A.
Pengantar
Pesantren disinyalir sebagai lembaga pendidikan Islam tertua
di Indonesia. Sejak Walisongo membawa peradaban Islam ke tanah Jawa, pesantren
mulai dikenal dengan lembaga pendidikan yang dinilai unik. Keunikan itu
tergambar dari sistem pembelajaran atau pendidikan yang menerapkan manajemen full
day school. Sehingga tak salah jika pesantren diakui sebagai lembaga
pendidikan yang paling sukses mencetak kader-kader bangsa yang kompeten, bukan
hanya di bidang ilmu keagamaan, tetapi pesantren juga melahirkan kader bangsa
yang mempunyai waasan kontemporer dan menjadi penggerak bangsa.
Tak jauh berbeda dengan Pondok Pesantren Annuqayah.
Pesantren Annuqayah adalah lembaga pendidikan Islam yang berdiri sejak tahun
1887. Annuqayah didirikan oleh seorang musyafir yang bernama Kyai Haji Mohammad
Syarqowi.[1]
Pada awal berdirinya, lembaga ini hanya berbentuk “surau” bagi masyarakat
Guluk-Guluk tempat buahhati para orangtua (baca: anak muda) belajar ngaji.
Akan tetapi, dari tahun ke tahun dan dalam perkembangannya, Pesantren Annuqayah
berkembang dengan pesat seiring dengan kebutuhan masyarakat sekitar
Guluk-Guluk—yang pada saat itu mendesak para pendiri—untuk mendirikan sebuah
pesantren. Sehingga, pada itulah Pesantren Annuqayah berdiri.
Sebagai lembaga pendidikan Islam yang diakui salahsatu
lembaga pendidikan terbesar di Madura, Pesantren Annuqayah memiliki karakter
unik. Hal itu terbukti dengan banyaknya lembaga pendidikan formal[2]
dan non-formal yang ada di Annuqayah. Sebut saja seperti Madrasah Tsanawiyah 1
Annuqayah (MTs), Madrasah Aliyah 1 Annuqayah (MA), SMA 1 Annuqayah, dan SMK
Annuqayah. sehingga tak pelak, banyaknya lembaga pendidikan formal di Annuqayah
memberikan kontribusi urgen bagi pengembangan pengetahuan seluruh santri
Annuqayah.
Akan tetapi, sebagai lembaga pendidikan yang mempunyai
karakteristik keagamaislaman, Pesantren Annuqayah juga dihadapkan pada
persoalan tidak jelasnya identitas. Banyak kalangan, terutama dari pihak
Pesantren Annuqayah sendiri, mempersoalkan tidak jelasnya identitas. Pasalnya,
pesantren yang dihuni 4431 santri[3]
ini tidak jelas, apakah identitas pendidikannya tradisionalis ataukah
pendidikan modernis. Sehingga, hal ini akan berdampak pada santri Annuqayah
sendiri.
Setidaknya ada beberapa dampak yang akan dialami oleh santri
dan siswa ketika dihadapkan pada persoalan tidak jelasnya identitas pendidikan
Annuqayah: pertama, lemahnya santri dalam menguasai suatu materi ajar.
Hal ini diketahui ketika santri dihadapkan pada banyaknya materi ajar, sehingga
mereka merasakan kebingungan akan menggeluti pelajaran yang mana.
Kedua,
output pendidikan yang tidak mempunyai tujuan jelas. Ini
dilatarbelakangi karena ketika santri sudah keluar dari pesantren menjadi
alumni, santri cenderung kebingungan dalam menentukan orientasinya.
Kedua dampak di atas, pada akhirnya akan memberikan “stigma
miring” ketika dihadapkan pada identitas santri itu sendiri. Karena walau
bagaimanapun, sistem pembelajaran yang pada identitasnya tidak jelas, akan
mempengaruhi pola pikir objek (yang pada waktu bersamaan juga menjadi subjek)
pengajaran dari lembaga pendidikan itu sendiri.
Tulisan ini mencoba mengurai “benang merah” mengenai
bagaimanakah sebenarnya identitas pendidikan dan pengajaran yang ada di
Annuqayah. Sehingga, melalui gagasan yang sederhana ini, penulis bisa berharap
dapat mempertegas pendidikan ala Annuqayah.
B.
Dua Sistem Pendidikan di Annuqayah
Pada beberapa dasawarsa terakhir, Annuqayah mengalami
perkembangan. Annuqayah mulai terbuka pada berbagai aspek dinamika “jaman baru”
yang dinamai modernisasi. Sebab, modernisasi mempunyai dampak luar biasa bagi
masyarakat Madura, sehingga Annuqayah harus “berbenah diri” menuju “manajemen
progresif” menghadapi berbagai kemungkinan yang akan ditimbulkan oleh
modernisasi. Dapat ditebak, Pesantren Annuqayah telah melakukan reformasi
metodologi pendidikan.[4]
Dari yang asalnya beridentitas tradisionalis berganti menjadi
tradisionalis-modernis. Artinya, Annuqayah, pada metode pengajarannya, bukan
hanya mempertahankan sistem pengajaran sorogan (individual) dan wetonan
(kolektif) yang merupakan ciri pendidikan tradisionalis, tetapi juga menerima
sistem pendidikan modern seperti sistem pengajaram “dialogis-dinamis-progresif”
yang berlangsung di sekolah formal. Sehingga, Annuqayah saat ini mempunyai dua
sistem pendidikan, yakni sistem pendidikan tradisional dan sistem pendidikan
modern.
Dengan kedua sistem pengajaran dan pendidikan demikian,
Annuqayah hingga kini tetap berlangsung. Keberlangsungan itulah sebenarnya
merupakan tanda yang pada akhirnya akan menegaskan identitas pendidikan di
Annuqayah. Akan tetapi, seperti dijelaskan di awal tulisan ini, bahwa
pembelajaran bermodel dua sistem itu kini banyak diresahkan oleh elemen
di Annuqayah, karena ketidakjelasan identitas. Tentu persoalan ini
merupakan persoalan akut yang telah lama “menggenang” di Annuqayah sendiri,
karena dapat berakibat pada santri dan siswa di Annuqayah.
Sehingga, persoalan itu harus diselesaikan dengan menegaskan
kembali identitas pendidikan Annuqayah. Upaya ini dilakukan (sebisa mungkin)
dengan mencoba membumikan spirit Aswaja (Ahlussunnah wal Jama’ah).
Sebab, Aswaja sendiri merupakan ideologi Pesantren Annuqayah yang hingga kini
masih menjadi acuan bahkan menjadi “kitab petunjuk” dalam menentukan langkah
Annuqayah ke depan.
C. Aswaja sebagai Ideologi dan Identitas
Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) merupakan aliran (firqah) Islam yang muncul
pada ketika berakhirnya kepemimpinan Rasulullah Saw. yang kemudian dilanjutkan
oleh periode Khulafah Al-Rasyidin (Abu Bakar R.a., Umar R.a., Utsman
R.a., dan Ali K.w.). Aliran ini merupkan jalan tengah (wasath) bagi
kedua paham, yakni faham Qadariyah (yang percaya bahwa manusia mempunyai
otoritas penuh atas dirinya sendiri dan menghilangkan kuasa Tuhan atas diri
manusia) dan faham Jabariyah (yang I’tikadnya berlawanan dengan Qadariyah).[5]
Aswaja mulai dikembangkan oleh ‘Alimul ‘Allamah Abu Hasan Al-Asya’ari
(260-324 H) dan Abu Mansur Al-Maturidi (w. 333 H).[6]
Karena memang, kedua ulama itu mempunyai kapasitas intelektual di bidang Ushuluddin
dan mempunyai perhatian khusus terhadap kondisi sosio-kultur masyarakat.
Sehingga, Aswaja menjadi ideologi bahkan madzhab yang dalam
praktiknya menjadi mudah dan tidak njelimet. Mungkin inilah yang menjadi
alasan kenapa Annuqayah berkiblat pada Aswaja.
Prinsip yang menegaskan karakter yang berhaluan Aswaja
hingga kini tetap merupakan spirit bagi keberlangsungan pendidikan Annuqayah.
Prinsip tersebut antara lain adalah: pertama, ta’addul (equal),
bersikap adil dalam menentukan dan memutuskan sesuatu.
Kedua, tasamuh (tolerance), toleran terhadap
berbagai kemungkinan yang akan terjadi dalam mengawal modernitas dengan segala
tetek-bengeknya. Ketiga, tawasuth, moderat.
Keempat, tawaazun (balance), berpikir dan bersikap
seimbang, tidak lantas “mencemooh” perbedaan yang ada, berupaya mencari
format terbaik dalam menjalankan dan menentukan sesuatu. Tak salah jika
kemudian Annuqayah meletakkan Aswaja sebagai dasar sejak masa berdirinya oleh
KH. Mohammad Syarqowi dahulu, sampai masa berkembangnya.
Lantas, jika dihadapkan pada persoalan tidak jelasnya
identitas pendidikan dan pengajaran di Annuqayah—karena (seakan) ada
percampurbauran antara sistem pendidikan modern dan tradisional, maka prinsip tawaazun
menjadi solusi tepat demi menegaskan kembali identitas pendidikan di Annuqayah.
Sebab, prinsip tersebut pada praktiknya merupakan salah satu identitas bagi
Annuqayah yang menjadi acuan hingga kini.
Di sinilah perlu dijelaskan tentang implementasi tawaazun
dalam menegaskan identitas pendidikan Annuqayah. Yakni, dengan berkiblat pada
qaidah al-muhafadzatu ala al-qadimis shalih wal akhdzu bi al-jadiidil ashlah
(menjaga tradisi atau budaya lama yang baik dan mengambil tradisi atau budaya
baru yang lebih baik). Qaidah itu setidaknya merupakan spirit bagi pengembangan
Annuqayah kini dan masa depan. Ternyata betul, ketika kita melihat perkembangan
Annuqayah saat ini, kita akan dipertemukan dengan realitas bahwa Annuqayah
mempunyai sistem pendidikan tradisionalis dan sistem pendidikan modernis.
Antara kedua sistem pendidikan itu, Annuqayah telah
mengamalkan tawaazun dan telah menegaskan prinsipnya, yakni “prinsip
keseimbangan”. Prinsip keseimbangan merupakan spirit di mana Annuqayah mencoba
memadukan kedua sistem pendidikan, yaitu dengan mempertahankan “titipan” dari
para pendahulu dan mengembangkan pendidikan modern yang merupakan “produksi”
para generasi muda di Annuqayah.
Setidaknya, ada beberapa alasan kenapa penulis meletakkan tawaazun
sebagai metode yang mampu menegaskan identitas pendidikan Annuqayah.
Pertama, sebuah institusi pendidikan, baik secara kualitas
maupun kuantitas, harus mampu menunjukkan eksistensinya dan sumbangsihnya
kepada masyarakat di tengah kemajuan yang dicapai oleh dinamika zaman. Sebab,
dengan adanya perkembangan zaman yang kian kompleks, Annuqayah setidaknya juga
harus ikut andil. Jika tidak, sama saja Annuqayah “memenjarakan diri” dan tidak
mau menatap perkembangan dan pembangunan modern. Maka, adalah keharusan jika
berbagai upaya dilakukan Annuqayah. Salah satunya adalah dengan “menginvestasi”
kekayaan modern berupa masuknya teknologi—sebagai salah satu trend
modernisme.
Contoh kecilnya seperti di Madrasah Aliyah 1 Annuqayah (MA 1
A). MA 1 A, awalnya memang merupakan lembaga pendidikan formal yang mempunyai basic
sistem pendidikan berkarakter “posttradisionalis”—dalam istilahnya penulis.
Sistem pendidikan posttradisionalis merupakan sistem pendidikan yang dalam
pengajarannya tidak lepas dari karakter pendidikan modern pada tahap awal,
tetapi dari segi kelengkapan fasilitas masih mengalami krisis. Pada dasawarsa
terakhir ini, MA 1 A mulai mengembangkan sistem pendidikan yang menggunakan
teknologi sebagai basis pendidikan modern. Bahkan, kini MA 1 A merupakan
satu-satunya lembaga swasta di Annuqayah yang (dapat dikatakan) memiliki
kualitas lebih di bidang IPTEK. Terbukti pada tahun ini, MA 1 A meraih
akreditasi A dan membuka jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dengan
beroprasinya Laboratorium IPA.
Kedua, mempertahankan “kekayaan lama”[7]
di Annuqayah yang tentu bernilai ashlah sebagai media kontrol. Hal ini
dimaksudkan agar Pesantren Annuqayah memiliki identitas sebagai lembaga
pendidikan yang masih berkiblat pada ajaran Islam dan lebih mementingkan
keagamaan serta mempunyai pegangan. Jika kemudian Annuqayah mampu
mempertahankan tradisi dan kekayaan yang diwariskan oleh para pendirinya
sebagai pijakan dalam mengambil budaya baru, maka Annuqayah akan bisa menjadi
lembaga pendidikan berkarakter yang mampu dipertanggungjawabkan kualitas
(keilmuan)-nya.
Contohnya seperti lembaga Madrasah Aliyah Tahfidz (MAT). MAT
merupakan lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan Yayasan Annuqayah.
MAT eksis dengan karakter keagamaan yang ditandai dengan mendominasinya ilmu agama.
Tak salah jika MAT bertujuan untuk membentuk santri yang memiliki kualitas
keilmuan di bidang keagamaan. Salah satunya adalah dengan membekali kemampuan
membaca kitab Turats dan menghafal Al-Qur’an.
Kedua alasan dan contoh di atas setidaknya telah menegaskan
bahwa pesantren Annuqayah memiliki identitas “jelas” sebagai lembaga pendidikan
Islam yang berupaya mengembangkan potensi santri di berbagai bidang, sesuai
dengan bakat dan minat masing-masing santri atau siswa. Sejalan dengan apa yang
dijelaskan oleh Drs. KH. A. Warits Ilyas (pengasuh Pondok Pesantren Annuqayah
Lubangsa) bahwa, Annuqayah merupakan “ladang”, tempat di mana segala potensi
dapat disemai hingga bisa dipetik hasilnya.
D.
“Semi Modern” sebagai Identitas
Pendidikan Annuqayah
Dalam suatu kesempatan berbeda, ketika mengikuti proses
Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) yang berlangsung di kelas (21/02), penulis
pernah menyimak apa yang dijelaskan oleh K. M. Mushthafa (salah seorang guru
Etika di MA 1 Annuqayah). Beliau menjelaskan bahwa, hakikat pendidikan
sebenarnya pada akhirnya berorientasi “nilai”. Ada nilai yang harus
dipertahankan dan ada nilai yang harus dikembangkan. Begitupun di Pesantren
Annuqayah. Lembaga pendidikan yang mempunyai dua sistem pendidikan semisal
Annuqayah, sebenarnya bukan tidak memiliki identitas yang jelas. Justru dengan
kedua sistem itulah Annuqayah mampu menegaskan identitasnya sebagai lembaga
pendidikan Islam yang progresif dan mempunyai komitmen dalam membentuk santri
yang ideal dan bisa berguna, kelak ketika terjun di masyarakat. Tak salah jika
tujuan Annuqayah secara umum adalah “lahirnya generasi abdullah yang
bertakwa, mutafaqqih fiddin, berilmu luas dan menjadi mundzirul qaum.”
Tentang identitas pendidikan Annuqayah sebenarnya tidak
perlu dipertanyakan lagi. Yakni, dengan dasar Islam Ahlussunnah wal Jama’ah
dan dengan visi keilmuan bahwa, “Pondok Pesantren Annuqayah tidak mendikotomi
‘ilmu agama’ dan ‘ilmu umum’, tetapi semua ilmu adalah dari Allah SWT”—seperti
yang ditulis dalam buku Profil Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk
Sumenep Madura.[8]
Dengan inilah, jika penulis boleh tegaskan, pendidikan
Annuqayah beridentitas “semi modern”. Semi modern merupakan sebuah fase di mana
seluruh upaya yang telah dilakukan mengalami perkembangan dan mencoba
terus-menerus dikembangkannya. Sehingga, sistem pendidikan pesantren semi
modern (semisal di Annuqayah) adalah sebah upaya untuk mengimbangi antara
pendidikan tradisional (yang bergerak di bidang pertahanan sekaligus pemupukan
moral-spiritual peserta didik) dan pendidikan modern (yang bergerak di bidang
pengembangan peserta didik agar bisa berperan di tengah kompleksitas
perkembangan zaman).
Model semacam inilah yang kini menjadi identitas pendidikan
Annuqayah. sebuah model di mana tidak hanya terpaku pada satu disiplin
ilmu saja. Tetapi, lebih pada pengembangan potensi sesuai dengan minat dan
bakat peserta didik. Sehingga wajar jika banyak kegiatan yang terdapat pada semua
lembaga pendidikan di Pondok Pesantren Annuqayah. Salah satunya adalah kegiatan
sanggar (semisal Sanggar Andalas), komunitas penulis (misal Kelompok Ilmiah
Santri/KIS), kegiatan kepramukaan, dan kegiatan organisasi, baik organisasi
semacam OSIS (yang terdapat pada lembaga pendidikan formal) maupun
ORDA/Organisasi Daerah (yang terdapat di lembaga pesantren).
Setidaknya, ada beberapa hal yang menjadi tujuan pendidikan
semi modern di Annuqayah. pertama, membentuk pribadi santri dan siswa
yang berwawasan ilmu keagamaan (tafaqqahu fiddin) sebagai bekal ketika
terjun ke masyarakat. Hal ini dianggap penting karena sebagai seorang santri,
seyogianya harus faham terhadap persoalan agama yang ada di masyarakat.
Tentunya dengan mengacu pada ideologi Aswaja sebagai dasar pendidikan di
Annuqayah.
Kedua,
membentuk pribadi santri dan siswa yang siap menghadapi berbagai tantangan
globalisasi-modernisasi. Upaya ini dapat dilihat dari lembaga pendidikan formal
yang sudah membuka jurusan IPA berbasis teknologi dan ilmu alam. Semisal di SMA
Annuqayah dan MA 1 Annuqayah. Sehingga, dengan pengelolaan yang cukup baik,
peserta didik (wabil khusus santri) diajak untuk memahami ilmu alam dan mencoba
melakukan penelitian dan pengasahan produktivitas di bidang Ilmu Alam.
Ketiga,
membentuk santri dan siswa yang mempunyai keterampilan atau skill
tertentu. Hal ini ditandai dengan adanya kegiatan-kegiatan yang beragam (mulai
dari seni, sastra, organisasi, KIR sampai pada kepramukaan) yang ada di
Annuqayah. sistem pendidikan semi modern memiliki indikasi bahwa peserta didik
dituntut untuk bebas dalam memilih dan menentukan bidang studi yang mereka
minati. Sebab, dengan cara inilah peserta didik akan mampu fokus pada bidang
studi yang ingin mereka kembangkan, yakni dengan bebas memilih. Peserta didik
yang bebas menentukan dan memilih bidang studi tertentu sesuai dengan minat dan
bakatnya, akan berbeda hasilnya daripada peserta didik yang cenderung
“didorong” dan “dipaksa” untuk menggeluti bidang studi yang (bisa saja) tidak
mereka minati.
Keempat,
menciptakan santri dan siswa yang berhaluan Ahlussunnah wal Jama’ah
(Aswaja) dan berpegang pada ajaran dan syariat Islam.[9]
Nah, di sinilah sebenarnya nilai penting yang mampu menegaskan identitas
pendidikan Annuqayah. Peserta didik (khususnya santri) dituntut untuk bisa
mengaplikasikan keilmuannya dengan berpedoman pada nilai-nilai yang terkandung
di dalam Aswaja—yang merepresentasikan prinsip dalam bersikap adil (ta’adul/equal),
toleran (tasamuh/tolerance), dan moderat (tawassuth/moderat),
serta berpikir dan bersikap seimbang (tawaazun/balance). Sebab, ini pada
akhirnya akan berindikasi pada terbentuknya peserta didik (baik santri maupun
siswa) Annuqayah yang memiliki kemampuan memadai sebagai khalifah fi al-ardh
yang berilmu dan berwawasan luas serta bisa menjadi mundzirul qaum—seperti
cita-cita pengasuh Annuqayah. Sehingga, Annuqayah pada prinsipnya akan
menegaskan identitas dan karakter pendidikan semi modern yang hingga kini
berlangsung di Annuqayah.
Dengan ke empat tujuan inilah, setidaknya pendidikan semi
modern ala Annuqayah dapat menemukan irama permainan terbaiknya. Demi mengawal
modernitas, melalui sistem pendidikan semi modern, Annuqayah dapat menjadi institution
power of quotien di tengah-tengah masyarakat sebagai lembaga pendidikan
yang tidak mendikotomi “ilmu agama” dan “ilmu umum”. Sehingga, dengan metode
pendidikan semi modern, santri dan siswa Annuqayah mampu berperan di tengah
terjangan arus globalisasi-modernisasi. Semoga! Wallahu a’lam bisshawab
*tuisan ini diikutkan pada Lomba Menulis Artikel
yang diadakan oleh Panitia Pekan Raya Ilmiyah Perpustakaan MA 1 Annuqayah, dan
berhasil meraih Juara II dalam lomba tersebut
[1] KH.
Mohammad Syarqowi berasal dari Kudus, Jawa Tengah, merantau ke Mekkah untuk
menuntut ilmu agama. Beliau bersahabat dengan salah seorang mukimin dari Parenduan,
Madura yang saat itu bersama istrinya. Tapi, selang beberapa saat, mukimin itu
meninggal dan KH. Syarqowi diamanatkan untuk menikahi istri mukimin itu.
Sehingga, KH. Syarqowi tinggal di Madura.
[2] Lembaga
pendidikan formal adalah institusi pendidikan yang dalam sistemnya mengacu pada
kebijakan pemerintah. Dalam hal ini, pemerintah pendidikan Nasional
(Kemendiknas) dan pemerintah agama (Depag). Berbeda dengan pendidikan
non-formal yang dalam sistemnya dibentuk melalui kebijakan dari stakeholders
dalam lembaga pendidikan itu sendiri, tidak mengacu pada kebijakan pemerintah
seperti pendidikan formal.
[3] Data
jumlah santri ini berdasar pada Update data PP Annuqayah pada tahun
pelajaran 1430-1431/1009-2010. Sedangkan berdasar tahun 2009 tentang jumlah
siswa Annuqayah yaitu sebanyak 6323 (lihat: Profil Pondok Pesantren
Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep Madura, Pusat Data PP. Annuqayah: 2010), hal.
03
[4] Reformasi
metodologi pendidikan ini juga didasarkan pada kebutuhan masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Salah satu yang nampak di Annuqayah adalah dengan
diadakannya Biro Pengembangan Masyarakat (BPM) yang pada tahun ini dikelola
oleh K. M. Zamiel Muttaqin dan Panji Taufiq. Lihat juga: Abd. A’la, Melampaui
Dialog Agama, (Jakarta: 2002), hal. 123
[6]
Pengembangan ini ditandai dengan adanya pemaduan antara dalil ‘aqli dan
dalil naqli. Ibid., hal. 25
[7] Kekayaan
lama merupakan potensi Annuqayah yang sejak dulu sudah tertanam kuat dan
menjadi akar sejarah bagi perkembangan pendidikan Annuqayah. Contohnya di sini
adalah sistem pendidikan tradisional yang ditandai dengan “kitab kuning” atau kitab
turats sebagai karakter dan identitas bagi pesantren Annuqayah
[8] Lebih
jelas, tuntaskan pada Profil Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep
Madura, (Pusat Data Pondok Pesantren Annuqayah: 2010), hal.-
[9] Aswaja
mempunyai acuan utama dalam hal keilmuan, baik di bidang Fiqih, Tauhid maupun
Tashawwuf. Di bidang Tauhid mengacu pada Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur
Al-Maturidi. Di bidang Fiqih mengacu pada Madzhabul Ar-Ba’ah, yaitu Imam
Syafi’ie, Hanafi, Hambali dan Maliki. Sedangkan Tashawwufnya mengacu pada
konsep-konsep Tashawwufnya Hujjatul Islam Al-Imam Al-Ghazaly dan Imam
Juneid Al-Baghdady. (lebih jelas, tuntuskan pada: makalah berjudul Mengenal
Warna Aswaja PMII: 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar