesin? Berdalih perluasan kawasan. Tetapi anak-anak tak berdosa juga mereka bunuh. Saya tidak pernah simpati dengan mereka. Yang hanya melaksanakan tugas. Tugas. Tugas. Tugas. Robot. Mesin!!!
Yang menjadi perbedaan manusia dengan binatang, adalah akal dan hati nurani. Tapi mengapa mereka membunuh dengan tanpa pilih kasih. Dengan tidak memikirkan mana yang harus dibunuh. Apakah mereka yang menentang, atau tidak. Apakah mereka yang menjadi lawan, atau tak tahu apa-apa. Tidak! Mereka sudah bukan manusia. Para militer itu. Para pemegang senjata itu. Tak lebih dari binatang atau sekadar robot buatan. Mereka telah dijajah oleh berahi kebinatangan. Mereka tersungkur di bawah kuasa senjata. Mereka bahkan tidak sadar kemanusiaannya. Mereka lah yang harus ditembak. Mereka lah yang taat pada aturan yang tak masuk akal.
Atau memang di dunia ini ada Negara yang penduduknya bukan manusia tetapi binatang yang berwajah manusia. Siluman. Ya, para militer itu adalah jelmaan dari siluman badak, siluman srigala, siluman banteng, siluman singa, dan siluman macan. Yang hanya bisa menerkam. Tanpa berpikir. Tanpa merasa. Atau memang Tuhan telah mencipkan manusia siluman semacam tadi, yang berwajah para militer dengan senjata sebagai tuhannya. Membunuh. Dan suka perang.
 

Rabu, 09 Juli 2014

Catatan Pilpres, 9 Juli 2014

Hari ini adalah hari di mana terjadi penentuan siapa pemimpin negara kita selanjutnya. Hari ini pula Indonesia akan memilih bapaknya, yang akan kita akui sebagai founding father di Negara kita selama lima tahun ke depan. Pun, hari ini kita berkuasa, punya kebebasan, dan objektivitas masing-masing dalam memilih. Sungguh hari ini merupakan harga mahal yang telah kita bayar selama lebih dari setengah abad Indonesia merdeka. Sehingga tak mungkin kita jual dan kita tukar dengan doktrin-doktrin yang murahan, ataupun dengan sekadar mooney politic an-sich.
Kita saat ini tengah berada pada masa di mana gesekan-gesekan atau bahkan benturan-benturan problematika ekonomi, politik, budaya, agama, sedang menanti untuk dicarikan solusi. Indonesia dalam lima tahun ke depan akan dihadapkan pada masalah hutang, free trade Asia, persoalan integritas, dan sejumlah masalah lainnya. Maka, siapapun nantinya yang terpilih, dari latar belakang hidup bagaimanapun, dan dari motivasi apapun, kita menanti dengan penuh harap akan kepemimpinan yang benar-benar bersih, mampu menyelesaikan segala masalah, dan membawa kita pada keadaan yang lebih baik, sejahtera dan bahagia bersama.

Kamis, 03 Juli 2014

Andai Kita Tidak Konsumtif


Di tengah kenyataan adanya tiga seperempat dari masyarakat dunia mendekati kelaparan, kita masih sulit menghindari pembelian yang berlebihan pada barang-barang yang tidak kita butuhkan. Makan di McDonals, belanja baju dan pernak-pernik dengan mengunjungi mall, konsumsi kosmetika, koleksi mobil mewah, ke salon dua kali dalam satu minggu, hingga berdandan ala artis dengan lipstik dan make-up berwarna-warni. Suatu keputusan yang menjadi kenyataan masyarakat modern, sekaligus kesukseskan kapitalisme dalam “bermain” di tengah arus masyarakat yang kacau.
Iklan berserta godaannya juga sah kita anggap telah menawarkan berbagai barang yang tidak benar-benar kita butuhkan. Kita secara sadar atau tidak, diundang untuk menjalani kehidupan yang tidak nyata. Iklan telah membentuk pola pikir kita dengan menyembunyikan kondisi kehidupan yang sebenarnya, kebutuhan yang sebenarnya, dan keinginan sosial paling dasar, yang kemudian digantikan dengan fantasi dan bermimpi tentang kaum berkuasa dan kaya. Obrolan-obrolan dari gerai ke gerai di mana kalangan pekerja perusahaan nongkrong, hingga mahasiswa-mahasiswi telah didominasi obrolan seputar produk-produk terbaru yang disiarkan melalui iklan.
Pun, kelemahan teori ekonomi adalah tidak pernah memperlakukan konsumsi—mengapa dan bagaimana orang mengonsumsi barang—sebagai bagian dari hasil produksi. Hal ini karena konsumsi dianggap sebagai proses reaktif, bereaksi secara kasar terhadap barang yang telah diproduksi. Bisa jadi, juga karena terkadang kita lupa bahwa di setiap komoditas ada “nilai guna” dan “nilai tukar”, yang menjelaskan adanya perbedaan antara barang yang berguna dan yang tidak, pada kehidupan kita. Nilai guna pada dasarnya bersifat fungsional, seperti nilai guna mantel terletak pada kemampuannya untuk menjadikan pemakainya tetap hangat, oleh karenanya, nilai guna mengekspresikan hubungan antara benda dan manusia. Sementara nilai tukar lebih bersifat komersial, di mana tenaga kerja (tangan kapitalis) menginvestasikan memampuannya pada suatu barang atau komoditas yang sama sekali tidak berhubungan dengan kebutuhan dasar manusia.
Belum lagi kita, yang konsumtif, akan segera dihadapkan pada Asean Free Trade Area (AFTA) 2015 mendatang, di mana produk-produk China, Jepang, Thailand, India, Singapore, dan Vietnam akan lebih semangat menyerang ke Indonesia. Sementara kebijakan Asean Economic Community (AEC) walaupun diprediksi akan membawa Indonesia menjadi regional champions karena memiliki PDB terbesar, namun Indonesia berpotensi hanya menjadi pasar dari produk barang Asia lainnya. Usaha-usaha kecil, penjual soto, bakso, dan produksi lokal lainnya akan terancam gulung-tikar dan tersungkur di bawah telapak kaki kapitalisme. Masihkah kita mau konsumtif?
Rasa-rasanya tidak cukup hanya dengan ceramah-ceramah dan seminar-seminar. Lebih dari itu, kita perlu bangun nalar produktif, sebuah nalar berkesadaran produktif-kreatif, dari individu ke individu lain hingga membentuk kesadaran kolektif. Sadar akan tantangan dan ancaman persaingan, dan sadar bahwa produk barang yang bertebaran tidak semua memiliki fungsi dan nilai guna bagi kehidupan kita yang sebenarnya.
Gerakan mahasiswa tidak harus terus stagnan di ranah kritis dan teoritis-oriented, tetapi lebih pada penyadaran masyarakat luas dalam memilih produk barang bernilai guna, dan tidak terjebak konsumerisme, tidak menjadi korban komoditas dan korban pasar yang menawarkan barang yang tidak benar-benar kita butuhkan. Andai kita tidak konsumtif, lalu kita ciptakan masyarakat rasional dan produktif.