Drama lucu kembali ditunjukkan oleh
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kita pada akhir masanya. Dalam pembahasan
Rancangan Undang-Undang (RUU) MPR, DPD, DPR, dan DPRD (MD3), kontroversi
mencuat ketika RUU Pilkada akan disidangkan. Bagaimana tidak lucu? DPR melawan
rakyat. Legislatif sebagai corong kepentingan rakyat kini berubah buas menentang
kedaulatan rakyat. Lagi-lagi, ini adalah kepentingan parsial partai politik
(parpol) oposisi bernama Koalisi Merah Putih (KMP).
Ketika Gerinda memutuskan setuju Pilkada
tidak langsung, Ahok memilih keluar dari partai berlambang kepala Garuda itu. Pun
rakyat tak ketinggalan dengan berunjuk rasa menolak pengesahan RUU Pilkada.
Betapa bopengnya wajah wakil rakyat kita. Tanpa sungkan atau malu, dengan muka
pamrih hampir separuh suara (249 kursi/suara) di DPR setuju Pilkada dipilih
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Bukti bahwa DPR telah mencederai
substansi demokrasi. Model pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat mengalami
pengeroposan yang begitu memilukan. Ada etika demokrasi yang dilindas oleh
ambisi dan egoisme sehingga menganggap rakyat tiada arti. Lalu untuk siapa
pengabdian dan perjuangan mereka di kursi (legislatif)?
Memilih menjadi politisi sebagai
jembatan menjadi negarawan yang membela kepentingan negara dan rakyat,
seharusnya mereka tahu diri atas nama siapa mereka duduk di kursi. Alih-alih
membuktikan kualitas diri dan kinerja, mereka justeru berbalik ingin menjadi
penguasa lagi. Rupa-rupanya, hal ini membuat Koalisi Kawal RUU Pilkada
berkontribusi dengan menyerahkan surat terbuka kepada Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) melalui Dewan Pertimbangan Presiden. Koalisi ini menghendaki
agar suara rakyat dihargai oleh Presiden dengan mencabut RUU Pilkada.
Dampak nyata yang akan dirasa tentang
RUU Pilkada ini, Indonesia bukan hanya akan kembali pada demokrasi semu (untuk
tidak mengatakan otoriter) seperti dialami pada Orde Baru yang menyakitkan. RUU
Pilkada juga berpotensi mengekalkan stutus quo dan maraknya korupsi. Ini
diakui oleh pengamat Hukum Tata Negara Refly Harun dan Peneliti Hukum pada
Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW)
Donal Fariz. Keputusan untuk menetapkan Pemilu tidak langsung merupakan
kesalahan fatal dalam negara demokrasi. Selain itu berpotensi terjadinya
korupsi yang kian massif dan sistematis.
Bopeng
Sebelah
Sidang Paripurna DPR sudah dilakukan
kemaren hingga dini hari (25-26/9). Isinya mengecewakan. RUU Pilkada tidak jadi
dihapus. Unsur-unsur inkonstitusional dan egoisme individualistik tetap nyata
dalam DPR kita. Keputusan Fraksi Partai Demokrat (PD) untuk walk out
sungguh di luar dugaan. Meski SBY memberi arahan agar anggota partainya di DPR
memilih opsi pilkada langsung sejak jauh hari, PD malah memilih netral.
Hanya, perjalanan reformasi sejak 1998
hingga terciptanya kebijakan pilkada langsung oleh rakyat pada 2005 dan hampir
10 tahun berjalan ini kemudian terasa hambar. Lalu mengganjal, ketika Mahkamah
Konstitusi menolak permohonan KMP (Golkar, PKS, PAN, PPP, Gerindra), kemudian
KMP menggugat mekanisme pilkada secara langsung. Seperti ada udang di balik batu,
KMP sebagai koalisi yang dipimpin capres yang kalah dalam pilpres pasti ada
maksud di balik rasa kecewanya. Betapa tidak, kedaulatan konstitusional dan hak
masyarakat warga berani ditentangnya.
KMP, terutama Golkar, berdalih pilkada
langsung “tak efisien”. Padahal, menurut Ramlan Surbakti (26/9), kader parpol
di DPR dan mereka yang duduk di dalam pemerintahanlah penyebab pilkada langsung
tak efisien. Karena itu, merekalah yang harus mencegah pilkada yang tak
efisien. Sebab, mereka yang membentuk UU, menyeleksi dan mengajukan pasangan
calon kepala daerah dengan dipungut “sewa perahu” atau “uang mahar”, dan bukan
merubah mekanisme pilkada langsung. Kini jelas, adanya KMP menyebabkan wajah
DPR kita di Senayan menjadi bopeng sebelah.
*) Tulisan ini
disampaikan pada diskusi Indonesia Belajar (IB), tanggal 26 September 2014.
Judul tulisan ini terinspirasi dari tulisan Soe Hok Gie pada tahun 1969
berjudul: “Wadjah Mahasiswa UI Jang Bopeng Sebelah”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar