A. Pendahuluan
Di
era Millenium Ketiga ini, globalisasi[1] telah menjadi perbincangan
alot. Dalam persepektif Chadwick Alger, globalisasi berintikan kepada dua
definisi nilai global, yakni, ‘perdamaian’ dan ‘pembangunan’, yang secara luas
konsekuensinya adalah kondisi ketiadaan rasa damai (peacelessnes).[2] Sedangkan pada saat yang sama,
globalisasi juga telah “memaksa” manusia untuk ber-mineset “instan”. Ini
dilihat dari pergerseran gaya hidup (shifting life style)
manusia, dari yang sifatnya cenderung “apa adanya” ke penggunaan perangkat
teknologi secara berlebihan. Konsekuensi dari ini, manusia akan memiliki
ketergantungan, karena telah menjadikan teknologi sebagai ‘dewa’.
Inilah
yang kemudian disebut dengan era digitalisasi, di mana manusia menjadi apa yang
disebut Paulo Freire sebagai “silent society” (masyarakat bisu) sebagai
konsekuensi dari ketergantungan yang berlebihan. Suara manusia tidak lagi
berasal dari lubuk hatinya, namun merupakan pantulan suara masyarakat
metropolis,[3] sehingga pada akhirnya mereka
(baca: silent society) terasing dari lingkungan masyakarakatnya.
Dalam
bidang pendidikan, tak lepas dari wacana digitalisasi. Berbagai perubahan, baik
pada manajemen (pengelolaan) maupun fasilitas yang digunakan, pendidikan kini
menjadi semacam “bengkel” dengan segala perangkat teknologi di dalamnya.
Digitalisasi pendidikan demikian pada akhirnya akan menggerogoti idealismenya.
Pendidikan yang awalnya merupakan wahana pemanusiaan manusia (humanisasi) yang
mengindikasikan adanya spirit pengabdian kepada masyarakat, ternyata kini telah
berganti menjadi lembaga yang mendidik siswa berpikir teknologis, globalis,
modernis dan semakin menjauh dari realitas dan nilai lokal kemasyarakatan.
B. Lokalitas dan Nilai Kepesantrenan
Dalam
kerangka ini, menjauhnya masyarakat dari realitas dan nilai lokal
kemasyarakatan mungkin adalah wajar. Karena memang, seringkali orang mengalami
kesalahan persepsi tentang apa itu (nilai) lokalitas. Lokalitas sering dipahami
sekadar sebagai hal yang bersifat “kolotis”, tradisional dan jauh dari sifat
progresif. Dalam persepektif ‘pembangunanisme’ (developmentalism) pun,
spirit lokalitas seringkali dianggap sebagai penghambat pembangunan. Akan
tetapi, persepsi ini menjadi tidak wajar ketika spirit lokal juga diakui
ternyata mengandung nilai-nilai kearifan, sebagai kontrol menghadapi “budaya
baru” yang lahir dari era digitalisasi-modernisasi dewasa ini. Kearifan lokal
inilah yang sebenarnya juga mempunyai spirit dalam menciptakan manusia yang
bijak menyikapi kehidupan.
Dalam
keterkaitan ini, pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia merupakan
institusi yang lahir dari, oleh dan untuk masyarakat, khususnya masyarakat
pedesaan. Manajemen pendidikan full day school yang ada di dalam
pesantren banyak diilhami oleh lembaga pendidikan di Indonesia. Tentunya ini
tidak lepas dari nilai pendidikan lokal yang menjadi warisan para pendahulu,
seperti nilai yang terkandung dalam sistem pembelajaran sorogan
(individual) dan wetonan (kolektif), yang di dalamnya memuat nilai ashlah
yang pada akhirnya akan membentuk mental dan keperibadian santri—sebagai pelajar
di pesantren. Dalam pada itu, pesantren juga memiliki nilai-nilai universal
keagamaan semisal zuhud, wara’, tawakkal, sabar, tawadhu’, ikhlas dan
sebagainya.
Nilai-nilai
pendidikan pesantren semacam ini (baca: lokalitas pendidikan), jika melihat dari
sistem pendidikan yang diterapkan di Annuqayah, setidaknya dapat
diaktualisasikan pada era digitalisasi untuk dijadikan acuan. Sebab, pendidikan
pesantren (utamanya pesantren yang beridentitas semimodern semacam Annuqayah)
ternyata masih memegang teguh nilai-nilai pendidikan berkearifan lokal,
walaupun pada sistem pendidikan formalnya mengadopsi sistem pendidikan modern.[4]
Jargon
‘menjaga nilai tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih
baik’ yang diterapkan di berbagai pesantren semimodern, memang sangat pas jika
dihadapkan pada persoalan zaman yang kian “barbar” ini. Sebab, jargon uni
merupakan spirit di mana warisan “kekayaan pendahulu” yang bernilai ashlah
masih tetap dipertahankan, untuk kemudian disejajarkan kedudukannya dengan
“paham baru” yang diadopsi dari perkembangan zaman, dengan tetap bijak
menyikapi perubahan sebagai konsekuensinya.
Akan
tetapi belakangan muncul kekhwatiran dari para pengelola lembaga pendidikan
pesantren akan pudarnya nilai kearifan lokal yang diwariskan oleh para
pendahulu. Kekhawatiran ini muncul seiring kebijakan pemerintah Departemen
Agama (Depag) bahwa sistem maupun kurikulum sekolah (wabilkhusus sekolah
yang berbasis di pesantren) akan disamabentukkan dengan sistem pendidikan
nasional. Konsekuensi dari ini, pesantren tentunya tidak jauh berbeda dengan
lembaga pendidikan pada umumnya, walaupun dalam beberapa hal masih sedikit ada
perbedaan. Akan tetapi, kekhawatiran ini tentu menjadi tanda bahwa nilai-nilai
pendidikan pesantren (khususnya yang bersifat lokal) akan tergerus.
Lebih
dari itu, era digitalisasi sebagai spirit globalisasi-modernisasi seakan
bertentangan atau bahkan “dipertentangkan” dengan nilai-nilai lokal, yang pada
orientasinya akan mereduksi kekayaan lokal. Di satu sisi, era digitalisasi
dianggap akan memberikan kontribusi bagi kemajuan manajemen pendidikan
(pesantren) yang mengarah pada hal yang bersifat progress. Tetapi di
sisi lain, dengan spirit demikian pada akhirnya akan menggerus nilai lokal,
berupa tidak terikatnya pesantren pada figur kyai sebagai tokoh sentral seperti
yang terjadi di pesantren modern,[5] misalnya. Jika tidak ada upaya
pengintegrasian kedua cara pandang ini, pada gilirannya akan menciptakan
konflik intern sehingga akan mengancam eksistensi pendidikan pesantren itu
sendiri.
C. Aktualisasi Nilai Pendidikan
Pesantren di Era Digital
Di
sinilah pentingnya kita mengaktualisasi nilai-nilai (berkearifan lokal)
pendidikan yang terkandung dalam pesantren untuk kemudian dikontekstualisasikan
pada berbagai dinamika zaman. Pengaktualisasian ini secara umum berorientasi
pada pengintegrasian kedua cara pandang di atas, sehingga dapat mengaktualisasi
nilai-nilai kearifan lokal, demi menyelematkan nilai pendidikan pesantren di
era digitalisasi. Upaya ini juga bertujuan bagaimana pesantren dapat menjadi
wahana “perdamaian” antara nilai: lokalitas dan modernitas, tentunya dengan
terus bersikap kritis, selektif, dan arif terhadap berbagai perkembangan.
Oleh
karena itu, tawaran qaidah al-muhafadzatu ala al-qadiimisshalih wal akhdzu
bil jadiidil ashlah (menjaga nilai tradisi lama yang baik dan mengambil
tradisi baru yang lebih baik), setidaknya ada dua misi penting. Pertama,
pelestarian nilai (lokal) yang terefleksi dalam tradisi intelektual pesantren.
Dalam perspektif ini, sebagaimana menurut Fathorrahman Hasbul ketika mengutip
gagasan Gus Dur yang dikutip Abdurrahman Mas’ud MA, Ph. D, pelajaran yang
ditawarkan dalam pendidikan pesantren berupa literatur universal yang
dipelihara dan ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikut, langsung
berkaitan dengan konsep unik kepemimpinan kyai. [6] Kandungan yang ada dalam kitab
turats atau kitab kuno (dilihat dari perspektif modern) harus dapat
memberikan kesinambungan bagi the right tradition atau al-qadim
as-shalih.
Kedua, mengadopsi nilai baru yang dapat
berkontribusi bagi mineset yang terefleksi dalam way of life
pesantren ke depan. Ini penting dilakukan agar pesantren tidak melulu
diklaim sebagai pendidikan tradisional, konservatif, kumuh, karena telah
berhadapan, baik secara langsung atau tidak, dengan era digitalisasi. Tentunya
dengan tetap mengaktualisasikan nilai-nilai universal sebagai kekayaan
pesantren sejak dulu. Sehingga dengan demikian, output pesantren tidak
gagap menghadapi perkembangan zaman yang tak bisa dibendung ini.
Kedua misi di atas, diharapkan dapat
dijadikan sebagai pijakan untuk pesantren dalam melangkah menempuh era
digitalisasi yang kini tengah dihadapi. Supaya pasantren nantinya tetap menjadi
“pioner” pendidikan di tengah maraknya komersialisasi dan digitalisasi
pendidikan di Indonesia.
D. Penutup
Dari deskripsi logis di atas, perkembangan era digitalisasi dewasa ini memaksa
manusia mempunyai cara pandang instan. Ketergantungan kepada teknologi secara
berlebihan ternyata telah menjadikan manusia sebagai masyarakat bisu (silent
society). Pesantren yang pada mulanya merupakan lembaga pendidikan
keagamaan yang lahir dari, oleh dan untuk masyarakat, utamanya masyarakat
pedesaan, kini harus bersiap diri untuk ikut berperan aktif dalam perubahan.
Perngaktualisasian nilai pendidikan pesantren menjadi solusi alternatif,
sehingga nilai-nilai universal pendidikan pesantren dapat terselamatkan dari
gempuran era digitalisasi kini.
Akhirnya,
tulisan ini semoga tidak dianggap mendoktrin pesantren secara besar-besaran,
tetapi hanya sebagai upaya merekonstruksi menuju pesantren masa depan. Wallahu
A’lam bisshawab.
[1]
Globalisasi adalah sebuah istilah yang lahir dari dinamika international yang
mengindikasikan adanya integrasi secara global dalam bidang ekonomi,
pendidikan, budaya dan politik (lihat: Andi Widjajanto, Transnasionalisasi
Masyarakat Sipil, (Yogyakarta: 2007), hal. 01
[2]
Ibid. hal. 06
[3]
Untuk memahami konsep manusia tergantung sebagai masyarakat bisu (silent
society), dapat dilihat dalam: Paulo Freire, The Politic of Education:
Cultur, Power, and Liberation, (Yogyakarta: 2007), hal. 132
[4]
Lebih jelas, lihat: Hamdan Farchan dan Syarifuddin, Titik Tengkar Pesantren;
Resolusi Konflik Masyarakat Pesantren, (Yogyakarta: 2005), hal. 02
[5]
Pesantren modern biasanya mempunyai ciri-ciri, antara lain; (1) memiliki
manajemen dan administrasi dengan standar modern; (2) tidak terikat pada
figur kyai sebagai tokoh sentral; (3) pola dan sistem pendidikan modern
dengan kurikulum tidak hanya ilmu agama tetapi juga pengetahuan umum; (4)
sarana dan bentuk bangunan pesantren lebih mapan dan teratur, permanen dan
berpagar. Untuk mengetahui lebih luas lihat: Hamdan Farchan dan Syarifuddin,
Titik Tengkar Pesantren……………hal. 01
[6]
Dikutip secara bebas dari makalah: Fathorrahman Hasbul, Reaktualisasi
Dinamika Pesantren Di Era Modernitas (Rekonstruksi Membangun Pesantren Masa
Depan) tahun 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar