Mengenai Saya

Kamis, 09 Februari 2012

AFIRMASI NILAI ETIKA DAN ESTETIKA KEBUDAYAAN MADURA (Upaya Progresif dalam Menyelamatkan Kebudayaan Madura dari Gempuran Globalisasi)


BAB I PENDAHULUAN
GEMPURAN ERA GLOBALISASI

Globalisasi[1] mengibaratkan ‘naga’ yang menakutkan dan sewaktu-waktu akan menyemburkan api panas pada semua aspek kehidupan. Dengan ideologi yang dibawanya: neoliberalisme, imperialisme, dan globalisme baik dalam pemikiran (ideologi) maupun dalam tataran praksis (etika dan norma kehidupan)[2]. Di satu sisi, globalisasi mendengungkan kemajuan di bidang perekonomian, tetapi, harus diakui bahwa kehadiran globalisasi juga akan menjadi ‘illat’ tersendiri bagi keberlangsungan negara Indonesia secara umum. Utamanya, pada aspek budaya yang merupakan hakikat eksistensi estetika, etika dan spritualitas suatu suku bangsa bernama Indonesia.
Di Indonesia, kehadiran globalisasi ditandai denga adanya suatu pembentukan karakter yang bersifat formal, administratif, dan sangat terstruktur dalam hal apapun, baik dalam ranah hukum-kenegaraan, maupun dalam skala mikro berupa kebudayaan masyarakat kelas bawah (grass roots cultur society). Mungkin pada titik ini bisa dimaklumi, sebab pembentukan karakter itu sewaktu-waktu memang diperlukan untuk menegaskan bagaimana suatu eksistensi itu berlangsung dalam kehidupannya. Akan tetapi, ketakutan masyarakat, yakni tusukan era globalisasi yang dilakukannya pada aspek kebudayaan yang merupakan hasil cipta-karya para pendiri bangsa ini. Utamanya kebudayaan yang ada di suatu daerah yang dinilai unik. Seperti di Madura.
Di Madura, berbagai kebudayaan adalah hasil cipta-karya yang diwariskan oleh masyarakat terdahulu atau bisa kita sebut dengan nenek moyang. Kebudayaan itu mengandung nilai yang harus diakui kualitasnya. Estetika, etika, dan karakter kebudayaan yang has Madura adalah nilai ashlah yang sejatinya perlu kita pikirkan bersama. Berbagai simbol kebudayaan yang mengandung nilai, seperti kerapan sapi, keris, batik dan lainnya, maupun berupa nilai moral kesopanan dan kerjasama antarmasyarakat, adalah warisan dari masyarakat pendahulu yang tidak boleh kita abaikan. Setidaknya, dengan mengapresiasi kebudayaan tersebut pada akhirnya akan menegasakan karakter dan kepribadian masyarakat Madura secara umum.
Akan tetapi, kini keresahan dari kalangan masyarakat Madura seakan menemukan titik klimaksnya, ketika globalisasi menjadi ‘racung terselubung’ dengan segala paham yang diproduksi oleh Barat, telah mempu menusuk eksistensi kebudayaan lokal di Madura. Hilangnya sekat-sekat etika-moral antara budaya “barbar” dan kebudayaan lokal,[3] menjadi kegelisahan tersendiri bagi para pemuka (seperti kyai, budayawan dan akademisi) di wilayah Madura. Dan pada saat yang sama, generasi muda Madura kurang apresiatif pada kebudayaan mereka sendiri, bahkan cenderung menganaktirikannya. Sehingga, penulis anggap penting jika penegasan dan pembumian kembali nilai-nilai (etika dan estetika) kebudayaan dilakukan secara masif dan optimal.
Sebab, mulai beberapa dasawarsa terakhir, masyarakat Madura dipersepsikan sebagai masyarakat dengan kebudayaan yang “jelek” karena berwatak keras, kasar, dan seakan tak kenal ramah. Padahal, persepsi itu tidak bisa dibenarkan secara sembrono saja. Hanya melihat “yang diluar” tanpa memahami apa “yang didalam” adalah pekerjaan yang tergesa-gesa, keliru bahkan mutlak disalahkan.
Jika dirunut kenyataannya, persepsi itu kian runtuh ketika dipahamkan pada nilai filosofi kebudayaan Madura. Nilai etika dan estetika yang dilahrikannya ternyata telah mampu membenamkan pesimisme dengan cara terus-menerus mencitrakannnya pada kolektivitas keseharian masyarakat.[4]
Upaya demikian penting dilakukan dengan menamkan dan menegaskan kembali nilai etika dan estetika kebudayaan secara esensial dan subtansial, niscaya akan selalu meneguhkan kebudayaan Madura dari gangguan ‘luar’ berupa globalisasi dengan segala tetek-bengeknya. Sebab, kebudayaan akan menemukan relasi dan spritnya kembali bagi generasi berikutnya jika nilai etika dan estetikanya tetap terjaga dan bahkan bisa selalu dikontekstualisasikan pada berabgai perkembangan zaman.
Pada titik inilah pentingnya kita mengafirmasi kembali nilai kebudayaan Madura. Sebab, di antara empat komponen yang ada dalam suatu kebudayaan—yakni  estetika, etika intelektual dan spiritual--,[5] aspek etika dan estetika adalah komponen penting yang harus selalu dikembangkan demi menegaskan identitas kebudayaan masyarakat (Madura) ke depan. Tulisan ini mecoba menegaskan kembali nilai etika dan estetika kebudayaan Madura yang saat ini tengah diterjang kebudayaan yang lahir dari era modernisme dan westernisme sebagai anak dari globalisasi. Dengan upaya inilah kemudian kebudayaan Madura diharapkan dapat terselamatkan dari gempuran globalisasi.


BAB II PEMBAHASAN
AFIRMASI NILAI ETIKA DAN ESTETIKA KEBUDAYAAN MADURA

A. MAKNA ETIKA DAN ESTETIKA KEBUDAYAAN
Di desa penulis (Angsanah Bragung, Sumenep), orang yang nampah cangkem[6] dihukumi haram atau tidak diperbolehkan oleh masyarakat, terutama oleh kalangan tetua semisal nenek dan sederajat. Alasannya sederhana, karena orang yang nampah cangkem akan menemui kesusahan dalam kehidupan selanjutnya. Benarkah demikian? Untuk orang yang tidak berpikir mungkin akan mengatakan: “Mon nampah cangkem, arapah keng?!”[7]
Sejenak, mungkin kita harus mempertanyakan ungkapan yang sedikit bernada selidik itu. Karena, menurut hemat penulis, semua tradisi (berupa tidak diperbolehkannya nampah cangkem) yang terbangun di salahsatu lingkungan masyarakat (khususnya di Madura) pasti memiliki nilai yang harus kita renungkan. Ketidakbolehan nampah cangkem, sebenarnya merupakan kekayaan (berupa keyakinan) lokal yang harus dipikirkan dan dilestarikan. Sebab, jika kasus ini dirujuk kembali maknanya bahwa nampah cangkem adalah tanda orang yang sedang mengekspresikan tidak adanya ghirah bahkan minat untuk hidup, sehingga benar jika orang yang nampah cangkem pada akhirnya akan menemui kesusahan dalam kehidupnya.
Tetapi, sebenarnya bukan nampah cangkem ini yang dijadikan objek perhatian, melainkan tidak diperbolehkan itulah yang harus kita pikirkan. Bahwa masyarakat Madura sangat hari-hati dalam segala hal, utamanya dalam pola prilaku (atau dalam bahasa Maduranya: “Tengka”).
Sama halnya denga tradisi nenek moyang tempoe doeloe, yang kemudian dijadikan sebuah kebudayaan. Kebudayaan yang diilhami oleh rasa keyakinan terhadap sesuatu yang bernilai etika, estetika, spiritual dan dapat dijadikan sebagai pengetahuan bagi masyarakat Madura. Yang bernilai ini tidak lepas dari faktor historis sehingga dapat ditegaskan menajdi sebuah kebudayaan yang harus dilestarikan dan dipertahankan.
Contoh tidak diperbolehkannya nampah cangkem di atas hanya bagian kecil dari kekayaan masyarakat lokal yang lahir dari nenek moyang yang bernilai. Masih banyak tradisi yang dijadikan kebudayaan oleh masyarakat Madura. Kekayaan lokal yang harus selalu diselamatkan, diperhatikan dan dipikirkan untuk dikontekstualisasikan pada berbagai dinamika zaman.

B.  AFIRMASI NILAI ETIKA DAN ESTETIKA KEBUDAYAAN
Meminjam bahasanya Budiono, MA (2005),[8] afirmasi adalah peneguhan; penetapan yang positif; pernyataan atau pengakuan yang sungguh-sungguh terhadap sesuatu yang dianggap berharga dan penting diperhatikan (cetak miring dari penulis). Afirmasi mempunyai misi menguatkan dari dalam (power of intern) sehingga menegaskan potensi (etika dan estetika) sebuah eksistensi berupa kebudayaan dalam suatu masyarkat adat. Afirmasi nilai kebudayaan merupakan metode paling efektif dalam melestarikan dan menyelamatkan kebudayaan dari gempuran globalisasi.
Aplikasi metode afirmasi ini, ada tiga substansi yang perlu dikembangkan dalam menegaskan kebudayaan Madura. Pertama, penghayatan nilai melalui pengetahuan tentang sejarah kebudayaan Madura. Misi ini dimaksudkan supaya memahamkan kembali bahwa suatu kebudayaan di Madura mempunyai nilai etika dan estetika tersendiri yang harus selalu dipraktikkan dalam kehidupan berbudaya dan bermasyarakat.
Kedua, implementasi (manfaat) nilai etika dan estetika kebudayaan bagi kehidupan masyarakat Madura dalam berbudaya dan bermasyarakat. Kegunaan adanya nilai etika dan estetika dalam kehidupan dalam masyarakat adalah hal wajib dipertahankan, sehingga pada akhirnya masyarakat menyadari bahwa mempertahankan dan menyelamatkan kebudayaan Madura harus diletakkan di garda depan.
Ketiga, menjadikan nilai kebudayaan sebagai acuan utnuk menempuh kehidupan masa depan masyarakat, dengan terus melakukan kontekstualisasi dan aktualisasi pada berbagai dinamika zaman. Masyarakat harus bisa menyaring kebudayaan baru dengan tetap memprioritaskan kebudayaan asal mereka agar menjadi masyarakat yang berbudaya, tentunya dengan nilai etika dan estetika yang ada di dalamnya.
Fokus atau objek dari tiga aspek di atas, sebenarnya mengacu pada kebudayaan yang sedikit peminat, bahkan nyaris ditinggalkan dan dianggap tidak perlu. Padahal, bukan waktunya dilupakan, karena bisa menajdi acuan bagi perjalanan hidup masyarakat di masa sekarang dan masa depan. Indikasi dari upaya pengafirmasian ini adalah penanaman kembali spirit masa lalu, hingga diaktualisasikannya pada era sekarang.

C. KEBUDAYAAN MADURA DAN AFIRMASI NIALI ETIKA DAN ESTETIKA
Pada titik ini, penulis akan mencoba mengurai kembali secara runtun nilai yang terdapat pada sebagian kebudayaan Madura melalui metode afirmasi nilai etika dan estetika kebudayaan di Madura, sehingga pada klimaksnya akan menegaskan nilai etika dan estetika yang dikandung oleh berbagai tradisi dan kebudayaan di Madura, wabil-khusus yang kini sedang tergerus nilai tawarnya, baik di level regional dna nsional. Sehingga, untuk menyiasatinya, diperlukan suatu metode afirmasi dalam menyelamatkan kebudayan Madura. Dengan mengacu pada aplikasi metode afirmasi, sebagaimana telah terancang dalam bagian sebelumnya.

1.    Keris[9] Madura dan Masyarakat Kesatria
Dari latar historisnya, Keris Madura[10] sudah muncul pada sekitar abad ke-16 sampai ke-17. Keris mengalami masa kejayaannya yaitu pada abad ke-18 sampai ke-19 ketika keris itu dianggap benda keramat yang memiliki kekuatan magis yang dapat menyelamatkan dan melindungi penggunanya dari berbagai kesulitan. Akan tetapi, berbeda dengan kenyataan yang terjadi pada abad ke-21. Pada abad ini pengrajin seni mulai merubah persepsi. Keris yang dibuat pada abad ke-21 ini hanya menampilkannya pada aspek estetikanya saja, tidak menganggapnya sebagai benda yang mempunyai kekuatan magis seperti pada abad sebelumnya.
Ada berbagai tahap dalam pembuatan keris. Pertama, dilakukan dengan ritual khusus yang disebut “Pojja”,[11] semacam ritual dari sang empu (pembuat keris) yang meminta kepada Tuhan dengan rendah diri lahirbatin, agar para pengguna keris bisa berkelakuan baik dan dijauhkan dari perbuatan jelek dan melanggar dari norma. Biasanya, sang empu akan membawa besi—yang akan dibuat keris—ke tempat yang ramai, apakah masih bisa terlihat oleh orang atau tidak. Jika masih bisa dilihat, maka sang empu akan mengulangi ritual itu.
Kedua, setalah sang empu selesai membuatnya maka dilakukan “Penyempuhan”[12]. Ketiga, sang empu menguji kekuatan keris itu dengan menusukkannya ke kulit kerbau putih yang telah dikeringkannya, di samping juga karena untuk menguji kekerasan besi keris.
Bagi masyarakat Madura, keris dapat dijadikan sebagai sikep (alat untuk menakuti musuh). Mungkin ini biasa, tetapi menjadi tidak biasa ketika dengan memakai keris itu bisa meningkatkan karakter kesatriaannya sehingga masyarkat Madura akan tetap mempunyai identitas, yakni: “Masyarakat Kesatria”.[13] Di titik inilah dapat diambil nilai etika dan estetika dari sebuah keris.
Jika diaktualisasi pada kenyataan sosial Madura, masyarakat kesatria nyaris tidak ada bakan lenyap. Ketika penulis melakukan wawancara untuk salah satu majalah (Muara di PP. Annuqayah Lubangsa) kemaren (15-17/12), ada kenyataan yang tabu di tempat keramaian (Sumenep sampai Sampang, utamanya daerah kota). Penulis melihat masih ada masyarakat yang tauran, dengan miras di tangannya, aksi kekerasn dan amoral. Sehingga, adalah hal yang dianjurkan bahkan wajib, jika nilai-nilai kesatria diinternalisasikan pada kehidupan masyarakat.
Seorang kesatria adalah orang (ramaja atau dewasa) yang mengutamakan pikiran jernih, dingin, tanpa adanya aksi kekerasan fisik sama sekali sehingga mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi. Dia bergerak menggunakan pemikiran daripada tindakan anarkis. Pemikiran yang benar-benar terencana melalui berbagai pengalaman dan pengetahuan yang diperolehnya, sehingga tindakannya pun dapat berguna bagi kehidupan. Mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk. Mengutamakan cinta-kasih bagi sesama manusia tanpa memandang perbedaan kelas sosial dan profesinya.
Dus, menjadi masyarakat kesatria dalam konteks Madura adalah hal yang mungkin, dengan cara terus menerus mencitrakan nilai etika dan estetika yang terdapat pada keris, sehingga dapat berguna bagi masyarakat Madura sekarang dan di masa yang akan datang, demi menyelamatkan kebudayaan Madura dari gempuran globalisasi-modernisasi yang tengah dihadapi.

2.    Memaknai Kembali Celurit Madura
Di kabupaten Sampang, ada daerah bernama Ketapang; suatu daerah yang terletak paling utara kabupaten Sampang. Udara yang panas dan ekspresi wajah masyarakatnya yang (bisa dikatakan) kurang bersahabat, seakan menjadi representasi kebudayaan yang ada di daerah itu. Konon, budaya (mengenakan) celurit di sana sangat penting. Betapa tidak, jika ada orang yang sedang berjalan di waktu malam, maka harus membawa celurit. Jika tidak, orang itu dianggap angkuh oleh masyarakat sekitar, sehingga kemungkinan besar, dalam perjalanannya, orang itu tidak akan selamat alias celaka.
Dari gambaran ini, celurit menjadi penting untuk dikuak kembali. Sebab, mayoritas masyarakat terlanjur menganggap bahwa celurit diidentikkan dengan budaya keras dan menyeramkan. Bahkan parahnya, ini mengerucut pada kebudayaan masyarakat Madura. Bisa jadi, begitu mendengar kata Madura, di situlah tergambar sebuah senjata melengkung yang disebut “celurit”. Terlebih karena masyarakat memandang bahwa celurit diidentikkan dengan “carok”. Sehingga penting untuk merekonstruksi pemikiran yang bisa disebut “kiri” itu.
Pada tataran sejarahnya, tidak ada yang tahu asal-usul munculnya nama celurit hingga dikenal luas sampai detik ini. Hanya saja, di tempat asalnya (Madura), ada sebuah pisau yang bernama “Arit[14] yang dipakai oleh petani untuk menyabit rumput di sawah atau ladang dan membuat pagar di rumah. Tetapi pada perkembangannya, arit itu digunakan sebagai alat utuk berlatih beladiri yang kemudian dijadikan senjata oleh rakyat jelata ketika menghadapi musuh.[15] Di Madura, banyak perguruan pancak silat[16] yang menggunakan celurit untuk berlatih beladiri. Sebab, celurit mempunyai makna filosofis dan penting untuk diaktualisasikan kembali melalui penegasan makna dan nilai yang terkandung di dalamnya, sehingga dapat dijadikan pedoman bagi masyarakat Madura secara umum.
Peterongan,[17] sebuah desa yang sebagian penduduknya menggantungkan hidupnya sebagai orang yang memiliki profesi ‘pandai besi’ dalam membuat arit dan celurit. Keahlian mereka adalah warisan dari para leluhur sejak tahun lampau. Bagi seorang pandai besi bernama Salamun—salah seorang warga paterongan-, celurit tak hanya sekadar benda tajam yang dipertahankan karena warisan dari para leluhur. Pembuatan celurit parlu kehati-hatian dan ketelitian karena celurit lebih merupakan nilai seni yang harus diapresiasi.
Dari pembuatannya, sebelum membuat celurit, seorang pandai besi telah terbiasa berpuasa bahkan setiap tahun, tepatnya pada bulan Maulid. Bahkan, tombuk[18], yang digunakan utuk menempa besi, pantang untuk dilangkahi, apalagi diduduki. Karena, menurut tradisi di Peterongan, jika ini dilanggar biasanya akan berakibat sakit-sakitan pada si pelanggar.[19]
Dus, di sinilah terdapat sebuah nilai etika dan estetika dalam suatu kebudayaan masyarakat (khususnya di Peterongan). Nilai itu adalah: pertama, nilai etika tergambar pada aspek spiritual degan berpuasa terlebih dahulu sebelum membuat celurit. Kepercayaan terhadap kekuasaan Tuhan merupakan nilai etika terhadap Sang Pencipta. Dengan kepercayaan dan kepatuhan demikian, seorang pandai besi mempunyai pandangan bahwa manusia—walaupun sudah bisa menciptakan celurit—merupakan makhluk yang lemah tanpa pertolongan dari-Nya.
Kedua, nilai estetikanya penulis sependapat dengan pandangan puisi yang terdapat dalam puisinya Pak De—panggilan akrab untuk penyair Madura: D. Zawawi Imron, bertajuk: “Celurit Emas”,

Bila musim melabuh hujan tak turun,
kubasahi kau dengan denyutku.
Bila dadamu kerontang,
kubajak kau dengan tanduk logamku.
Di atas bukit garam kunyalakan otakku.
Lantaran aku tahu, akulah anak sulung
yang sekaligus anak bungsumu.
Aku berani mengejar ombak.
Aku terbang memeluk bulan.
Dan memetik bintang gemintang
di ranting-ranting roh nenek moyangku.
Di bubung langit kuucapkan sumpah.
Madura, akulah darahmu.[20]

Untuk memahami puisi ini, cobalah renungkan! Karena pemahaman terhadap suatu karya sastra memang sangat subjektif, sehingga dapat memiliki interpretasi berbeda, bahkan terkadang menimbulkan pertentangan ideologis, psikis dan paradigma berfikir tentang suatu karya dan maknanya.
Bagian akhir, kedua objek afirmasi (keris dan celurit) ini hanya bagian kecil dari keberagaman budaya di Madura. Masih banyak kebudayaan yang perlu dikuak secara substansial dan esensial demi menegaskan eksistensinya di tengah masyarakat melalui metode afirmasi yang sederhana ini, khususnya pada aspek nilai etika dan estetika kebudayaan Madura. Sehingga, jika semua kebudayaan dapat diafiramsi secara masif, impian menyelamatkan kebudayaan Madura dari gempuran globalisasi akan menjadi kenyataan.


BAB III PENUTUP
DISKEBURA; SARANA AFIRMASI NILAI KEBUDAYAAN

Di bagian penutup ini, penulis mencoba menawarkan suatu alternatif solusi dalam menyelamatkan keutuhan nilai yang dikandung dari kebudayaan masyarakat di Madura. Sebab, metode tanpa gerakan praksis sama halnya hanya ‘mengukir di atas air’; manfaatnya tidak akan dirasa. Untuk menyiasatinya, guru penulis pengajar sosiologi (Bapak Damanhuri, M. Ag.) pernah menjelaskan tentang saluran-saluran perubahan sosial (avenue or channel social of change), yaitu: lembaga kemasyarakatan (social institution).[21] Dalam social institution ini, yang menempati posisi tertinggi adalah lembaga pemerintahan yang bergerak di bidang pembangunan masyarakat.
Oleh karena itu, jika di Kabupaten Sumenep didirikan lembaga kemasyarakatan bernama DISPARBUD (Dinas Pariwisata dan Kebudayaan) yang—menurut hemat penulis—gerakannya kurang dirasa secara luas karena hanya bergerak di bidang penyuluhan aspirasi bagi masyarakat tentang bagaimana mengadakan sebuah acara yang berkaitan dengan pariwisata dan budaya. Maka, di Madura setidaknya juga harus didirikan lembaga kemasyarakatan yang bernama DISKEBURA (Dinas Kebudayaan Madura). Hal ini penulis anggap penting untuk direalisasikan, sebagai bentuk keperihatinan pemerintah kepada kebudayaan Madura yang kini mulai tergilas zaman.
Dengan didirikannya DISKEBURA, setidaknya ada beberapa misi yang perlu direalisasikannya: pertama, mencari dan kemudian menetapkan kebudayaan Madura yang dinilai unik dan dapat menjadi ikon bagi keberlangsungan masyarakat. Ini adalah langkah pertama dalam menegaskan kebudayaan-kebudayaan, utamanya mengenai nilai-nilai ashlah dan unik yang terkandung di dalamnya.
Kedua, meneliti akar sejarah muculnya semua kebudayaan yang lahir dari masyarakat Madura. Upaya ini mengindikasikan adanya penemuan nilai-nilai yang ada dalam kebudayaan tersebut. Kemudian, setelah semua nilai kebudayan itu ditemukan, maka harus diabadikan, baik melalui buku sejarah maupun papan kebudayaan yang harus ada dalam kantor DISKEBURA.
Ketiga, sosialisasi kebudayaan pada masyarakat luas. Ini bisa melalui channel-channel TV (semisal Madura Channel, JTV dsb.) dan koran-koran (semisal Radar Madura). Tujuan dari sosialisasi ini adalah untuk menggugah kesadaran masyarakat akan arti penting mempertahankan dan menyelamatkan kebudayaan yang ada di Madura dari gempuran arus globalisasi yang makin mencekik.
Solusi mendirikan sebuah lembaga kemasyarakatan (DISKEBURA) yang khusus bergerak di bidang afirmasi dan pengabadian nilai kebudayaan Madura, sebenarnya merupakan mimpi penulis yang bisa dianggap “liar”. Akan tetapi entah kenapa di benak penulis, jika hal ini direalisasikan maka akan tercipta masyarakat yang berbudaya, berkarakter, berpolaprilaku yang sesuai dengan koridor agama dan sosial, dan tidak mudah goyah karena gempuran “zaman baru” yang diproduksi oleh era globalisasi. Wallahu A’lam bisshawab.

*)tulisan ini diikutkan pada lomba menulis artikel yang diadakan oleh panitia Sains Education Community (SECO) Universitas Wiraraja, dan menjadi Finalis dalam lomba tersebut.



[1] Globalisasi adalah sebuah istilah yang lahir dari dinamika international yang mengindikasikan adanya integrasi secara global dalam bidang ekonomi, budaya dan politik (lihat: Andi Widjajanto, Transnasionalisasi Masyarakat Sipil, (Yogyakarta: 2007), hal. 01
[2] Kebijakan global menurut Chadwick Alger berintikan kepada dua definisi nilai global, yakni ‘perdamaian’ dan ‘pembangunan’ yang secara luas konsekuensinya adalah kondisi ketiadaan rasa damai (peacelessnes). Ibid. hal. 06
[3] Guru materi Etika penulis di MA 1 Annuqayah (K. M. Mushthafa, M.A.) pernah menjelaskan bahwa kebudayaan Barat (utamanya yang diproduksi dari Amerika) sangat berlawanan dengan semangat kebudayaan lokal, terutama dalam hal norma agama di Madura yang mayoritas masyarakatnya menganut agama Islam.
[4] Lebih jelasnya, tuntaskan pada artikel di web online, Nilai Etika dan Estetika dalam Kebudayaan, http://kurnirasari95.blogspot.com/2008/10/nilai-etika-dan-estetika-dalam.html
[5] Keempat kandungan kebudayaan ini, adalah sesuai dengan kebudayaan dan karakter masyarakat Madura yang pada umumnya dipraktikkan dengan cara spiritual oleh kyai wara’ di Madura. (lebih jelas tuntaskan pada: Anonim, http://cyber07130003.wordpress.com/2009/02/06/apakahcarok-budaya-orang-madura, Simbol Carok dan Fakta)
[6] Nampah Cangkem (bahasa Madura) adalah meletakkan tangan di bawah dagu dan, biasanya, matanya menatap kosong sehingga terkesan seperti orang yang kehilangan ghiroh dalam menjalani kehidupan. Ini sebenarnya bukan kebudayaan, tetapi salah satu tradisi yang memiliki makna filosofis jika dikaitkan denga kehidupan masyarakat Madura.
[7] Kalau nampah cangkem, memang kenapa?!
[8] Lebih jelas, tuntaskan pada: Budiono, MA, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: 2005), hal. 19. Tidak jauh berbeda dengan M. Dahlan Al-Barry dalam Kamus Ilmiyah Populer, hal. 9 yang menjelaskan bahwa afirmasi adalah penegasan; peneguhan dan pengakuan.
[9] Keris merupakan salah satu kebudayaan Madura yang, entah kenapa, kurang diminati oleh mayoritas masyarakat dibandingkan dengan Kerapa Sapi, Sapi Sono’ dan lainnya. Parahnya, masyarakat Madura melihat kebudaan hanya dari aspek gerak, bukan pada pengaktualisasian suatu kebudayaan yang sebenarnya juga memiliki nilai ashlah bagi kehidupan. Sehingga akan memberikan dampak psikogis bagi para “produsen” keris—terutama karena tuntuan ekonomi.
[10] Mengenai keris Madura sebenarnya ada perbedaan dari keris Jawa umumnya. Perbedaan itu terlihat pada nilai estetika yang ada pada kedua keris (Madura dan Jawa) itu. Lebih jelas, tuntaskan pada: RB. Ahmad Ramadan, Keris dalam Budaya Masyarakat Madura di artikel online http://www.facebook.com/topic.php?uid=218949248212&topic=10865
[11] Pojja bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh kesaktian dan kegunaan yang dipunyai oleh besi yang akan dibuat keris. Tentunya melalui kepercayaan sepenuhnya kepada Tuhan. Ibid.
[12] Penyempuhan adalah memasukkan racun ke dalam keris dan sang empu mengatakan sepatah-dua patah kata, seperti: selamat, jaya, kaya dan lain sejenisnya. Hal ini bertujuan agar keris itu berguna bagi para pemakainya seperti kata-kata yang digunakan oleh sang empu. Ibid.
[13] Kesatria adalah sebuah keperibadian yang dimiliki seorang—yang sejajar dengan seorang pahlawan karena prilakunya yang baik dan menjadi “pioner” di tengah-tengah masyarakat. Kesatria juga bisa diartikan dengan pembela yang berjiwa besar dan berbudi luhur. Masyarakat kesatria bukan hanya terpaku pada masyarakat grass roots, tetapi juga pemerintah sebagai agen sentral.
[14] Arit adalah pisau yang berbentuk melengkung yang sering dipakai oleh masyakat petani untuk memotong rumput di sawah.
[15] Agar lebih jelas, tuntaskan pada: Soedjatmko dan Bambang Triono, berjudul CeluriiiiiiiTTTTTT, di alamat ini: http://maduracenter.wordpress.com/2007/07/14/celuriiiiiiitttttt/
[16] Misalnya di perguruan Joko Tole. Celurit tidak sekadar digunakan untuk melumpuhkan lawan. Tetapi lebih dari itu, seorang pemain silat harus memiliki batin yang bersih dengan berlandaskan agama. Ibid.
[17] Paterongan adalah nama sebuah desa yang terletak di Kecamatan Galis, sekitar 40 kilometer dari Kabupaten Bangkalan. Op. Cit.
[18] Tombuk adalah suatu bantalan yang digunakan untuk menempa besi setelah dipanaskan dan menjadi lempengan berbentuk celurit.
[19] Not. Id.
[20] Dikutip secara bebas dari artikelnya Soedjatmoko dan Bambang Triono, berjudul: CeluriiiiiiiTTTTTT, di alamat ini: http://maduracenter.wordpress.com/2007/07/14/celuriiiiiiitttttt/
[21] Menurut Soerjono Soekanto (1982), lembaga kemasyarakatan (social institution) adalah himpunan daripada norma-norma dari segala tingkatan yang pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat. Lembaga-lembaga kemasyarakatan (meliputi pemerintahan, organisasi keagamaan, organisasi ekonomi, organisasi pendidikan dan keluarga) sebenarnya merupakan sistem yang saling terintegrasi. Lebih terang, tuntaskan pada: Atik Catur Budiati, Sosiologi Kontekstual, (Surabaya: 2009), hal. 33

 
DAFTAR BACAAN

Buku:
Bouvier, Helene. 2002. Lebur! Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Budiati, Atik Catur. 2009. Sosiologi Kontekstual. Surabaya: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.
Dahlan Al-Barry, Muhammad. 2005. Kamus Ilmiyah Populer. Surabaya: ARKOLA.
Kuntowijoyo. 2006. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Liliweri, Alo. 2002. Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: LKiS.
Ma, Budiono. 2005. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Karya Agung.
Widjajanto, Andi. 2007. Transnasionalisasi Masyarakat Sipil, Yogyakarta: LKiS.

Website:
http://kurnirasari95.blogspot.com dengan judul artikel: Nilai Etika dan Estetika dalam Kebudayaan
http://cyber07130003.wordpress.com dengan judul artikel: Simbol Carok dan Fakta
http://www.facebook.com  dengan judul artikel: Keris dalam Budaya Masyarakat Madura, yang ditulis oleh RB. Ahmad Ramadan.
http://maduracenter.wordpress.com dengan judul artikel: CeluriiiiiiTTTTTT, yang ditulis oleh Soedjatmoko dan Bambang Triono.

ERA DIGITAL DAN AKTUALISASI NILAI (PENDIDIKAN) PESANTREN; Upaya Menyelamatkan Nilai-Nilai Pendidikan Pesantren di Era Digital


A.    Pendahuluan
Di era Millenium Ketiga ini, globalisasi[1] telah menjadi perbincangan alot. Dalam persepektif Chadwick Alger, globalisasi berintikan kepada dua definisi nilai global, yakni, ‘perdamaian’ dan ‘pembangunan’, yang secara luas konsekuensinya adalah kondisi ketiadaan rasa damai (peacelessnes).[2] Sedangkan pada saat yang sama, globalisasi juga telah “memaksa” manusia untuk ber-mineset “instan”. Ini dilihat dari pergerseran gaya hidup (shifting life style) manusia, dari yang sifatnya cenderung “apa adanya” ke penggunaan perangkat teknologi secara berlebihan. Konsekuensi dari ini, manusia akan memiliki ketergantungan, karena telah menjadikan teknologi sebagai ‘dewa’.
Inilah yang kemudian disebut dengan era digitalisasi, di mana manusia menjadi apa yang disebut Paulo Freire sebagai “silent society” (masyarakat bisu) sebagai konsekuensi dari ketergantungan yang berlebihan. Suara manusia tidak lagi berasal dari lubuk hatinya, namun merupakan pantulan suara masyarakat metropolis,[3] sehingga pada akhirnya mereka (baca: silent society) terasing dari lingkungan masyakarakatnya.
Dalam bidang pendidikan, tak lepas dari wacana digitalisasi. Berbagai perubahan, baik pada manajemen (pengelolaan) maupun fasilitas yang digunakan, pendidikan kini menjadi semacam “bengkel” dengan segala perangkat teknologi di dalamnya. Digitalisasi pendidikan demikian pada akhirnya akan menggerogoti idealismenya. Pendidikan yang awalnya merupakan wahana pemanusiaan manusia (humanisasi) yang mengindikasikan adanya spirit pengabdian kepada masyarakat, ternyata kini telah berganti menjadi lembaga yang mendidik siswa berpikir teknologis, globalis, modernis dan semakin menjauh dari realitas dan nilai lokal kemasyarakatan.

B.     Lokalitas dan Nilai Kepesantrenan
Dalam kerangka ini, menjauhnya masyarakat dari realitas dan nilai lokal kemasyarakatan mungkin adalah wajar. Karena memang, seringkali orang mengalami kesalahan persepsi tentang apa itu (nilai) lokalitas. Lokalitas sering dipahami sekadar sebagai hal yang bersifat “kolotis”, tradisional dan jauh dari sifat progresif. Dalam persepektif ‘pembangunanisme’ (developmentalism) pun, spirit lokalitas seringkali dianggap sebagai penghambat pembangunan. Akan tetapi, persepsi ini menjadi tidak wajar ketika spirit lokal juga diakui ternyata mengandung nilai-nilai kearifan, sebagai kontrol menghadapi “budaya baru” yang lahir dari era digitalisasi-modernisasi dewasa ini. Kearifan lokal inilah yang sebenarnya juga mempunyai spirit dalam menciptakan manusia yang bijak menyikapi kehidupan.
Dalam keterkaitan ini, pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia merupakan institusi yang lahir dari, oleh dan untuk masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan. Manajemen pendidikan full day school yang ada di dalam pesantren banyak diilhami oleh lembaga pendidikan di Indonesia. Tentunya ini tidak lepas dari nilai pendidikan lokal yang menjadi warisan para pendahulu, seperti nilai yang terkandung dalam sistem pembelajaran sorogan (individual) dan wetonan (kolektif), yang di dalamnya memuat nilai ashlah yang pada akhirnya akan membentuk mental dan keperibadian santri—sebagai pelajar di pesantren. Dalam pada itu, pesantren juga memiliki nilai-nilai universal keagamaan semisal zuhud, wara’, tawakkal, sabar, tawadhu’, ikhlas dan sebagainya.
Nilai-nilai pendidikan pesantren semacam ini (baca: lokalitas pendidikan), jika melihat dari sistem pendidikan yang diterapkan di Annuqayah, setidaknya dapat diaktualisasikan pada era digitalisasi untuk dijadikan acuan. Sebab, pendidikan pesantren (utamanya pesantren yang beridentitas semimodern semacam Annuqayah) ternyata masih memegang teguh nilai-nilai pendidikan berkearifan lokal, walaupun pada sistem pendidikan formalnya mengadopsi sistem pendidikan modern.[4]
Jargon ‘menjaga nilai tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik’ yang diterapkan di berbagai pesantren semimodern, memang sangat pas jika dihadapkan pada persoalan zaman yang kian “barbar” ini. Sebab, jargon uni merupakan spirit di mana warisan “kekayaan pendahulu” yang bernilai ashlah masih tetap dipertahankan, untuk kemudian disejajarkan kedudukannya dengan “paham baru” yang diadopsi dari perkembangan zaman, dengan tetap bijak menyikapi perubahan sebagai konsekuensinya.
Akan tetapi belakangan muncul kekhwatiran dari para pengelola lembaga pendidikan pesantren akan pudarnya nilai kearifan lokal yang diwariskan oleh para pendahulu. Kekhawatiran ini muncul seiring kebijakan pemerintah Departemen Agama (Depag) bahwa sistem maupun kurikulum sekolah (wabilkhusus sekolah yang berbasis di pesantren) akan disamabentukkan dengan sistem pendidikan nasional. Konsekuensi dari ini, pesantren tentunya tidak jauh berbeda dengan lembaga pendidikan pada umumnya, walaupun dalam beberapa hal masih sedikit ada perbedaan. Akan tetapi, kekhawatiran ini tentu menjadi tanda bahwa nilai-nilai pendidikan pesantren (khususnya yang bersifat lokal) akan tergerus.
Lebih dari itu, era digitalisasi sebagai spirit globalisasi-modernisasi seakan bertentangan atau bahkan “dipertentangkan” dengan nilai-nilai lokal, yang pada orientasinya akan mereduksi kekayaan lokal. Di satu sisi, era digitalisasi dianggap akan memberikan kontribusi bagi kemajuan manajemen pendidikan (pesantren) yang mengarah pada hal yang bersifat progress. Tetapi di sisi lain, dengan spirit demikian pada akhirnya akan menggerus nilai lokal, berupa tidak terikatnya pesantren pada figur kyai sebagai tokoh sentral seperti yang terjadi di pesantren modern,[5] misalnya. Jika tidak ada upaya pengintegrasian kedua cara pandang ini, pada gilirannya akan menciptakan konflik intern sehingga akan mengancam eksistensi pendidikan pesantren itu sendiri.

C.    Aktualisasi Nilai Pendidikan Pesantren di Era Digital
Di sinilah pentingnya kita mengaktualisasi nilai-nilai (berkearifan lokal) pendidikan yang terkandung dalam pesantren untuk kemudian dikontekstualisasikan pada berbagai dinamika zaman. Pengaktualisasian ini secara umum berorientasi pada pengintegrasian kedua cara pandang di atas, sehingga dapat mengaktualisasi nilai-nilai kearifan lokal, demi menyelematkan nilai pendidikan pesantren di era digitalisasi. Upaya ini juga bertujuan bagaimana pesantren dapat menjadi wahana “perdamaian” antara nilai: lokalitas dan modernitas, tentunya dengan terus bersikap kritis, selektif, dan arif terhadap berbagai perkembangan.
Oleh karena itu, tawaran qaidah al-muhafadzatu ala al-qadiimisshalih wal akhdzu bil jadiidil ashlah (menjaga nilai tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik), setidaknya ada dua misi penting. Pertama, pelestarian nilai (lokal) yang terefleksi dalam tradisi intelektual pesantren. Dalam perspektif ini, sebagaimana menurut Fathorrahman Hasbul ketika mengutip gagasan Gus Dur yang dikutip Abdurrahman Mas’ud MA, Ph. D, pelajaran yang ditawarkan dalam pendidikan pesantren berupa literatur universal yang dipelihara dan ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikut, langsung berkaitan dengan konsep unik kepemimpinan kyai. [6] Kandungan yang ada dalam kitab turats atau kitab kuno (dilihat dari perspektif modern) harus dapat memberikan kesinambungan bagi the right tradition atau al-qadim as-shalih.
Kedua, mengadopsi nilai baru yang dapat berkontribusi bagi mineset yang terefleksi dalam way of life pesantren ke depan. Ini penting dilakukan agar pesantren tidak melulu diklaim sebagai pendidikan tradisional, konservatif, kumuh, karena telah berhadapan, baik secara langsung atau tidak, dengan era digitalisasi. Tentunya dengan tetap mengaktualisasikan nilai-nilai universal sebagai kekayaan pesantren sejak dulu. Sehingga dengan demikian, output pesantren tidak gagap menghadapi perkembangan zaman yang tak bisa dibendung ini.
            Kedua misi di atas, diharapkan dapat dijadikan sebagai pijakan untuk pesantren dalam melangkah menempuh era digitalisasi yang kini tengah dihadapi. Supaya pasantren nantinya tetap menjadi “pioner” pendidikan di tengah maraknya komersialisasi dan digitalisasi pendidikan di Indonesia.

D.    Penutup
  Dari deskripsi logis di atas, perkembangan era digitalisasi dewasa ini memaksa manusia mempunyai cara pandang instan. Ketergantungan kepada teknologi secara berlebihan ternyata telah menjadikan manusia sebagai masyarakat bisu (silent society). Pesantren yang pada mulanya merupakan lembaga pendidikan keagamaan yang lahir dari, oleh dan untuk masyarakat, utamanya masyarakat pedesaan, kini harus bersiap diri untuk ikut berperan aktif dalam perubahan. Perngaktualisasian nilai pendidikan pesantren menjadi solusi alternatif, sehingga nilai-nilai universal pendidikan pesantren dapat terselamatkan dari gempuran era digitalisasi kini.
Akhirnya, tulisan ini semoga tidak dianggap mendoktrin pesantren secara besar-besaran, tetapi hanya sebagai upaya merekonstruksi menuju pesantren masa depan. Wallahu A’lam bisshawab.


[1] Globalisasi adalah sebuah istilah yang lahir dari dinamika international yang mengindikasikan adanya integrasi secara global dalam bidang ekonomi, pendidikan, budaya dan politik (lihat: Andi Widjajanto, Transnasionalisasi Masyarakat Sipil, (Yogyakarta: 2007), hal. 01
[2] Ibid. hal. 06
[3] Untuk memahami konsep manusia tergantung sebagai masyarakat bisu (silent society), dapat dilihat dalam: Paulo Freire, The Politic of Education: Cultur, Power, and Liberation, (Yogyakarta: 2007), hal. 132
[4] Lebih jelas, lihat: Hamdan Farchan dan Syarifuddin, Titik Tengkar Pesantren; Resolusi Konflik Masyarakat Pesantren, (Yogyakarta: 2005), hal. 02
[5] Pesantren modern biasanya mempunyai ciri-ciri, antara lain; (1) memiliki manajemen dan administrasi dengan standar modern; (2) tidak terikat pada figur kyai sebagai tokoh sentral; (3) pola dan sistem pendidikan modern dengan kurikulum tidak hanya ilmu agama tetapi juga pengetahuan umum; (4) sarana dan bentuk bangunan pesantren lebih mapan dan teratur, permanen dan berpagar. Untuk mengetahui lebih luas lihat: Hamdan Farchan dan Syarifuddin, Titik Tengkar Pesantren……………hal. 01
[6] Dikutip secara bebas dari makalah: Fathorrahman Hasbul, Reaktualisasi Dinamika Pesantren Di Era Modernitas (Rekonstruksi Membangun Pesantren Masa Depan) tahun 2007