A. Pengantar
Akhir semester dua ini, ketika
salah seorang dosen mata kuliah Pengantar Ilmu Politik (Ibu Wahidah Br.
Siregar) memberikan kuliah terakhirnya di kelas, penulis dicengangkan oleh
ceritanya. Beliau bercerita tentang pengalamannya mengisi kuliah umum di Washington
DC, AS. Salah seorang rekannya dari manca-Negara bertanya kepada beliau, “kenapa
di negaramu selalu mengedepankan perbedaan (dengan adanya semboyan “Bhinneka Tunggal
Ika” = walaupun berbeda, tapi tetap satu)? Bukankah itu yang memicu adanya
masalah kebangsaan seperti konflik suku, agama, dan ras?”. Lantas, beliau
berpikir, “iya, ya. Kenapa harus
perbedaan yang dikedepankan? Kenapa tidak dengan semboyan ‘kita tetap satu,
walaupun berbeda’?”.
Cerita ini membuat penulis
berpikir kembali tentang bangsa yang multikultural ini. Bangsa yang terdiri
dari banyak suku, banyak agama, dan terdiri dari berbagai ras selama ini telah
menjadi karakter Indonesia. Dengan identitas Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI), bangsa ini telah berdiri dengan segala karakter dan khazanah lokal yang
ada di dalamnya. Termasuk juga masyarakat yang memiliki corak dan warna yang
berbeda-beda.
Persoalan yang paling krusial
belakangan ini adalah merebaknya konflik dan kekerasan yang berkedok suku,
agama, dan ras (selanjutnya disingkat menjadi SARA). Tentu, konflik dan
kekerasan menjadi salah satu masalah (selain masalah politik dan hukum) yang
sangat diperhitungkan dan berada pada wilayah yang sensitif bagi masyarakat
kita.
Ada sebagian kalangan
menganggap bahwa multikulturalitas sebagai pemicu adanya konflik dan kekerasan
yang berbatu SARA. Multikulturalitas sebagai realitas sosial masyarakat kita
seakan-akan telah menjadi masalah yang bahkan oleh berbagai kalangan dipandang
sebagai suatu realitas sosial yang perlu dihilangkan. Ini terlihat dari
banyaknya sikap organisasi masyarakat yang menginginkan bangsa ini harus
terdiri dari satu suku, satu ras, dan bahkan yang paling gencar adalah harus
terdiri dari satu agama.
Menurut hemat penulis, paham
demikian sebenarnya merupakan paham yang pada akhirnya akan menjadi masalah
baru yang dialami oleh bangsa kita. Mereka cenderung tidak menerima perbedaan,
karena perbedaan dianggap sebagai sesuatu yang akan memicu lahirnya konflik dan
kekerasan.
Lantas, apakah yang
melatarbelakangi adanya paham demikian? Benarkah bahwa realitas masyarakat yang
multikultural menjadi pemicu lahirnya konflik dan kekerasan? Bagaimanakah sikap
kita sebagai warga negara menyikapi multikulturalitas sebagai karakter bangas
Indonesia ini?
B. Problem
Kebangsaan
Ketika kita mencoba menelaah
kembali, persoalan krusial yang mendera bangsa kita adalah fenomena konflik dan
kekerasan yang belakangan terjadi. Konflik dan kekerasan jika kemudian terus
berlanjut, pada akhirnya akan memorakporandakan keutuhan NKRI. Ini tak bisa
dipungkiri, sebab realitas yang terjadi memang demikian. Pasalnya, ada banyak
kasus yang membuktikan adanya ancaman bagi keutuhan bangsa kita.
Konflik-konflik berujung
kekerasan yang terjadi di Indonesia pada umumnya adalah akibat dari keanekaragaman
suku, agama dan ras yang tidak dapat duduk berdampingan. Contoh yang paling
sering kita dengar adalah seperti konflik dan kekerasan yang terjadi di
Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah (Poso) dan Papua. Bahkan,
belakangan ini juga kita mendengar konflik berbau agama yang terjadi di Madura,
konflik dan kekersan yang terjadi di Lampung Selatan dan Sulawesi Tengah,
kemudian disusul dengan konflik dan kekerasan yang terjadi di Flores Timur,
NTT.
Salah
satu contoh konflik yang terjadi di Kalimantan Barat adalah adanya kesenjangan
perlakuan aparat birokrasi dan hukum terhadap suku asli Dayak dan suku Madura,
sehingga menimbulkan kekecewaan yang mendalam, khususnya bagi masyarakat Dayak.
Masyarakat Dayak yang termarginalisasi semakin terpinggirkan oleh
kebijakan-kebijakan yang diskriminatif. Sedangkan pada sisi penegakan hukum
terhadap salah satu kelompok, tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Sementara
di Poso, Sulawesi Tengah, konflik dan kekerasan berbau SARA mula-mula terjadi
pada tanggal 24 Desember 1998 yang dipicu oleh seorang pemuda Kristen yang
mabuk melukai seorang pemuda Islam di dalam Masjid Sayo. Kemudian pada pertengahan
April 2000, terjadi lagi konflik yang dipicu oleh perkelahian antara pemuda
Kristen yang mabuk dengan pemuda Islam di terminal bus Kota Poso. Perkelahian
ini menyebabkan terbakarnya permukiman orang Pamona di Kelurahan Lambogia.
Selanjutnya, permukiman Kristen melakukan tindakan balasan. Sehingga, banyak
persepsi seorang menyebut bahwa konflik dan kekerasan yang timbul adalah
dilatarbelakangi adanya unsur SARA.
Kemudian, belakangan kita
diperdengarkan tentang konflik berbau agama yang terjadi di Madura. Konflik ini
sebenarnya dilatari karena adanya perseteruan dan perselisihan antara individu
yang satu dengan individu lain yang berbeda aliran, sehingga kemudian dianggap
sebagai konflik yang dilatari oleh agama. Pihak yang satu beragama islam Syi’ah
kemudian pihak lainnya beragama islam Sunni. Kedua aliran yang lahir dari satu
agama ini memang memiliki corak yang berbeda dari sisi praktik ritual
keagamaannya. Perbedaan ini lahir karena berbedanya imam atau tokoh (biasanya
disebut syeikh) yang dijadikan panutan oleh kedua belah pihak.
Ketidakcocokan budaya,
karakter, dan tradisi menyebabkan suatu masyarakat dalam lokus tertentu rentan
konflik dan berujung pada tindak kekerasan. Sehingga, tak ayal juga terkadang
membawa agama ke dalam suatu wilayah sensitif, bahkan seringkali dijadikan alat
untuk membenarkan golongan tertentu dan menganggap golongan lainnya adalah
salah. Suatu problematika yang klasik namun anehnya hingga kini masih terjadi.
Sederet persoalan-persoalan
tentang konflik dan kekerasan di atas setidaknya telah membuktikan disintegrasi
bangsa telah berada pada titik menggerahkan. Kita terkadang hanya mengelus dada
ketika melihat dan mendengar ada sebagian masyarakat dari bangsa kita saling
bertengkar, berselisih, dengan menggunakan cara kekerasan dan sejenisnya.
Bahkan yang paling me-miris-kan, kekerasan tersebut dilatari oleh perbedaan
yang dipertentangkan berbau SARA.
C. Realitas
Masyarakat Multikultural Indonesia
Dalam perspektif C.W.
Watson (1998) dalam bukunya Multiculturalism,
masyarakat multikultural membicarakan tentang masyarakat negara, bangsa,
daerah, bahkan lokasi geografis terbatas seperti kota atau sekolah, yang
terdiri atas orang-orang yang memiliki kebudayaan yang berbeda-beda. Sementara bagi
J.S. Furnivall (1967) mendefinisikan masyarakat multikultural sebagai
masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih komunitas (kelompok) yang secara kultural
dan ekonomi terpisah-pisah serta memiliki struktur kelembagaan yang
berbeda-beda satu sama lainnya. Dengan demikian, masyarakat multikultural
merupakan masyarakat yang menempati negara, daerah, bahkan lokasi geografis
tertentu di mana secara kultural dan ekonomi terpisah-pisah dan terdiri dari
banyak struktur budaya yang berbeda-beda.
Dalam konteks Indonesia,
masyarakat multikultural merupakan keniscayaan, karena sejak zaman dahulu
masyarakat Indonesia dikenal dengan masyarakat yang majemuk. Kemajemukan bangsa
indonesia dapat dilihat dari banyaknya perbedaan yang meliputi suku, agama,
ras, bahasa, budaya dan tradisi yang berbeda sebagai realitas masyarakat
Indonesia. Akan tetapi, di samping perbedaan itu Indonesia juga memiliki
persamaan, yakni persamaan hukum, hak milik tanah, persekutuan,
dan kehidupan sosialnya yang berasaskan kekeluargaan.
Inilah
sebenarnya karakter dan identitas yang dimiliki Indonesia, seperti yang termuat
dalam semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang berarti “berbeda-beda tetapi tetap
satu”. Semboyan ini dicetuskan oleh pujangga Mpu Tantular ketika melihat
keanekaragamaan masyarakat yang ada di dalam masyarakat Majapahit. Ia
menuangkan sebuah rumus sosial yang bisa mempersatukan seluruh perbedaan yang
ada di masyarakat waktu itu. Mpu Tantular kemudian belakangan kita ketahui
menulis sebuah kitab bernama Sutasoma yang di dalamnya tertulis Bhinneka
Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa. Karena itu, berdasarkan fakta sejarah yang
kita ketahui telah membuktikan bahwa kehidupan agama di Kerajaan Majapahit
berjalan secara harmonis antara agama Hindu Siwa, Buddha, dan lainnya, bahkan
sampai masuknya agama Islam. Itu juga dibuktikan dengan adanya kebijakan dari
raja Majapahit yang membebaskan raja-raja bawahan di pesisir pantai utara Jawa
untuk memeluk agama Islam.
Kondisi
demikian menjadi gambaran sejarah atas lahirnya masyarakat multikultural
Indonesia sampai saat ini. Akan tetapi, realitas masyarakat multikultural di
Indonesia ternyata tidak selalu berbuah integrasi, seringkali adanya masyarakat
multikultural menyebabkan adanya disintegrasi. Paling banyak yang menjadi
pemicu utama terjadinya disintegrasi bangsa adalah saling mempertentangkan
perbedaan agama dan budaya yang ada di Indonesia, seperti contoh kasus di atas
yang terjadi selama beberapa dasawarsa terakhir ini.
Selain
itu, masalah lain yang menjadi sumber adanya disintegrasi bangsa adalah
sentralisasi pembangunan; seakan-akan yang terlihat hanya dilaksanakan di Pulau
Jawa, sementara daerah-daerah lain kurang mendapat perhatian (utamanya daerah
terpencil yang sulit dijangkau), sehingga memicu kesenjangan dan kecemburuan,
bahkan keinginan memisahkan diri dari NKRI. Dalam persepsi subjektif penulis,
di luar adanya masalah disintegrasi bangsa ini sebenarnya telah terjadi
kekeliruan, yang justeru kekeliruan tersebut berada pada wilayah yang paling
dasar dan mikro, yaitu: “nalar”.
D. Dekonstruksi
Nalar Masyarakat Multikultural
Kembali pada cerita dari dosen penulis
tentang semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” atau “Berbeda-beda, tetapi tetap satu”
di atas. Jika penulis tanggapi, semboyan demikian sebenarnya bukan dimaksudkan
untuk mengutamakan perbedaan daripada persatuan. Redaksi “berbeda-beda, tetapi
tetap satu” adalah sebuah gagasan yang didasarkan pada konteks sejarah di mana
semboyan itu dibuat. Artinya, semboyan Bhinneka Tunggal Ika tidak lain adalah
untuk menggambarkan realitas masyarakat yang multikultural di Indonesia, yang
kemudian disatukan oleh satu bangsa, satu bahasa, yaitu bangsa dan bahasa
Indonesia. Sementara redaksi kata “tetapi tetap satu” bukan untuk diakhirkan,
melainkan dijadikan sebagai penyelesaian atau klimaks dari masyarakat
multikultural (masyarakat yang berbeda-beda).
Gagasan ini sebenarnya terlahir dari
logika pembalikan sebuah makna, atau dengan kata lain memakai “logika
terbalik”. Jika dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang berarti ‘berbeda-beda,
tetapi tetap satu’ memaikai logika induktif, maka perubahan menjadi kalimat
“tetap satu, walaupun berbeda” adalah memakai logika deduktif. Akan tetapi,
kedua proposisi ini sebenarnya memiliki pengertian yang tidak jauh berbeda
alias sama, tetapi yang membedakan adalah konteks dan kondisi sosial dari
masyarakat dari masa ke masa. Jika pada masa Kerajaan Majapahit digambarkan
dengan kerukunan masyarakat multikultural, terutama dalam hal beragama, sementara
munculnya konflik dan kekerasan yang terjadi di berbagai tempat di Indonesia
kini ada perasangka bahwa Indonesia terlalu mengedepankan perbedaan sehingga
melahirkan kegelisahan untuk merubah semboyan Bhinneka Tunggal Ika menjadi
Tunggal Ika Bhinneka.
Pertanyaannya kemudian, apakah
menyebut Tunggal Ika Bhinneka atau ‘tetap satu, walaupun berbeda-beda’ adalah
salah? Tidak. Karena, menurut hemat penulis, istilah tersebut hanya terlahir
dari kegelisahan dosen ilmu politik (Ibu Wahidah) penulis, sama seperti
kegelisahan yang penulis rasakan. Bahkan dalam perspektif tertentu, penulis
juga setuju ketika Bu Wahidah mengatakan, bahwa demi persatuan dan kemajuan
bangsa kita ke arah yang lebih baik, mineset
rasisme harus dibuang jauh-jauh, sehingga antara Jawa, Madura, Batak, maupun
Sunda tidak dibeda-bedakan, melainkan merupakan satu kesatuan bangsa yang akan
duduk bersama-sama dalam berjuang menuju bangsa yang lebih baik.
Dus, apakah sebenarnya akar dari
persoalan konflik dan kekerasan yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia?
Tidak lain adalah persoalan mineset
masyarakat yang kemudian menjelma menjadi nalar kelompok dalam suatu masyarakat
yang dalam hal suku, ras, bahkan agama adalah berbeda-beda. Dari nalar inilah
kemudian muncul penyakit primordialisme, etnosentrisme, diskriminasi, dan
stereotipe sebagai sindrom yang pada akhirnya akan mengoyak kerukunan bangsa
kita.
Nalar ini (baca: primordialisme,
etnosentrisme, diskriminatif, dan stereotip) yang perlu didekonstruksi dan
dihilangkan sama sekali dari masyarakat kita yang multikultural ini. Meminjam
teori “dekonstruksi”-nya Jacques Derrida, dekonstruksi adalah pembongkaran
menuju pembebesan. Dalam konteks ini, dekonstruksi merupakan pembongkaran
terhadap sesuatu yang telah mengalir bahkan melekat (baca: nalar) dalam diri
masyarakat, kemudian membebaskan masyarakat dari jerat nalar tersebut.
Sehingga, dengan adanya dekontrusksi nalar masyarakat ini pada akhirnya
diharapkan dapat mengubur egoisme, dan mengenyahkan konflik maupun kekerasan,
sehingga menciptakan sikap toleransi dan saling menghormati antarsuku, agama,
dan ras yang satu dengan suku, agama, dan ras yang lain.
Kemudian, pada babakan selanjutnya,
gerakan apakah yang harus dilakuan untuk membebaskan jerat nalar masyarakat
multikultural ini? Pertama, dilakukan
komunikasi kultural. Upaya ini mengindikasikan adanya suatu komunikasi yang
intens antara kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lain. Komunikasi
kultural ini penting dilakukan karena di dalamnya akan ditemukan bahwa antara
kebudayaan dalam suatu masyarakat suku, ras dan agama memiliki keistimewaan dan
khazanah tersendiri.
Kedua, menumbuhkan sikap toleransi
antarsesama. Sikap toleransii sebagai sebuah sikap yang mengawali ada sebuah
usaha untuk selalu menganggap lainnya adalah wajar. Toleransi beragama,
toleransi berbudaya, bahkan toleransi atas sikap orang yang oleh kita dinilai
tidak mengenakkan hati. Untuk menanamkan sikap toleransi ini tidak bisa hanya
dilakukan dalam satu hari, melainkan harus melalui proses pembiasaan secara
intens. Sehingga, jika kemudian sikap toleransi ini dapat dimiliki oleh semua
masyarakat yang multikultural ini, konflik dan kekerasan tidak akan pernah
terjadi.
Ketiga, menumbuhkan kearifan
nasional, disamping juga mempertahankan kearifan lokal yang bernilai ashlah.
Dalam menumbuhkan kearifan nasional salah satunya adalah dapat dengan cara
menanamkan nilai-nilai sejarah perjuangan bangsa dan nilai-nilai Pancasila.
Karena dengan demikian masyarakat akan menyadari adanya sebuah kearifan sebagai
identitas bagi masyarakat indonesia, sehingga sebagai satu kesatuan bangsa,
bahasa dan kesatuan tanah air, masyarakat tidak lagi mempertentangkan
perbedaan.
Selain ketiga hal di atas, pendidikan
multikulturalisme perlu dilakukan sejak usia dini. Sejak di mana anak didik
mulai paham tentang perbedaan besar-kecil, tinggi-rendah, panjang-pendek dan
sejenisnya. Pengetahuan masyarakat tentang keanekaragaman bahwa dalam bangsa
Indenesia ini terdiri dari banyak suku, agama, ras, tradisi, kebudayaan dan
lain sejenisnya, sehingga perbedaan tersebut harus dijadikan sebagai pemacu semangat
untuk sama-sama berjuang menuju Indonesia yang lebih baik.
E. Penutup
Realitas masyarakat multikultural di
Indonesia merupakan sunnatullah yang
harus kita lestarikan dan disatukan. Konflik dan kekerasan merupakan persoalan
bangsa yang jika terjadi secara terus-menerus maka pada akhirnya akan
menciptakan kehancuran bangsa kita. Oleh sebab itulah, mineset masyarakat yang kemudian menjadi nalar kelompok semacam
primordialisme, etnosentrisme, diskriminatif dan stereotip merupakan penyakit
yang harus dihancurkan dan dihilangkan dalam diri masyarakat.
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebagai
sebuah rumus sosial untuk mempersatukan bangsa kita, setidaknya harus dimaknai
secara luas dan holistik. Sebab dengan demikian masyarakat secara luas akan
lebih bisa memahami nilai-nilai dasar bangsa kita, dan mempunyai rasa
nasionalisme dengan pengakuan negara dengan satu bangsa, satu bahasa, dan satu
tanah air.
Akhirnya, tulisan ini bukan dimaksudkan mendoktrin masyarakat secara besar-besaran, melainkan hanya sebagai bentuk rekonstruksi menuju masyarakat Indonesia yang lebih baik. Wallahu a'lam.
Logika : Silogisme dan Generalisasi
Keywords : Dekonstruksi, Multikultural, Nalar, Persatuan, Bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar