Mengenai Saya

Minggu, 15 Oktober 2017

Di Balik "Aku Ingin Pindah ke Meikarta"

Terlalu sering nonton iklan Meikarta di televisi, kok saya jadi tertarik menyimak beritanya. Ternyata memang tidak jauh berbeda dengan proyek-proyek pembangunan selama ini di Indonesia. Mega proyek pembangunan kota baru yang diprediksi akan menyaingi Jakarta dan menghabiskan sekitar 278 triliun itu, ternyata masih belum mengantongi izin.
‎Supaya nggak terkesan kontra-pembangunan, dalam hal ini tidak keluarnya izin oleh pemerintah menurut saya bisa datang dari 2 hal. Pertama karena prosedur perizinan yang memerlukan proses. Kedua masih terdapat persyaratan yang belum terpenuhi sehingga izin tidak keluar. 
Lha kok iklan Meikarta sudah di mana-mana? Dan telah banyak nasabah yang inden hunian di area yang rencananya seluas 2.200 ha itu. Bagaimana dengan Amdal-nya? Belum lagi masalah air bersih, masalah banjir, dan menurut saya yang terpenting bagaimana dampak sosialnya.
Narasi pembangunanisme di Indonesia telah banyak memberikan pelajaran. Konflik vertikal-horizontal pada tahun 1973 di Tapos, juga di Cimacan pada 1987, serta konflik kapitalisme agraria yang saya teliti 2016 lalu di Desa Andulang. Saya rasa semuanya sudah cukup menjadi kenyataan sejarah yang tidak boleh terulang. 
Pembangunan memang merupakan keniscayaan, begitu menurut skema pembangunanisme global. Secara agresif, efektif dan efisien, pemerintah Indonesia memang dituntut untuk terus mengejar, berlari, mengejar.‎ Dan dalam mega proyek Meikarta, saya berusaha untuk husnudzon bahwa pemerintah dan pihak pengembang Lippo Group sudah kenyang dengan 'belajar dari sejarah'.‎ 
Pembangunan infrastruktur memang penting, dengan syarat tetap memperhatikan dampak lingkungan dan sosial-psikologis masyarakat sekitar.
Masih terngiang iklan itu, seorang anak usia SD berbinar harapan di matanya akan masa depan pembangunan ke arah yang lebih baik, progresif, humanis, menyejahterakan seluruh rakyat. Sambil berkata, "Aku ingin pindah ke Meikarta".

Baca juga: 
https://m.katadata.co.id/telaah/2017/10/07/sengkarut-izin-dan-pemasaran-megaproyek-meikarta





Jumat, 29 September 2017

Catatan Kecil Sejarah


Dalam hal silang sengkarut pembacaan sejarah komunisme, PKI dan G30S '65, saya lebih simpatik bicara lagu 'Genjer-genjer'. Lagu yang pernah dilarang diperdengarkan dan dinyanyikan pada masa Orde Baru (1966-1998) karena dianggap hymn for PKI.
Genjer-genjer adalah karya seni dari Bahasa Osing khas Banyuwangi, ditulis M. Arief pada 1942 dan baru populer setelah dinyanyikan ulang oleh Bing Slamet dan Lilis Suryani pada 1962. Arief menulis lagu ini sebagai bentuk protes atas penjajahan Jepang yang telah membuat rakyat pribumi kelaparan. 
Liriknya sederhana, merakyat, sama sekali tidak ada kaitan dengan politik ataupun PKI. Aransemennya bahkan terdengar melankolis, pedih, menderita, gambaran rakyat di masa kolonialisme sebelum Indonesia merdeka. Amat jauh dari kesan kejam, brutal apalagi anti-kemanusiaan.
Terlepas dari kenyataan sejarah tentang penghianatan, pemerasan, pembunuhan, pemelintiran fakta, atau pembacaan-pembacaan semacamnya, baik simpatisan maupun bukan, sejarah tetaplah penting. Bukan untuk menjudge, bukan! Agar tidak dhalim. Itu saja.
Seni tetaplah seni. Dan sejarah akan tetap hidup sebagai sebuah pelajaran, sepahit apapun. "Happy is the poeple without history," Dawson say. But, that's impossible! That's nothing! Karena kita, dunia kita, semuanya adalah bagian dari sejarah.
Catatan Kecil 30 September‎

Selasa, 19 September 2017

Tujuhbelasan



Seperti reruntuhan bangunan menimpa tubuh ringkih. Segala cerita, kenangan dan darah juang berputar-putar bagai partikel di sekitar, atau kadang sekadar membikin radang. Tak punya daya untuk lanjutkan, berhenti pun rasanya enggan. Harapan, pesimistis, melankolis, campuraduk, membuka lembaran lama di mana semua kenyataan sekarang belum di benak.
"You go, giving up your home. Go, leaving all you've known," kata Chester dalam Not Alone-nya: menggertak untuk segera memutuskan; bertahan, atau mati dalam kubangan masa lampau!; Mengulang sebuah masa di mana kepala menjadi kaki, atau menginjak-injak mimpi dan menguburnya seperti sampah! 
Semua hanya tentang belenggu keterbatasan. Dan perasaan tak enak hati yang berlebihan. Sebab tak tahu sampai kapan selalu merepotkan. Ah, ini hanya segelintir cerita orang-orang terjajah. Kolonialisme batin, dan ketakberdayaan!
Sementara itu, di sudut-sudut kota dan di gang-gang pemukiman warga terdengar teriakan: 72 Tahun Indonesia Merdeka!, Jayalah Indonesiaku!, Dan semacamnya, tetapi televisi tetap berteriak tentang kebohongan. Sama sekali tak esensial!

#seharimenjelangtujuhbelasan

Dilema Tanpa Henti



Dilema pilihan rasional; antara yang ide dan yang nyata; antara keberpihakan pikiran dan realitas yang membingungkan. Seolah-olah raga tergantung di atas jurang. Jika tak memilih, akan jatuh ke dasar yang kelam. Jika memilih, tunggulah musuh-musuh baru akan datang.
Saya sangat sadar bahwa hidup bukan semata-mata soal perut dan makan. Hidup bukan juga hanya soal harapan dan keinginan. Jika ada orang bilang bahwa hidup itu simple, tentu dia juga salah satu bagian dari dua pilihan. Begitupun sebaliknya.
Pelahan-lahan terpikir dan terasa keinginan akan hadirnya sebuah 'makna'. Kita amat merindukan hadirnya suatu keberartian yang berwujud, tentang manfaat dan guna. Bahwa, di antara ke dua-dua pilihan tersebut masih ada sebuah makna pada masing-masingnya. 
Hingga tak ada yang mencerca, hingga tak ada yang terpecah. Kecuali Tuhan sedang ingin bercanda...