Mengenai Saya

Rabu, 12 Oktober 2011

Isu Reshuffle dan Inkonsistensi Partai Koalisi


Jagat politik Nasional digemparkan oleh gagalnya pengajuan hak angket mafia pajak di DPR. Kegemparan ini dipicu oleh persoalan koalisi yang setengah hati. Pasalnya, pada voting persetujuan hak angket di DPR, telah menghasilkan selisih dua suara yakni, 266 anggota menolak dan 264 menerima. Hal ini mengindikasikan bahwa partai koalisi, yang tergabung dalam Setgab, tidak sejalan dengan fungsinya sebagai pendukung pemerintah. Akibatnya, “reshuffle” (pergantian) kabinet menjadi isu sentral dalam Pemerintahan Kabinet Bersatu jilid II.
Isu reshuffle ini memang mengagetkan. Betapa tidak, perjalanan politik pada pemerintahan SBY yang berusia 1,5 tahun disinyalir mengalami keretakan. Kondisi ini dipicu oleh sikap politik anggota sebagian partai koalisi yang secara gamblang membuktikan tidak sejalan dengan tujuan awal yakni, menciptakan stabilitas pemerintahan melalui penyatuan misi dalam Sekretariat Gabungan (Setgab) Koalisi.
Akan tetapi, isu reshuffle itu kian menyusut ketika Presiden Yudhoyono dalam pidatonya mengatakan, “Saya belum pernah mengatakan bahwa bulan depan akan ada reshuffle, minggu ini ada reshuffle. Belum pernah.” (Kompas edisi 14 Maret 2011, halaman 5).
Kendati demikian, isu reshuffle ini setidaknya telah mengabarkan kepada publik bahwa “prinsip kesatuan” yang dibangun dalam Setgab Koalisi belum solid, bahkan mengalami keretakan. Menurut Hanta Yuda Ar –Analis Politik dan Kebijakan Publik—bahwa keretakan ini dipicu oleh partai-partai koalisi yang menjalankan “politik dua kaki”. Politik dua kaki merepresentasikan adanya dua kepentingan dalam partai koalisi yakni, berkoalisi di pemerintah (eksekutif) sekaligus menjalankan peran oposisi di parlemen. Dalam hal ini, partai yang sering melakukan politik dua kaki adalah Golkar dan PKS. Tidak hanya itu, pada waktu terakhir, politik dua kaki telah menjadi “budaya” yang sulit dihilangkan.
Adanya politik dua kaki ini sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari sistem pemerintahan presidensial-multipartai. Ini sebenarnya merupakan konsekuensi akut. Sistem presidensial dipaksa mengakomodasi koalisi parpol seperti dalam sistem parlementer. Inilah yang disebut dengan politik transaksional, politik yang hanya didasarkan pada kepentingan sesaat dan melahirkan kerjasama politik semu. Akibatnya, penyatuan tujuan menjadi jauh panggang dari api karena diwarnai oleh silang kepentingan. Idealisme politik Setgab Koalisi kini telah mengalami pergeseran bahkan penyusutan. Inilah gambaran bahwa partai koalisi mengalami inkonsistensi (tidak konsisten).
Pertanyaannya kemudian, bagaimana bisa partai koalisi menjalankan politik dua kaki? Apakah karena minimnya komitmen sehingga mengabaikan tujuan awal dalam mendukung pemerintah?

Empat Alasan
            Setidaknya, ada empat alasan kenapa partai koalisi menjalankan politik dua kaki sehingga mengalami inkonsistensi: pertama, adanya silang kepentingan antara partai koalisi dan pemerintah. Ini menjadi alasan utama ketika partai koalisi dipertemukan dengan “perseberangan kepentingan” yang tidak sesuai dengan kepentingan partainya.
Kedua, belum maksimalnya sistem pemerintahan presidensial. Presiden Yudhoyono sebagai Pimpinan Setgab Koalisi cenderung kurang tegas dalam menyikapi partai koalisi yang menjalankan oposisi di parlemen. Sikap ini yang pada akhirnya akan memberikan “celah” berupa kesempatan untuk menghindar dari kesepakatan awal. Partai koalisi yang tidak sejalan dengan kesepakatan kabinet akan merasa memiliki “kewenangan” untuk menghindar.
Ketiga, kontrak koalisi yang tidak jelas. Kontrak koalisi yang seharusnya menjadi syarat awal dalam membangun hubungan politik, ternyata malah diabaikan. Sehingga, ketidakjelasan kontrak koalisi pada gilirannya akan memicu adanya inkonsistensi dari partai koalisi dalam konteks pemerintahan demokrasi.
Keempat, terlalu mementingkan kuantitas daripada kualitas. Hal ini terlihat dari gemuknya koalisi yang ada di Setgab. Dengan kata lain, koalisi pada jilid II kini hanya merangkul partai sebanyak-banyaknya, tetapi mengesampingkan pentingnya soliditas dan kohesivitas anggota partai dalam membangun hubungan politik.
Dengan adanya empat pemicu politik dua kaki di atas, setidaknya telah melahirkan hipotesis yakni, inkonsistensi partai dalam Setgab Koalisi. Inkonsistensi ini, jika dibiarkan pada gilirannya akan berpengaruh pada stabilitas peran pemerintahan. Wajar jika isu reshuffle menjadi santer diwacanakan, utamanya oleh Partai Demokrat (PD) sebagai partai yang merepresentasikan politik SBY.
Menyikapi persoalan itu, dibutuhkan komunikasi politik yang sejalan demi membangun soliditas dalam Setgab Koalisi. Karena walau bagaimanapun, komunikasi politik merupakan wahana bagaimana interaksi atau konstruksi ide dalam membentuk pemerintahan yang solid bisa tercapai. Sehingga, berbagai kecacatan, seperti silang kepentingan antar anggota Setgab Koalisi, bisa terselesaikan. Dan, perpecahan yang ditandai dengan adanya isu reshuffle, tidak perlu terjadi.

Ironi Kebebasan Islam-Liberal



Judul Buku       : KEMI: Cinta Kebebasan yang Tersesat
Penulis             : Adian Husaini
Penerbit           : Gema Insani, Jakarta
Cetakan           : Desember, 2010
Tebal               : 316 halaman
Peresensi         : Muhammad Mihrob*
Sejak Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Juli 2005 lalu mengeluarkan fatwa haram bagi umat Islam dalam menganut liberalisme karena bertentangan dengan spirit agama, bumi Indonesia seakan menjadi dua warna. Warna yang satu mencerca kalau MUI itu tolol dan bodoh bahkan harus dibubarkan karena dianggap melawan titah sang tuan. Sementara, warna yang lain membenarkan pernyataan bahwa liberalisme (paham kebebasan menurut keyakinan sendiri) akan meracuni pikiran dan hati umat muslim sehingga lepas dari ajaran Tauhid para Nabi.
Kebebasan yang berlandaskan kesadaran atas ketertindasan dan keterpasungan menjadi “solusi absurd” dalam menempuh kemerdekaan dari segala hegemoni yang melandanya. Seperti belakangan mencuat wacana emansipasi wanita dengan jargon feminisme-nya. Kebebasan dalam menentukan kepercayaan dan keyakinan beragama bagi seluruh umat melahirkan istilah “pluralisme agama”. Akan tetapi, kadangkala keinginan seseorang untuk bebas tak jarang menerobos batas norma agama, sosial dan tradisi. Mungkin, orang yang merasa risih dan tidak betah terhadap tradisi yang dikonstruk oleh budaya agama akan menjadi alasan untuk bebas secara lahiriah dari hukum dan ketetapannya sebagai seorang muslim, sehingga mencuat gagasan untuk membentuk “agama baru” yang berlandaskan logika kemanusisaan (akal), yakni Islam Liberal.
Setidaknya, itulah yang menjadi gambaran awal ketika menuntaskan novel KEMI: Cinta Kebebasan yang Tersesat. Dalam novel setebal 316 ini diceritakan seorang Ahmad Sukaimi (Kemi; sapaannya) adalah santri yang “meninggalkan” pesantren tanpa mendapat restu dari kyainya untuk melanjutkan kuliah di salah satu universitas di Jakarta. Gilirannya, ia “terjerat” kelompok Islam Liberal yang menjanjikan kebebasan dan kesenangan dengan aktivitas doktrinasinya; mengajak semua orang berpaham kebebasan tanpa memerhatikan aspek spiritual sekalipun. Kehidupan yang dilalui Kemi begitu menantang. Mengadakan acara yang bertajuk liberalisasi melalui LSM-LSM dan forum-forum diskusi yang menentang terhadap metode dan pemikiran Islam klasik lagi tradisional, menuju pemahaman Islam kontemporer yang lebih mementingkan ramah sosial daripada beribadah kepada Tuhan. Praktik syariah berupa ritual keagamaan tidak lagi dijadikan dasar dalam kehidupan Kemi.
Tidak jauh beda dengan Siti, mahasiswi keturunan “darah biru”, yang secara tidak langsung menentang ayahnya dengan menyokong gerakan penolakan terhadap RUU Antipornografi dan Pornoaksi oleh MUI (hlm. 199). Siti menjadi bagian dari kelompok Kemi yang gempar menyuarakan liberalisasi Islam, kesetaraan gender, dan pluralisme agama, hingga tak lagi membedakan dirinya apakah laki-laki atau perempuan. Bagi Siti, laki-laki dan perempuan sama saja ihwal hak dan kewajibannya sebagai manusia. Namun, pada akhirnya, fitrah kewanitaan yang ada pada diri Siti memberontak. Karena walau bagaimanapun Siti adalah makhluk yang membutuhkan laki-laki, membutuhkan pasangan hidup, dan membutuhkan kasih sayang, termasuk juga dari keluarganya (hlm. 200).
Oleh karenanya, Siti membongkar seluruh “kebejatan” yang ada pada kelompok Islam Liberal dengan membeberkan misi dan taktik-taktiknya kepada Rahmat. Seorang Rahmat, yang diutus oleh kyai Rois (pengasuh pesantren Minhajul Abidin tempat Kemi nyantri dulu) untuk menyelamatkan Kemi, sekaligus menentang pemikiran dan gerakan-gerakan Islam Liberal, mulai paham bahwa kelompok itu tak lebih merupakan penyakit yang pada akhirnya akan menghancurkan keutuhan Islam, utamanya generasi pesantren. Sepak terjang Rahmat (sebagai seorang santri) dalam melawan logika pemikiran liberalisme begitu tampak ketika ia mampu membuat “mati kutu” Prof. Malikan, salah seorang dosennya.
Sebagai lulusan International Institute of Islamic Thought and Civilization-International Islamic University Malaysia (ISTAC-IIUM), Adian Husaini, penulis novel ini, sangat lihai mengolah logika dalam wacana pemikiran Islam klasik-kontemporer. Seperti karakter pada tokoh Rahmat. Menyelami novel ini tidak jauh berbeda dengan membaca buku ilmiah. Hanya saja, logika yang dibangun seakan menjadi terkesan “provokatif” (utamanya mengenai gender) ketika dihadapkan pada khazanah pemikiran kontemporer yang merekonstruksi teori emansipasi wanita seperti yang terdapat dalam banyak buku.
Perbedaan yang cukup mencolok ketika novel ini menjadi antitesa terhadap novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah el-Khalieqy. Novel KEMI: Cinta Kebebasan yang Tersesat jelas-jelas mengangkat kembali derajat pesantren sebagai ‘lembaga pendidikan Islam yang ideal dan tokoh-tokoh pesantren yang berwawasan luas, sekaligus gigih dalam membendung gelombang liberalisme’—seperti ditulis oleh Taufiq Ismail ketika memberikan tanggapan terhadap novel ini—di satu sisi. Akan tetapi, di sisi lain, dari unsur intrinsiknya, karakter tokoh perempuan yang terdapat dalam novel ini seakan telah dibentuk secara subjektif, sehingga mau tidak mau, pembaca diajak untuk menyetujui gagasan-gagasan yang ditawarkan Adian tanpa harus memerhatikan aspek lain. Seperti yang terdapat pada sub-bab berjudul Dialog Bejo dan Doktor Ita.
Kendati begitu, novel ini tetap meneguhkan daya tariknya bukan hanya karena alur ceritanya yang “fantastik” sehingga dapat membawa pembaca ke alam ilmiah dan berimajinasi mengenai kondisi yang benar-benar menjadi tantangan umat Islam—dengan setting kota metropolitan, Jakarta. Tetapi, pembaca juga akan memperoleh wawasan tentang otentisitas khazanah keilmuan ulama Islam klasik yang terdapat dalam karya-karyanya, dengan “permainan” logika yang rasional, utamanya dalam hal ilmu Fiqh dan Tafsir.
Novel ini penting bukan hanya bagi mereka yang masih berkeyakinan bahwa kebebasan (yang sebebas-bebasnya) adalah jalan satu-satunya meraih kebahagiaan dalam kehidupan sosial, ekonomi, khususnya keyakinan agama. Melainkan juga menjadi bacaan wajib bagi kaum sarungan (baca: santri) yang mencintai keutuhan Islam dan memiliki spirit dalam mengkaji pemikiran Islam klasik-kontemporer serta menuntut ilmu Tuhan. Wallahu A’lam.

*) Pemain di Klub NU Mimpi Lubangsa. Resensi ini dimuat dalam Majalah Muara edisi Tahun 2010 

Potret (Buram) Pendidikan Kita


Kompleksitas persoalan pendidikan, hingga hari ini nyaris mencapai titik klimaks memiriskan. Ini terlihat ketika berbagai problem dialami oleh lembaga pendidikan dewasa ini, mulai dari rendahnya kualitas sumber daya dan profesionalisme tenaga pendidik dalam proses kegiatan belajar mengajar (KBM), sampai pada manajemen kurikulum yang telah berjalan (actual curriculum), tak kunjung mencapai target kurikulum yang dicita-citakan (ideal curriculum). Bukan hanya itu, problem eksternal juga terlihat ketika output pendidikan seringkali melakukan tindak penyimpangan sosial (amoral), kriminal, dan lain sejenisnya.
Persoalan semakin runyam, ketika menyentuh ke ranah kebijakan mengenai UN, misalnya. Meski sudah banyak kalangan yang melakukan otokritik terhadap pemerintah tentang diadakannya UN. Namun kenapa kemudian, sampai detik ini, UN tetap berjalan, mengalir tanpa ada perubahan yang pasti. Setidaknya dari inilah akan lahir sebuah persepsi bahwa pendidikan kita—yang dikendalikan oleh pemerintah—mengalami pergeseran paradigma (shifting paradigm) ke pragmatis. Sehingga wajar jika kemudian Francisco Wafforrt mengarakan bahwa pendidikan acapkali menjadi lahan segala hasrat manusiawi, seperti politik, ambiguitas, tersedot di dalamnya. Dengan kata lain, pendidikan (dalam hal ini sekolah) menjadi lahan empuk dalam memuaskan hasrat manusiawi para stakeholder (pembuat kebijakan) dalam dunia pendidikan. Malangnya, mentalitas pragmatis yang melekat pada diri pembuat kebijakan pendidikan, seakan telah menjadi “hiasan” yang tak pernah usang.
Sekolah sebagai lokal sentral proses transfer ilmu pengetahuan, ternyata mengalami kesulitan ketika harus “bersentuhan” dengan UN. Tak ayal jika kemudian banyak siswa yang menghalalkan segala cara demi memperoleh ‘sertifikat’ kelulusan. Bahkan ironisnya, berbagai praktik kecurangan dilakukan oleh pengelola instansi sekolah. Sehingga dampak dari hal tersebut pada akhirnya akan menjadikan anak didik sebagai lulusan yang kurang (untuk tidak mengatakan “tidak bisa”) kompeten setelah mereka lulus sekolah.
Berbagai persoalan pelik di atas, setidaknya akan membawa dampak akut yang kian mencuat ke permukaan yang pada titik klimaksnya akan semakin memperkokoh persepsi buramnya dunia pendidikan kita. Tantangan yang muncul sebagai bentuk pengejawantahan dari upaya mencapai pendidikan idealis-formalistik semata, semakin membuat kita sadar bahwa sejatinya tujuan pendidikan, sebagai wahana mencerdaskan kehidulpan bangsa dan jembatan transformasi sosial, semakin menjauh dan tercerabut dari akarnya, sehingga idealisme pendidikan sulit bahkan sukar dicapai.

Akreditasi A dan Sebuah Pijakan
Namun, di balik itu, ada hal menarik yang dapat kita saksikan, yakni adanya lembaga pendidikan yang terakreditasi A, lembaga pendidikan (sekolah) yang dapat dikatakan populer di masyarakat luas. Umumnya, sekolah semacam ini “digandrungi” banyak kalangan. Beragam pujian pun bercurcuran pada sekolah yang terakreditasi A ini. Namun, permasalahannya, dapatkah dekolah semacam ini mengemban amanah yang telah diberikan? Atukah jangan-jangan sekolah hanya ingin “popularitas doank” dengan menyandang gelar demikian? Inilah relevansi pertanyaan: A, kebanggaan atau tantangan?
Di sinilah pentingnya seluruh elemen penting pengelola pendidikan harus dapat duduk bersama, berkontemplasi, merumuskan pelbagai langkah yang harus dilakukan. Pertama, gelar yang cukup luar biasa itu, sewajarnya menjadi sebuah tungku pembakar semangat para pendidik untuk terus meningkatkan profesionalismenya demi membangun kader-kader bangsa (baca: anak didik) yang berkualitas. Sumber daya rendah yang dimiliki pendidik belakangan ini, setidaknya menjadi hambatan yang harus segera dibenahi. Bukan hanya pada ranah konsep an-sich, tetapi gerakan praksis penting diumikan. Semisal, dalam kelas, pendidik hanya mampu memberikan materi tanpa diseimbangi dengan keluesan dalam membangun minat belajar anak didik, hanya akan membuat mereka (baca: siswa) merasa tertekan.
Konteks inilah pentingnya pendidik (meng)-aktualisasi subtansi akreditasi A sebagai pemacu ghirah dan minat anak didik untuk terus belajar, yakni dengan langkah menciptakan suasana kondusif dengan metode apapun, bagaimana kemudian anak didik terlibat aktif dalam proses KBM. Dan tanpa pandang bulu, dalam arti, pendidik tidak membeda-bedakan siswa pintar dan siswa bodoh, kaya dan miskin, dan sejenisnya. Seperti gagasan John Comenius (Jan Komensky, 1592-1670), melalui karyanya Dedactica Magna (“Seni Pengajaran yang Agung”), menggagas “pendidikan untuk semua”, yakni pendidikan yang dapat dinikmati semua kalangan dan dari level apapun. Karena gelar akreditasi A ini merupakan cermin bagi lembaga pendidikan yang terbuka bagi semua kalangan. Artinya, menghilangkan paradigma dari sekolah yang terkesan elite, sekolah yang hanya menerima siswa berkemampuan finansial mumpuni (baca: kaya), menjadi keharusan dilakukan. Karena pendidikan mempunyai kandungan universal, bukan terikat pada ranah pragmatisme belaka, seperti tergambar di awal.
Kedua, reorientasi kurikulum, menjadi kurikulum berbasis minat dan kebutuhan siswa. Ini menjadi penting diterapkan, mengingat minat dan potensi siswa tidak selalu sama. Hal ini dapat dilakukan dengan memfokuskan pada mata pelajaran tertentu. Karena tingginya target kognitif yang harus dicapai dalam semua mata pelajaran, pada gilirannya akan menyulitkan siswa dalam mimilih dan menentukan materi pelajaran apa yang harus mereka perdalam, sehingga potensi akan didik pun menjdi burum.
Dengan kedua langkah demikian, diharapkan akreditasi A menjadi sebuah simbol untuk “berproses” bagi sekolah yang menyandangnya. Dan bukan sebagai kebanggaan yang harus dirayakan. Melainkan, mengembangkan dan terus memperbaiki kulitas di berbagai aspek—kurikulum dan tenaga pendidik—menajdi sebuah lembaga pendidikan menuju kesempurnaan, adalah harga mati yang tak bisa ditawar.
Akhirnya, sebagai sebuah pijakan, penulis melancarkan pandangan AS Laksana yang mengilustrasikan lembaga pendidikan sebagai sebuah pabrik: di pabrik yang baik, anak kita (siswa, pen.) mungkin bisa diolah menjadi biskuit yang lezat atau kripik yang gurih dan renyah atau menjadi tahu nomer satu. Sebaliknya, di pabrik yang bekerja asal-asalan, mereka bisa menjadi biskuit beracun atau tahu masam yang akan membuat perut kita mules-mules (AS Laksana, Tentang Bangsa yang Gagal Belajar, Jawa Pos 21/02/2010 hal. 12).
Artinya, lembaga pendidikan yang baik adalah lembaga pendidikan yang harus serius berupaya menumbuhkembangkan potensi yang dimiliki anak didik. Serius tanpa adanya unsur egosentrisme individualistik seorang pendidik dan pengelola pendidikan. Karena terkadang, mereka (pengelola pendidikan, temasuk pendidik) hanya mengharapkan imbalan dan –meminjam istilah Fathorrahman Hasbul- telah terjebak pada sindrom materialisme. Oleh karena itu, menjadi sebuah kewajiban bagi seorang pendidik untuk selalu berusaha menjadi pribadi ideal, sebagai pribadi yang pantas digugu (dipercaya) dan ditiru (diteladani). Supaya, dengan demikian dan dengan sekolah yang sudah terakreditasi A, pendidikan berjalan kondusif, bijak, dan komprehensif.

* tulisan ini dipublikasikan oleh Majalah SENSASI edisi pertama pada april 2010

UN Diharapkan Lebih Baik*


Perbincangan seputar pendidikan kian marak diperbincangkan dan menjadi tema perdebatan di berbagai kalangan, pemerhati dan praktisi pendidikan. Terkait dengan perubahan jadwal Ujian Nasional.
Berdasarkan peraturan Meneri Pendidikan Nasional Nomor 75 Tahun 2009 Tentang Ujian Nasional (UN), SMP/MTS, SMK sederajat, jadwal UN yang biasanya dilaksankan pada bulan April dimajukan menjadi Maret. UN untuk tingkat SMA sederajat dilaksanakan minggu ketiga Maret 2010, sedangkan untuk SMP sederajat pada minggu keempat Maret 2010 (Kompas, 12/11/2010).
Hal ini menimbulkan tanda tanya, apakah perubahan tersebut dapat merubah ke arah perbaikan? Atau hanya sebagai rutinitas dan formalitas semata?
Sebelumnya, banyak kalangan mempermasalahkan keberadaan UN karena tidak dapat (tidak sesuai) dijadikan barometer kelulusan siswa kelas akhir (SKA) karena kemampuan dan bakat siswa bukan hanya mengacu pada materi yang diajukan. Sehingga, pada tahun lalu, fenomena banyaknya SKA yang tidak lulus semakin menggurita dan menajdi problem akut yang telah lama mencuat ke permukaan. Di samping itu, tanpa menyertakan nilai afektif dan psikomotorik, seperti mustahil dijadikan ukuran kelulusan. Padahal, indikator pendidikan sejatinya adalah untuk membentuk manusia yang memiliki kecerdasan di semua bidang, baik kognitif, afektif, maupun psikomotorik.
Dengan tiga penilaian demikian, maka pendidikan dapat menemukan irama permainan terbaiknya, yakni mencetak kader-kader berkemampuan matang dan memiliki kompetensi di semua aspek, dapat diharapkan menjadi manuisia yng dapat memeberikan kontribusi urgen bagi kemajuan bangsa.

Perubahan ke Arah Perbaikan
Dalam peraturan Menteri Pendidikan Nasional bahwa pada tahun pelajaran ini UN akan dilaksanakan dalam dua tahap, sebagai konsekuensi dari dimajukannya jadwal UN. UN tahap kedua ini adalah sebagai sebentuk kesempatan kedua untuk SKA yang tidak lulus dalam UN tahap pertama.
Hal ini menghadirkan angin segar bagi kalangan SKA tahun ini. Sebab, dengan keputusan tersebut siswa diharapkan dapat menyambut UN sebagai ujian sekolah yang menguji kemampuan di bidang tertentu. Bukan malah menganggap UN sebagai “monster” yang menakutkan.
Akan tetapi, perubahan tersebut belum tentu dapat memperbaiki kualitas pendidikan. Sebab, meskipun berubah demikian, namun materi yang diujikan dan penilaian yang diajukan hanya berkutat pada ranah kognitif semata, kelulusan SKA tetap tidak dapat menjadi barometer keberhasilan pendidikan dalam mencetak kader bangsa yang berkualitas. Sebab, tanpa didasari dengan penilaian tingkah laku dan/atau moral (penilaian afektif) dan keterampilan dan/atau kreasi (nilai psikomotorik), kualitas kelulusan pendidikan SKA masih jauh panggang dari api. Dan mimpi pendidikan sebagai wahana pencerdasan dan transformasi sosial tidak akan menemui titik terang.
Kemudian, pada babakan selanjutnya, gerakan apa yang harus dilakukan pemerintah (Mendiknas) dalam memperbaiki kualitas kelulusan pendidikan melalui UN sebagai ukuran kelulusan SKA? Dalam hal ini, setdaknya pemerintah (Mendiknas) dapat mengambil inisiatif. Pertama, mengikutsertakan lembaga sekolah/madrasah berdasar pada penilaian afektif dan psikomotorik. Mengingat di era Dunia Ketiga ini, bangsa ini sedang ditimpa krisis moral yang cukup mencengangkan. Oleh sebab itu, mencernakan dua nilai di atas menjadi harga mati yang tak bisa ditawar. Sehingga, pendidikan sebagai wahana pencerdasan moral-spiritual tidak hanya menjadi “slogan” yang terpampang di mana-mana.
Kedua, meningkatkan pengawasan dari berbagai pihak keamanan yang bertugas mengawasi jalan UN. Sebab, kesalahan tahun lalu, dengan mencuatnya problem tindak kecurangan yang dilakukan, bahkan ironisnya, hal itu dilakukan oleh seorang guru, maupun pengelola lembaga pendidikan, tidak dapat terulang kembali di UN tahun ini. Dalam konteks ini, kejujuran dari berbagai pihak menjadi hal urgen dilakukan. Sehingga, pendidikan dapat membedakan antara siswa yang memang memiliki skill dalam megerjakan materi yang di-UN-kan.
Ketiga, mengobservasi kemampuan siswa di setiap lembaga pendidikan dalam tujuan mengetahui bakak dan minat siswa dan dapat diujikan melalui UN. Karena bakat dan minat setiap siswa tidak hanya terpaku pada materi tertentu misal, Matematika, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, dan lain sejenisnya.
Tiga langkah di atas penting dipertimbangkan mengingat pendidikan sebagai jembatan transformasi sosial, pencerdasan, dan peningkatan kualitas hidup sosial dapat terlaksana dan tidak hanya berkutat pada penilaian akademik semata, melainkan melalui penilaian moral, spiritual, emosional, kreativitas (life skill) dan semacamnya.
Dengan demikian, kualitas kelulusan pendidikan tahun ini melalui UN sebagai barometer kelulusan siswa, menjadi kenyataan tak terbantahkan dan pendidikan dapat menemukan (kembali) ruhnya sebagai wahana pencerdasan sosial dan jembatan transformasi sosial dalam mengembangkan dan memberikan kontribusi bagi kemajian dan peningkatan SDM bangsa kita. Tak terkecuali dalam konteks Jawa Timur. Wallahu A’lam.

·         tulisan ini dimuat di Harian Radar Madura edisi Rabu, 2 Desember 2009