Akhir-akhir
ini dunia pendidikan kita diwarnai oleh berbagai persoalan-persoalan krusial, justeru
ketika selesai reshuffle Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan (Mendikbud). Menyikapi hal itu, publik kemudian terpantik
reaksinya. Ada yang mengatakan bahwa reshuffle
Mendikbud dari Anis Baswedan ke Muhadjir Efendy sangat jauh dari harapan.
Tetapi sebagian yang lain menyatakan bahwa dengan digantinya Anis Baswedan,
wajah pendidikan Nasional akan semakin baik.
Terlepas
dari pro dan kontra mengenai reshuffle
Mendikbud tersebut, mari kita kembali memikirkan bagaimana seharusnya dunia
pendidikan Nasional kita. Dengan realitas masyarakatnya yang majemuk, konsep
dasar pendidikan benar-benar harus lahir dari rahim ke-Indonesia-an.
Jika
kita bedah satu persatu, persoalan yang paling pelik adalah bagaimana
seharusnya sistem pendidikan Nasional dapat menyentuh esensi dari pendidikan
itu sendiri. Pendidikan Nasional (mulai dari tingkat dasar hingga perguruan
tinggi) harus mampu mencapai kebutuhan-kebutuhan dasar manusia. Karena
pendidikan sebenarnya merupakan kebutuhan dasar itu sendiri, sehingga mencapai
visi dasar pendidikan (yang dalam UUD 1945 adalah “mencerdaskan kehidupan
bangsa”), merupakan harga mati yang tak bisa ditawar.
Penerapan FDS
Hal
yang tak lepas dari perhatian dan perbincangan publik adalah mencuatnya gagasan
ful day school (sekolah sehari penuh,
selanjutnya disingkat FDS) oleh Mendikbud Muhadjir. Gagasan ini jika dirunut ke
akarnya, bukan sesuatu yang baru bagi kita dalam kancah pendidikan Nusantara. FDS sudah lama diterapkan di seluruh
lembaga pendidikan pesantren di Indonesia. Keberadaan manajemen FDS memang menajdi pioner tersendiri di
tengah realitas pendidikan Nasional. Sehingga tidak salah jika kemudian
pesantren (sebagai lembaga pendidikan islam tertua di Indonesia) merupakan
lembaga yang paling berhasil dalam mencetak kader bangsa yang berkarakter.
Sampai
di sini, jika FDS yang digagas
Mendikbud memang diilhami oleh sistem manajemen pendidikan pesantren,
kemungkinan besar dapat berbuah manis dan sangat positif bagi pembentukan
karakter anak bangsa. Akan tetapi, gagasan ini menjadi hal yang perlu
diperhitungkan kembali ketika dihadapkan pada kondisi lembaga pendidikan formal
di Indonesia yang dari segi kurikulum, tatakelola, maupun keadaan peserta didik
(baik dari segi psikis maupun sosial) tidak sama. Sehingga bukan hal baru jika
kritik menjadi konsekuensi logis yang timbul di kalangan masyarakat.
Kendati
demikian, bukan tidak mungin manajemen FDS
diterapkan di sekolah formal (terutama SD dan SMP) ini. Hanya saja, Mendikbud
memang perlu melakukan beberapa hal. Pertama,
gagasan FDS dapat dijadikan sebagai
sebuah kebijakan untuk diterapkan di sekolah dengan berlandaskan spirit “back to local”. Artinya, diterapkannya FDS harus juga mempertimbangkan apa yang
menjadi kekuatan dan kelemahan pada sekolah-sekolah tertentu.
Kedua, diperluakan sosialisasi yang jelas
mengenai bagaimana FDS ini
diterapkan. Hal ini dapat meliputi kurikulum, kegiatan, dan goal serta evaluasi
mengenai perkembangannya ini ke depan. Hal ini penting, karena untuk memberikan
pemahaman dan penjelasan kepada masyarakat luas, terutama intinya bermuara pada
kebaikan dan kemajuan anak didik di sekolah maupun di luar sekolah.
Ketiga, sebagai penerjemahan terhadap konsep
Nawacita-nya Presiden Jokowi, manajemen FDS
yang digagas Muhadjir harus juga identik dengan peningkatan taraf kualitas
pendidikan terutama di desa-desa dan pedalaman. Hal ini terutama dari segi
prasarana, anggaran dana, dan fasilitas-fasilitas sekolah. Jika perlu,
Kemendikbud dapat membentuk tim pengawas pengembangan kualitas sekolah
pinggiran di berbagai daerah-daerah tertinggal.
Pembentukan Karakter
Sebagaimana
dikemukakan Mendikbud Muhadjir, gagasan FDS
timbul adalah sebagai upaya dalam membentuk karakter anak didik melalui lembaga
pendidikan. Dengan diterapkannya gagasan ini, Muhadjir berhadap agar siswa
tidak lagi berperilaku di luar batas, tidak nakal ketika siswa di luar kelas,
dan tetap dalam perhatian orangtua ketika anak didik sudah keluar dari
lingkungan sekolah.
Jika
yang menjadi esensi adalah demikian, gagasan FDS sebenarnya bukan satu-satunya upaya dalam membentuk karakter
anak didik (terutama di tingkat SD dan SMP). Ia hanya merupakan satu dari
sekian banyak upaya yang telah dilakukan sejak dulu, misalnya seperti telah
diterapkannya kantin kejujuran, mengantar anak ketika masuk sekolah, dan adanya
kontrol guru ketika siswa sudah tidak berada di lingkungan sekolah serta
upaya-upaya lainnya.
Konklusinya,
Muhadjir melontarkan gagasan FDS memang
bukan merupakan sebuah kekeliruan, akan tetapi untuk menjadikannya sebagai
kebijakan Nasional juga perlu mementingkan eksistensi sekolah-sekolah pinggiran
dan pedesaan. Ada hal yang jauh lebih penting yang dibutuhkan sekolah-sekolah
di pedesaan daripada sekadar kebijakan FDS,
yakni pemerataan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar