Mengenai Saya

Senin, 30 September 2013

Dekonstruksi Nalar Masyarakat Multikultural; Upaya Mempersatukan Keanekaragaman Bangsa


A.  Pengantar
Akhir semester dua ini, ketika salah seorang dosen mata kuliah Pengantar Ilmu Politik (Ibu Wahidah Br. Siregar) memberikan kuliah terakhirnya di kelas, penulis dicengangkan oleh ceritanya. Beliau bercerita tentang pengalamannya mengisi kuliah umum di Washington DC, AS. Salah seorang rekannya dari manca-Negara bertanya kepada beliau, “kenapa di negaramu selalu mengedepankan perbedaan (dengan adanya semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” = walaupun berbeda, tapi tetap satu)? Bukankah itu yang memicu adanya masalah kebangsaan seperti konflik suku, agama, dan ras?”. Lantas, beliau berpikir, “iya, ya. Kenapa harus perbedaan yang dikedepankan? Kenapa tidak dengan semboyan ‘kita tetap satu, walaupun berbeda’?”.
Cerita ini membuat penulis berpikir kembali tentang bangsa yang multikultural ini. Bangsa yang terdiri dari banyak suku, banyak agama, dan terdiri dari berbagai ras selama ini telah menjadi karakter Indonesia. Dengan identitas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), bangsa ini telah berdiri dengan segala karakter dan khazanah lokal yang ada di dalamnya. Termasuk juga masyarakat yang memiliki corak dan warna yang berbeda-beda.
Persoalan yang paling krusial belakangan ini adalah merebaknya konflik dan kekerasan yang berkedok suku, agama, dan ras (selanjutnya disingkat menjadi SARA). Tentu, konflik dan kekerasan menjadi salah satu masalah (selain masalah politik dan hukum) yang sangat diperhitungkan dan berada pada wilayah yang sensitif bagi masyarakat kita.
Ada sebagian kalangan menganggap bahwa multikulturalitas sebagai pemicu adanya konflik dan kekerasan yang berbatu SARA. Multikulturalitas sebagai realitas sosial masyarakat kita seakan-akan telah menjadi masalah yang bahkan oleh berbagai kalangan dipandang sebagai suatu realitas sosial yang perlu dihilangkan. Ini terlihat dari banyaknya sikap organisasi masyarakat yang menginginkan bangsa ini harus terdiri dari satu suku, satu ras, dan bahkan yang paling gencar adalah harus terdiri dari satu agama.
Menurut hemat penulis, paham demikian sebenarnya merupakan paham yang pada akhirnya akan menjadi masalah baru yang dialami oleh bangsa kita. Mereka cenderung tidak menerima perbedaan, karena perbedaan dianggap sebagai sesuatu yang akan memicu lahirnya konflik dan kekerasan.
Lantas, apakah yang melatarbelakangi adanya paham demikian? Benarkah bahwa realitas masyarakat yang multikultural menjadi pemicu lahirnya konflik dan kekerasan? Bagaimanakah sikap kita sebagai warga negara menyikapi multikulturalitas sebagai karakter bangas Indonesia ini?

B.  Problem Kebangsaan
Ketika kita mencoba menelaah kembali, persoalan krusial yang mendera bangsa kita adalah fenomena konflik dan kekerasan yang belakangan terjadi. Konflik dan kekerasan jika kemudian terus berlanjut, pada akhirnya akan memorakporandakan keutuhan NKRI. Ini tak bisa dipungkiri, sebab realitas yang terjadi memang demikian. Pasalnya, ada banyak kasus yang membuktikan adanya ancaman bagi keutuhan bangsa kita.
Konflik-konflik berujung kekerasan yang terjadi di Indonesia pada umumnya adalah akibat dari keanekaragaman suku, agama dan ras yang tidak dapat duduk berdampingan. Contoh yang paling sering kita dengar adalah seperti konflik dan kekerasan yang terjadi di Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah (Poso) dan Papua. Bahkan, belakangan ini juga kita mendengar konflik berbau agama yang terjadi di Madura, konflik dan kekersan yang terjadi di Lampung Selatan dan Sulawesi Tengah, kemudian disusul dengan konflik dan kekerasan yang terjadi di Flores Timur, NTT.
Salah satu contoh konflik yang terjadi di Kalimantan Barat adalah adanya kesenjangan perlakuan aparat birokrasi dan hukum terhadap suku asli Dayak dan suku Madura, sehingga menimbulkan kekecewaan yang mendalam, khususnya bagi masyarakat Dayak. Masyarakat Dayak yang termarginalisasi semakin terpinggirkan oleh kebijakan-kebijakan yang diskriminatif. Sedangkan pada sisi penegakan hukum terhadap salah satu kelompok, tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Sementara di Poso, Sulawesi Tengah, konflik dan kekerasan berbau SARA mula-mula terjadi pada tanggal 24 Desember 1998 yang dipicu oleh seorang pemuda Kristen yang mabuk melukai seorang pemuda Islam di dalam Masjid Sayo. Kemudian pada pertengahan April 2000, terjadi lagi konflik yang dipicu oleh perkelahian antara pemuda Kristen yang mabuk dengan pemuda Islam di terminal bus Kota Poso. Perkelahian ini menyebabkan terbakarnya permukiman orang Pamona di Kelurahan Lambogia. Selanjutnya, permukiman Kristen melakukan tindakan balasan. Sehingga, banyak persepsi seorang menyebut bahwa konflik dan kekerasan yang timbul adalah dilatarbelakangi adanya unsur SARA.
Kemudian, belakangan kita diperdengarkan tentang konflik berbau agama yang terjadi di Madura. Konflik ini sebenarnya dilatari karena adanya perseteruan dan perselisihan antara individu yang satu dengan individu lain yang berbeda aliran, sehingga kemudian dianggap sebagai konflik yang dilatari oleh agama. Pihak yang satu beragama islam Syi’ah kemudian pihak lainnya beragama islam Sunni. Kedua aliran yang lahir dari satu agama ini memang memiliki corak yang berbeda dari sisi praktik ritual keagamaannya. Perbedaan ini lahir karena berbedanya imam atau tokoh (biasanya disebut syeikh) yang dijadikan panutan oleh kedua belah pihak.
Ketidakcocokan budaya, karakter, dan tradisi menyebabkan suatu masyarakat dalam lokus tertentu rentan konflik dan berujung pada tindak kekerasan. Sehingga, tak ayal juga terkadang membawa agama ke dalam suatu wilayah sensitif, bahkan seringkali dijadikan alat untuk membenarkan golongan tertentu dan menganggap golongan lainnya adalah salah. Suatu problematika yang klasik namun anehnya hingga kini masih terjadi.
Sederet persoalan-persoalan tentang konflik dan kekerasan di atas setidaknya telah membuktikan disintegrasi bangsa telah berada pada titik menggerahkan. Kita terkadang hanya mengelus dada ketika melihat dan mendengar ada sebagian masyarakat dari bangsa kita saling bertengkar, berselisih, dengan menggunakan cara kekerasan dan sejenisnya. Bahkan yang paling me-miris-kan, kekerasan tersebut dilatari oleh perbedaan yang dipertentangkan berbau SARA.

C.  Realitas Masyarakat Multikultural Indonesia
Dalam perspektif C.W. Watson (1998) dalam bukunya Multiculturalism, masyarakat multikultural membicarakan tentang masyarakat negara, bangsa, daerah, bahkan lokasi geografis terbatas seperti kota atau sekolah, yang terdiri atas orang-orang yang memiliki kebudayaan yang berbeda-beda. Sementara bagi J.S. Furnivall (1967) mendefinisikan masyarakat multikultural sebagai masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih komunitas (kelompok) yang secara kultural dan ekonomi terpisah-pisah serta memiliki struktur kelembagaan yang berbeda-beda satu sama lainnya. Dengan demikian, masyarakat multikultural merupakan masyarakat yang menempati negara, daerah, bahkan lokasi geografis tertentu di mana secara kultural dan ekonomi terpisah-pisah dan terdiri dari banyak struktur budaya yang berbeda-beda.
Dalam konteks Indonesia, masyarakat multikultural merupakan keniscayaan, karena sejak zaman dahulu masyarakat Indonesia dikenal dengan masyarakat yang majemuk. Kemajemukan bangsa indonesia dapat dilihat dari banyaknya perbedaan yang meliputi suku, agama, ras, bahasa, budaya dan tradisi yang berbeda sebagai realitas masyarakat Indonesia. Akan tetapi, di samping perbedaan itu Indonesia juga memiliki persamaan, yakni persamaan hukum, hak milik tanah, persekutuan, dan kehidupan sosialnya yang berasaskan kekeluargaan.
Inilah sebenarnya karakter dan identitas yang dimiliki Indonesia, seperti yang termuat dalam semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang berarti “berbeda-beda tetapi tetap satu”. Semboyan ini dicetuskan oleh pujangga Mpu Tantular ketika melihat keanekaragamaan masyarakat yang ada di dalam masyarakat Majapahit. Ia menuangkan sebuah rumus sosial yang bisa mempersatukan seluruh perbedaan yang ada di masyarakat waktu itu. Mpu Tantular kemudian belakangan kita ketahui menulis sebuah kitab bernama Sutasoma yang di dalamnya tertulis Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa. Karena itu, berdasarkan fakta sejarah yang kita ketahui telah membuktikan bahwa kehidupan agama di Kerajaan Majapahit berjalan secara harmonis antara agama Hindu Siwa, Buddha, dan lainnya, bahkan sampai masuknya agama Islam. Itu juga dibuktikan dengan adanya kebijakan dari raja Majapahit yang membebaskan raja-raja bawahan di pesisir pantai utara Jawa untuk memeluk agama Islam.
Kondisi demikian menjadi gambaran sejarah atas lahirnya masyarakat multikultural Indonesia sampai saat ini. Akan tetapi, realitas masyarakat multikultural di Indonesia ternyata tidak selalu berbuah integrasi, seringkali adanya masyarakat multikultural menyebabkan adanya disintegrasi. Paling banyak yang menjadi pemicu utama terjadinya disintegrasi bangsa adalah saling mempertentangkan perbedaan agama dan budaya yang ada di Indonesia, seperti contoh kasus di atas yang terjadi selama beberapa dasawarsa terakhir ini.
Selain itu, masalah lain yang menjadi sumber adanya disintegrasi bangsa adalah sentralisasi pembangunan; seakan-akan yang terlihat hanya dilaksanakan di Pulau Jawa, sementara daerah-daerah lain kurang mendapat perhatian (utamanya daerah terpencil yang sulit dijangkau), sehingga memicu kesenjangan dan kecemburuan, bahkan keinginan memisahkan diri dari NKRI. Dalam persepsi subjektif penulis, di luar adanya masalah disintegrasi bangsa ini sebenarnya telah terjadi kekeliruan, yang justeru kekeliruan tersebut berada pada wilayah yang paling dasar dan mikro, yaitu: “nalar”.
D.  Dekonstruksi Nalar Masyarakat Multikultural
Kembali pada cerita dari dosen penulis tentang semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” atau “Berbeda-beda, tetapi tetap satu” di atas. Jika penulis tanggapi, semboyan demikian sebenarnya bukan dimaksudkan untuk mengutamakan perbedaan daripada persatuan. Redaksi “berbeda-beda, tetapi tetap satu” adalah sebuah gagasan yang didasarkan pada konteks sejarah di mana semboyan itu dibuat. Artinya, semboyan Bhinneka Tunggal Ika tidak lain adalah untuk menggambarkan realitas masyarakat yang multikultural di Indonesia, yang kemudian disatukan oleh satu bangsa, satu bahasa, yaitu bangsa dan bahasa Indonesia. Sementara redaksi kata “tetapi tetap satu” bukan untuk diakhirkan, melainkan dijadikan sebagai penyelesaian atau klimaks dari masyarakat multikultural (masyarakat yang berbeda-beda).
Gagasan ini sebenarnya terlahir dari logika pembalikan sebuah makna, atau dengan kata lain memakai “logika terbalik”. Jika dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang berarti ‘berbeda-beda, tetapi tetap satu’ memaikai logika induktif, maka perubahan menjadi kalimat “tetap satu, walaupun berbeda” adalah memakai logika deduktif. Akan tetapi, kedua proposisi ini sebenarnya memiliki pengertian yang tidak jauh berbeda alias sama, tetapi yang membedakan adalah konteks dan kondisi sosial dari masyarakat dari masa ke masa. Jika pada masa Kerajaan Majapahit digambarkan dengan kerukunan masyarakat multikultural, terutama dalam hal beragama, sementara munculnya konflik dan kekerasan yang terjadi di berbagai tempat di Indonesia kini ada perasangka bahwa Indonesia terlalu mengedepankan perbedaan sehingga melahirkan kegelisahan untuk merubah semboyan Bhinneka Tunggal Ika menjadi Tunggal Ika Bhinneka.
Pertanyaannya kemudian, apakah menyebut Tunggal Ika Bhinneka atau ‘tetap satu, walaupun berbeda-beda’ adalah salah? Tidak. Karena, menurut hemat penulis, istilah tersebut hanya terlahir dari kegelisahan dosen ilmu politik (Ibu Wahidah) penulis, sama seperti kegelisahan yang penulis rasakan. Bahkan dalam perspektif tertentu, penulis juga setuju ketika Bu Wahidah mengatakan, bahwa demi persatuan dan kemajuan bangsa kita ke arah yang lebih baik, mineset rasisme harus dibuang jauh-jauh, sehingga antara Jawa, Madura, Batak, maupun Sunda tidak dibeda-bedakan, melainkan merupakan satu kesatuan bangsa yang akan duduk bersama-sama dalam berjuang menuju bangsa yang lebih baik.
Dus, apakah sebenarnya akar dari persoalan konflik dan kekerasan yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia? Tidak lain adalah persoalan mineset masyarakat yang kemudian menjelma menjadi nalar kelompok dalam suatu masyarakat yang dalam hal suku, ras, bahkan agama adalah berbeda-beda. Dari nalar inilah kemudian muncul penyakit primordialisme, etnosentrisme, diskriminasi, dan stereotipe sebagai sindrom yang pada akhirnya akan mengoyak kerukunan bangsa kita.
Nalar ini (baca: primordialisme, etnosentrisme, diskriminatif, dan stereotip) yang perlu didekonstruksi dan dihilangkan sama sekali dari masyarakat kita yang multikultural ini. Meminjam teori “dekonstruksi”-nya Jacques Derrida, dekonstruksi adalah pembongkaran menuju pembebesan. Dalam konteks ini, dekonstruksi merupakan pembongkaran terhadap sesuatu yang telah mengalir bahkan melekat (baca: nalar) dalam diri masyarakat, kemudian membebaskan masyarakat dari jerat nalar tersebut. Sehingga, dengan adanya dekontrusksi nalar masyarakat ini pada akhirnya diharapkan dapat mengubur egoisme, dan mengenyahkan konflik maupun kekerasan, sehingga menciptakan sikap toleransi dan saling menghormati antarsuku, agama, dan ras yang satu dengan suku, agama, dan ras yang lain.
Kemudian, pada babakan selanjutnya, gerakan apakah yang harus dilakuan untuk membebaskan jerat nalar masyarakat multikultural ini? Pertama, dilakukan komunikasi kultural. Upaya ini mengindikasikan adanya suatu komunikasi yang intens antara kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lain. Komunikasi kultural ini penting dilakukan karena di dalamnya akan ditemukan bahwa antara kebudayaan dalam suatu masyarakat suku, ras dan agama memiliki keistimewaan dan khazanah tersendiri.
Kedua, menumbuhkan sikap toleransi antarsesama. Sikap toleransii sebagai sebuah sikap yang mengawali ada sebuah usaha untuk selalu menganggap lainnya adalah wajar. Toleransi beragama, toleransi berbudaya, bahkan toleransi atas sikap orang yang oleh kita dinilai tidak mengenakkan hati. Untuk menanamkan sikap toleransi ini tidak bisa hanya dilakukan dalam satu hari, melainkan harus melalui proses pembiasaan secara intens. Sehingga, jika kemudian sikap toleransi ini dapat dimiliki oleh semua masyarakat yang multikultural ini, konflik dan kekerasan tidak akan pernah terjadi.
Ketiga, menumbuhkan kearifan nasional, disamping juga mempertahankan kearifan lokal yang bernilai ashlah. Dalam menumbuhkan kearifan nasional salah satunya adalah dapat dengan cara menanamkan nilai-nilai sejarah perjuangan bangsa dan nilai-nilai Pancasila. Karena dengan demikian masyarakat akan menyadari adanya sebuah kearifan sebagai identitas bagi masyarakat indonesia, sehingga sebagai satu kesatuan bangsa, bahasa dan kesatuan tanah air, masyarakat tidak lagi mempertentangkan perbedaan.
Selain ketiga hal di atas, pendidikan multikulturalisme perlu dilakukan sejak usia dini. Sejak di mana anak didik mulai paham tentang perbedaan besar-kecil, tinggi-rendah, panjang-pendek dan sejenisnya. Pengetahuan masyarakat tentang keanekaragaman bahwa dalam bangsa Indenesia ini terdiri dari banyak suku, agama, ras, tradisi, kebudayaan dan lain sejenisnya, sehingga perbedaan tersebut harus dijadikan sebagai pemacu semangat untuk sama-sama berjuang menuju Indonesia yang lebih baik.

E.  Penutup
Realitas masyarakat multikultural di Indonesia merupakan sunnatullah yang harus kita lestarikan dan disatukan. Konflik dan kekerasan merupakan persoalan bangsa yang jika terjadi secara terus-menerus maka pada akhirnya akan menciptakan kehancuran bangsa kita. Oleh sebab itulah, mineset masyarakat yang kemudian menjadi nalar kelompok semacam primordialisme, etnosentrisme, diskriminatif dan stereotip merupakan penyakit yang harus dihancurkan dan dihilangkan dalam diri masyarakat.
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebagai sebuah rumus sosial untuk mempersatukan bangsa kita, setidaknya harus dimaknai secara luas dan holistik. Sebab dengan demikian masyarakat secara luas akan lebih bisa memahami nilai-nilai dasar bangsa kita, dan mempunyai rasa nasionalisme dengan pengakuan negara dengan satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air. 
Akhirnya, tulisan ini bukan dimaksudkan mendoktrin masyarakat secara besar-besaran, melainkan hanya sebagai bentuk rekonstruksi menuju masyarakat Indonesia yang lebih baik. Wallahu a'lam.

Logika        : Silogisme dan Generalisasi
Keywords   : Dekonstruksi, Multikultural, Nalar, Persatuan, Bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar