Pada pertengahan Juli (11/07/2016) lalu, Pengurus Cabang Nahdlatul
Ulama (PCNU) Sumenep menggelar acara “Khalaqah
Kedaulatan Tanah; Upaya untuk Melindungi dan Merawat Tanah Warisan Para Leluhur”.
Seluruh elemen masyarakat mulai dari mahasiswa (termasuk peneliti), warga,
tokoh masyarakat, para peneliti dan berbagai perwakilan LSM di Sumenep turut
serta dalam acara tersebut, bahkan tokoh intelektual NU sekaligus Direktur
Moderate Muslim Society Zuhairi
Misrawi juga menyempatkan hadir dalam memberikan sudut pandangnya terkait
persoalan pelik penjualan tanah di Sumenep.
Tak
dapat dipungkiri, banyaknya tanah yang dijual di Sumenep kepada para
investor/corporate menjadi keresahan tersendiri bagi masyarakat. Pasalnya,
hingga saat ini sudah sekitar 500 hektar lahan produktif Sumenep dikuasai
investor. Berdasarkan data dari PCNU Sumenep, lahan-lahan itu tersebar secara massif
di berbagai daerah, mulai dari Kecamatan Talango, Gapura, Manding, Lenteng,
Dasuk, Kecamatan Kota, Ambunten, Kalianget, Pasongsongan, dan Bluto serta
berbagai daerah lain, khususnya sepanjang pantai utara Sumenep (Dungkek,
Batang-Batang, dan Batu Putih).[1]
Isu
yang santer dibicarakan sejak dua tahun terakhir, pantai utara Sumenep itu
kemungkinan akan menjadi pelabuhan internasional yang menghubungkan Madura
dengan pulau-pulau lain di Indonesia dan Negara-Negara Asia lainnya. Kemudian,
tanah-tanah yang mereka beli di sepanjang pantai Dungkek, Batang-Batang dan
Batuputih itu akan dijadikan sebagai tempat tambak dan budidaya ikan untuk
diekspor ke luar negeri. Hal ini bukan tanpa dasar, para investor tersebut
rata-rata memang bukan asli Indonesia, hanya untuk memuluskan langkahnya
mengatasnamakan orang Indonesia, bahkan ada yang atas nama penduduk lokal.[2]
Oleh
karena peluang yang sangat menjanjikan ini, hukum pasar (kapitalisme) pun
berlaku: semakin tinggi permintaan, semakin tinggi pula harga komoditas. Tanah
yang awalnya seharga 10 ribu rupiah per meter persegi, sekarang melonjak
menjadi sekitar 100 ribu rupiah per meter persegi. Lalu, siapa yang tidak
tergiur untuk menjual tanahnya. Kebanyakan masyarakat berpikir begitu. Mereka
lebih memilih menjual tanah akibat kebutuhan yang kian hari kian tinggi. Mereka
juga tidak berpikir tentang bagaimana konsekuensi yang akan timbul jika para
investor dan kapital terus menguasai tanah mereka.
Alhasil,
persoalan-persoalan baru semacam konflik antar masyarakat kecil, antartetangga,
antarsaudara meletup sebagai imbas dari perebutan hak milik tanah. Tidak absen
juga konflik yang dialami antara warga dengan perangkat-perangkat desa dan
pamong praja, bahkan konflik antara kelompok masyarakat dengan pemerintah
daerah menjadi pemandangan yang sangat miris. Bahkan seperti yang terjadi di
banyak tempat, di mana pemodal sudah beroperasi, bukan tidak mungkin
rumah-rumah warga yang tersisa, atas nama pembangunan, akan ikut digusur.
Dalam analisa Badrul Arifin terhadap konsep ursprünglische
akkumulation atau
akumulasi primitif yang dikemukakan Marx di mana dalam penguasaan tanah oleh
investor mengindikasikan adanya proses historis pembentukan kelas proletariat.
Dapat dikatakan bahwa akumulasi primitif ini merupakan transisi awal dalam
proses produksi pra-kapitalis yang kemudian diikuti kelahiran produksi
kapitalisme. Pelan tapi pasti, masyarakat pesisir Sumenep yang berada di dekat
lokasi beroperasinya produksi oleh investor mulai teralienasi dari hidup dan
lingkungan sekitarnya.[3]
[2] Bedah editorial Majalah Fajar, bertajuk:
“Investor Borong Tanah Sumenep; Penduduk Diancam, Ditakuti, dan Ditipu”, oleh
Daulat Tanah Sumenep pada 14/09/2016 di Kantor PCNU Sumenep.
[3] Badrul Arifin, Akumulasi Primitif dan Masalah
Agraria di Pesisir Sumenep dalam Harian Indoprogress edisi 1 September 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar