Sekitar tahun 1927, Alphonse
Mingana, seorang
pendeta Kristen asal Iraq dan mantan guru besar di Universitas Birmingham, Inggris, memberikan pernyataan yang cukup
mencengangkan, “Sudah tiba saatnya sekarang untuk
melakukan studi kritis terhadap teks Al-Quran sebagaimana telah kita lakukan
terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen
yang berbahasa Yunani.”Pernyataan ini cukup mengundang perhatian
banyak kalangan, bukan hanya dari Islam sendiri, melainkan juga para tokoh
peneliti semisal Edward Said dalam bukunya, Orientalisme (1978).[1]
Namun,
tanpa penulis berikan banyak penjelasan, penyataan verbal dari Mingana ini
sebenarnya terlahir bukan hanya dari kekecewaan para sarjana Kristen dan Yahudi
terhadap kitab suci mereka, namun juga rasa cemburu mereka terhadap umat Islam
dan kitab sucinya, Al-Qur’an. Sehingga, kaum orientalis semisal Mingana
menjadikan Al-Qur’an yang absolute sebagai objek kritik dan berharap akan
ditemukan kesalahan dalam Al-Qur’an hingga mudah menimbulkan kritik terhadap
umat Islam.
Dalam
perspektif Bryan S. Turner, tujuan orientalisme adalah mereduksi kompleksitas
kenyataan timur ke dalam susunan tipe-tipe, karakter-karakter, dan
ketentuan-ketentuan yang pasti.Dengan begitu, sejumlah karya yang menggambarkan
Timur yang eksotik dalam bentuk tabel-tabel informasi yang sistematis
sebenarnya adalah produk kultural yang tipikal dari dominasi Barat (Turner,
2006: 58).[2]
Terlepas
dari wacana tentang bagaimana kaum orientalis mencoba melakukan studi kritik
terhadap Al-Qur’an, penulis mencoba menelisik bagaimanakah sebenarnya misi
orientalisme?Apa yang dimaksud dengan orientalisme? Dan bagaimana pendapat
mereka tentang kitab suci Al-Qur’an, yang oleh Dr. M. Quraish Shihab,
MA.disebut sebagai kitab suci agama islam yang
absolute dan universal?
A. Pengertian, Ruang Lingkup dan Sejarah Orientalisme
Telah lama kita mendengar sebutan
orientalisme dalam wacana Islam klasik-kontemporer. Namun, sejauh ini sebagian
dari kita hanya sedikit yang tahu bahkan mendalami tentang orientalisme dalam kajian
atau studi islam. Dalam Longman Dictionary of
English Language, orientalisme berasal dari kata “orient” yang berarti timur. Sehingga, dapat kita artikan bahwa
orientalisme adalah hal-hal yang berhubungan dengan masalah ketimuran. Oriental adalah sebuah kata sifat yang
berarti hal-hal yang bersifat Timur, yang sangat luas ruang lingkupnya.
Sendangkan isme (Belanda) atau ism (Inggris) menunjukkan arti sesuatu
paham. Dus, orientalisme berarti
suatu paham atau aliran yang berkeinginan menyelidiki hal-hal yang berkaitan
dengan bangsa-bangsa di Timur beserta lingkungannya.[3]
Mengenai pengertian orientalisme
sebenarnya ada banyak pendapat. Namun, inti dari pengertian tentang pendapat
semua pakar orientalisme tidak jauh berbeda dari pengertian yang penulis sajikan
dalam paragraf di atas. Kendati begitu, tak ada salahnya jika penulis juga
mengutarakan pendapat dari berbagai pakar orientalisme. A. Hanafi menjelaskan
bahwa, orientalisme berasal dari kata Prancis, orient yang berarti Timur, kata tersebut berarti ilmu yang
berhubungan dengan dengan dunia Timur. Orang-orang yang mempelajari atau
mendalami ilmu-ilmu ini disebut orientalis atau ahli ketimuran.[4]
Ditinjau dari ruang lingkup kajian
orientalisme dalam arti sempit adalah, kegiatan penyelidikan ahli ketimuran di
Barat tentang agama-agama di Timur, khususnya tentang agama islam. Kegiatan
penyelidikan tentang ketimuran baru memperlihatkan intensitasnya yang luar
biasa sejak abad XIX ketika Max Muller (1823-1900 M) menyalin seluruh kitab
yang dipandang suci oleh masing-masing agama di Timur ke dalam bahasa Inggris
yang berjudul The Sacred Books of the
East (kitab-kitab suci dari dunia timur) yang biasa disingkat dengan SBE.
Sedangkan ruang lingkup orientalisme
secara arti luas, yakni langsung berkaitan dengan hal-hal yang menyangkut
bangsa-bangsa di dunia Timur beserta lingkungannya, sehingga dapat meliputi
seluruh sendi kehidupan beserta sejarah bangsa-bangsa di dunia Timur.
Penyelidikan tersebut secara garis besar dapat dikategorisasikan ke dalam
beberapa bidang, seperti bidang kepurbakalaan (archeology), sejarah (history), keturunan (ethnology), adat-istiadat (customs),
politik, ekonomi, dan sebagainya.
Keluasan ruang lingkup ini pasti juga
didasari sejarah terjadinya paham orientalisme. Dalam sejarahnya, orientalisme
tak bisa lepas dari peristiwa Perang Dunia II (1939-1945 M) yang juga disebut
dengan “Dunia Belahan Utara” dan “Dunia
Belahan Selatan”. Bahkan jauh sebelum itu, Zaman Purbakala setidaknya juga
mencatat benturan antara Barat dan Timur ketika memperebutkan wilayah kekuasaan
sehingga pecah perang berkepanjangan antara Grik Kono dengan Dinasti
Acheamenids (600-330 SM) yang kemudian diteruskan oleh keturunannya. Benturan
kepentingan dan permusuhan antara Timur dan Barat yang berlangsung berabad-abad
lamanya hanya meninggalkan Grik Kono karya Xenophon (431-378 SM) berjudul Anabasis. Ketegangan ini berlanjut
setidaknya sampai Perang Salib yang berlangsung sekitar dua abad, yakni
1096-1270 M.[5]
Di abad Pertengahan dan Era
Kebangkitan (Renaissance) dapat dilihat dari sikap orang Barat terhadap islam
yang terkesan kagum bercampur segan terhadap kekuatan islam serta peradabannya,
sehingga mereka menganggap Islam sebagai sebuah bahaya bagi Eropa, baik segi
akidah, peradaban, serta kekuatan meliter. Hal ini tak lepas dari kekuatan
Islam benar-benar telah mencapai kesempurnaan dan menyeluruh sejak awal abad I
Hijriah. Bahkan bangsa Eropa pemeluk Masehi pada abad pertengahan menamakan
dirinya dengan setan, sehingga tidak mengherankan bila ada kaitan antara
gerakan kristtenisasi dengan orientalisme di Barat.
Mayoritas orientalis Barat sejak abad
pertengahan dan Renaissance telah sepakat dalam memberikan sifat kepada
Rasulullah Saw. dengan tuduhan dusta belaka. Pengingkaran kaum orientalis
terhadap kenabian Muhammad saw. berarti juga mengingkari kebenaran Al-Qur’an
sebagai wahyu dan mengingkari kemukjizatan Alquran, serta menganggap Alquran
adalah buatan manusia. Sehingga, kaum orientalis Alesander Ross untuk pertama
kalinya menerjemahkan Alquran ke dalam bahasa Inggris pada abad XVII (1649 M)
dan baru populer ketika George Sale juga menerjemahkannya dengan nama The Kuran or The Kuran of Muhammad.
Dalam mukadimahnya banyak sekali menyebutkan dakwaan dan tuduhan yang terangkum
dalam judul Preliminary Discourse.[6]
Dengan demikian, dilihat dari
pengertian, ruang lingkup, dan sejarah yang singkat sebagaimana penulis
kemukakan setidaknya orientalisme merupakan sebuah paham yang dalam berbagai
tingkat dapat memahami agama Timur khususnya
Islam, namun pada tingkatan selanjutnya juga mereduksi eksotisme agama
Islam sehingga—meminjam istilahnya Turner—terkesan sebagai produk kultural yang
tipikal dari dominasi Barat.
B.
Al-Qur’an dalam Desakan
Paham Orientalisme
Dalam usaha kaum orientalis melakukan
pengkajian Islam yang dilakukan oleh ilmuan Barat, trend baru telah
dilakukan, yakni dengan menggunakan logika dan metodologi mereka sendiri.
Orientalisme menjadi sangat menguntungkan bagi para kolonial Barat, karena ia
telah memeberikan segudang informasi dan data tentang Islam dan umatnya. Bidang
kajian orientalis bahkan sudah mencakup berbagai studi dan disiplin ilmu yang
pernah digeluti oleh ulama-ulama islam sendiri, termasuk di dalamnya tentang
pengkajian sumber utama Islam, yakni Alqur’an.
Dalam konteks sejarah, kita dapat
melihat kaum paganisme Mekkah yang menentang keras ide bahwa Alqur’an adalah
wahyu Allah. Paganis Mekkah menuduh bahwa Alqur’an adalah perkataan atau
mitosnya tukang sihir atau dukun, bahkan juga menuduh bahwa Nabi Muhammad saw.
diajari orang lain.
Sedangkan kaum orientalis menyebarkan
opini-opininya tidak jauh berbeda dengan paganisme Mekkah. Hanya saja, cara dan
polanya lah yang membedakannya. Kalau paganis Mekkah melempar tuduhan melalui
lisan kepada Nabi Muhammad saw. dan para sahabatnya, sementara orientalis
melontarkan klaim-klaim itu melalui forum seminar dan diskusi di ruang kuliah
yang megah dan ber-AC, melalui tulisan di dalam buku, jurnal, leksikon, dan
ensiklopedi, dengan selubung akademik ilmiah. Tak ketinggalan mereka juga
susupkan melalui bimbingan tesis dan disertasi bagi mahasiswa yang sedang
menulis karya tulis ilmiah dan penelitian.[7]
Di antara orientalis yang paling getol
melakukan studi tentang Alqur’an ialah George Sale[8].
Dalam mukadimah terjemahan Alqur’an versi Inggris karya G. Sale berjudul The Kuran or The Kuran of Muhammad yang
diterbitkan pada tahun 1736 M, Sale menulis, “adapun mengenai Muhammad, yang pada hakikatnya sebagai penyusun
Alqur’an dan penemu utamanya adalah masalah yang tidak dapat dibantah, meskipun
tidak mengesampingkan bantuan yang diperolehnya dari orang lain yang tidak
sedikit. Hal ini jelas terlihat dari sikap kaumnya yang tidak pernah diam
memprotesnya sehubungan dengan masalah tersebut.”. Ungkapan ini sebenarnya
tidak jauh berbeda dengan apa yang dituduhkan oleh paganis Mekah yang
divetarisasi oleh Alqur’an semisal tertera dalam surat An-Nahl ayat 103.
Yang paling membahayakan ternyata
suara G. Sale ini sangat berpengaruh terutama di Eropa. Ini dapat kita lihat
pada orientalis lainnya semisal Kasmiere Skey ketika menerjemahkan Alqur’an
dalam bahasa Prancis pada tahun 1841, yang menjiplak mukadimah G. Sale ke dalam
mukadimah versi Prancis itu. Kalangan orientalis meyakini kebenarannya secara
ilmiah atas tulisan G. Sale itu, karena dalam persepsi mereka tulisan itu
mengandung uraian yang komprehensif tentang agama Islam.[9]
Seorang mantan Ketua Department of Arabic and Islamic Studies
di Universitas Manchester, Inggris C. Edmund Bosworth menyebutkan bahwa banyak
hal-hal berharga muncul dari anotasi teks-teks detailnya Sale dari para
mufassir Muslim, di antara para mufassir tersebut adalah al-Baidhawi dan al-Suyuthi.
Akan tetapi, menurut pakar yang pernah menjadi editor Encyclopaedia of Islam ini, Sale tidak bisa diberi penghargaan atas
hasil ilmiahnya yang orisinil itu, karena sepertinya ia telah memindahkan
berbagai sumber yang digunakan oleh biarawan Latin bernama Lodovico Maracci
dalam tulisannya Alcorani Textus
Universus (1698), sebagaimana yang telah Sale akui dalam pendahuluan
terjemahannya: “Untuk Pembaca” (Bosworth, 2003: 78).[10]
Sementara itu, seorang orientalis
Inggris sekaligus dosen Arabic Language
pada Edinburgh University, juga berpendapat dalam bukunya, Pengantar Al Quran bahwa, Nabi saw. dalam penulisan Alqur’an
berpegang kepada Bible, khususnya yang menyangkut cerita-cerita dalam
Perjanjian Lama. Dia juga mengatakan bahwa bagian terbesar dari materi yang
dipakai oleh Nabi Muhammad saw. untuk menafsirkan ajaran-ajaran dan utnuk
memperkuatnya berasal dari sumber-sumber Yahudi dan Nasrani. Tuduhan ini, jika
diamati, tidak lebih dari sekadar luapan emosi yang didukung oleh fanatisme
agama mereka, sehingga tuduhan-tuduhan tersebut tidak mempunyai bobot ilmiah
dan tidak ada landasan historisnya (Daud Rasyid, 2006: 142)
Berbagai sumber yang telah didapatkan
ini sebenarnya sudah cukup menjelaskan betapa Alqur’an kini ternyata telah
berada dalam desakan atau intervensi kaum orientalis. Paham orientalisme yang
sejak berabad-abad silam mencoba mengkritik Alqur’an merupakan sebuah ancaman
penyelewengan dan pemutarbalikan fakta ilmiah terus diprogram oleh orientalis
Barat. Fenomena ini setidaknya telah mengingatkan kepada kita, betapa bahayanya
doktrin-doktrin orientalisme jika diterima oleh kalangan pelajar yang mengenyam
pendidikan islam ke universitas-universitas di Barat. Mengingat lemahnya daya
intelektualitas keislaman dan pengetahuan mereka tentang syari’at islam,
sehingga ketika mereka sudah kembali dengan gelar sarjananya hanya mampu
meneruskan ide-ide orientalis yang mereka terima dari Barat.
C.
Al-Qur’an yang Otentik
Namun demikian, sebagai umat Muslim,
kepercayaan terhadap kebenaran Alqur’an sekaligus tak ada keraguan apapun di
dalamnya merupakan sebuah kewajiban yang tak boleh kita tawar. Karena kepercayaan inilah
yang nantinya akan membentuk sebuah keimanan terhadap keotentikan Alqur’an.
Bahkan keotentikan Alqur’an sendiri sebenarnya sudah dijamin oleh Allah, karena
Alqur’an telah “dipelihara” oleh-Nya.Seperti tertera dalam QS. Al Hijr ayat 09:
Inna nahnu nazzalna al-dzikra wa inna lahu lahafizhun (Sesungguhnya Kami
yang menurunkan Alqur’an dan Kamilah Pemelihara-Pemelihara-Nya) (QS. 15: 9)
(Quraish Shihab, 1994: 21)
Dalam membendung
gerakan orientalisme di kalangan islam, mantan Syaikh Al-Azhar, almarhum
Abdul-Halim Mahmud telah menegaskan tentang keotentikan Al-Qur’an bahwa, “para
orientalis yang dari saat ke saat berusaha menunjukkan kelemahan Al-Qur’an,
tidak mendapat celah untuk meragukan keotentikannya.”
Dalam konteks inilah
sebenarnya telah menunjukan bahwa Al-Qur’an merupakan kitab suci umat Islam
yang dijamin keotentikannya.M. Quraish Shihab pun juga memberikan penjelasan
tentang bukti kebenaran, baik itu bukti-bukti dari Alqur’an sendiri maupun
bukti-bukti kesejarahan Alqur’an kemudian juga dari segi penulisannya, Alqur’an
telah menempatkan dirinya sebagai kitab suci yang benar-benar otentik.
Menurut M. Quraish
Shihab dalam bukunya: Membumikan Al-Qur’an:Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat menjelaskan bahwa, ada tiga bukti keotentikan Al-Qur’an.[11]Pertama,
dalam huruf-huruf hija’iyah yang terdapat pada awal beberapa surat dalam
Al-Qur’an. Jika dilihat dari ini, huruf-huruf dalam Alqur’an tidak berlebih
atau berkurang satu huruf pun sejak diterima oleh Rasulullah Muhammad saw.,
yang kesemuanya habis terbagi 19. Misalnya “qaf” yang menjadi awal dari
Surah ke-50, ditemui terulang sebanyak 57 kali atau 3x19.Begitupun denga huruf kaf,
ha’, ya’, ‘ayn, shad pada permulaan Surah Maryam,
ditemukan sebanyak 798 kali atau 42x19.Pun pada Surah Yasin, huruf ya’
dan sinditemukan sebanyak 285 kali atau 15x19.
Kedua, dalam konteks
sejarah masyarakat Arab dahulu, yang hidup pada masa turunnya Alqur’an adalah
masyarkat yang tidak mengenal baca tulis.Karena itu, satu-satunya andalan
mereka adalah hafalan. Riwayat sejarah telah banyak menginformasikan bahwa
terdapat ratusan sahabat Nabi saw. yang menghafalkan Alqur’an. Selain metode
hafalan ini, sejarah juga telah menginformasikan bahwa setiap ada ayat yang
turun, Nabi saw.lalu memanggil sahabat-sahabat yang dikenal pandai menulis,
untuk menuliskan ayat-ayat yang turun itu sembari menyampaikan tempat dan
urutan setiap ayat dalam surahnya. Ayat-ayat tersebut kemudian mereka tulis
dalam pelapah kurma, batu, kulit-kulit atau tulang-tulang binatang. Kepingan
naskah tulisan yang diperintahkan oleh Rasul itu baru bias dihimpun dalam
bentuk kitab pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar r.a.
Ketiga, dalam penyusunan
dan penulisan mushhaf. Pada masa Khalifah Abu Bakar dibentuklah suatu tim yang
diketuai oleh Zaid ibn Tsabit untuk membentuk sebuah mushhaf Alqur’an. Dengan
dibantu oleh beberapa orang sahabat Nabi, Zaid pun mulai menjalanka tugas yang
besar dan mulia itu.Abu Bakar r.a memerintahkan kepada seluruh kaum Muslim
untuk membawa naskah tulisan ayat Alqur’an yang mereka miliki ke Masjid Nabawi
untuk kemudian diteliti oleh Zaid dan timnya. Abu Bakar r.a memberi petunjuk
kepada tim tersebut agar tidak menerima satu naskah kecuali memenuhi dua
syarat; a. Harus sesuai dengan hafalan para sahabat lain; b. Tulisan tersebut
benar-benar adalah yang ditulis atas perintah dan dihadapan Nabi saw. (Quraish
Shihab, 1994: 21-26).
Dengan demikian, ke
tiga bukti ini setidaknya telah memberikan sebuah pemahaman bagi kita bahwa
Alqur’an benar-benar otentik dan tanpa ada perubahan sekecilpun.Tuduhan yang
selama ini dilakukan oleh kaum orientalis Barat terhadap Alqur’an sebenarnya
merupakan tuduhan yang kosong dan terkesan “ambisius”, tanpa dibarengi dengan
pengetahuan mereka yang mendalam tentang bukti keotentikan Alqur’an. Di samping
itu, sangat naïf kiranya jika kita terjebak dalam kubangan dan desakan
orientalisme yang berusaha masuk, baik secara kasar maupun dengan cara halus,
ke dalam kalangan umat Islam sendiri.
A Kesimpulan
Dari paparan tersebut di atas setidaknya dapat
disimpulkan bahwa paham orientalisme merupakan suatu paham atau aliran yang berkeinginan
menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan bangsa-bangsa di Timur beserta
lingkungannya. Namun, pada perkembangan selanjutnya, terutama pada abad pertengahan
dan kontemporer ini, orientalisme lebih bersifat menentang terhadap agama
Islam, dengan cara menjadikan Alqur’an sebagai objek studi kritik. Bahkan, pada
tataran tertentu orientalisme lebih bersifat doktrinasi bagi kaum Muslim yang
pada akhirnya akan menggerogoti kepercayaan umat Muslim terhadap kitab sucinya.
Di samping itu, yang
paling berbahaya adalah bahwa, ajaran atau doktrin orientalisme kini dalam style
baru yakni dengan menggunakan metodologi dan penafsiran tersendri terhadap
Alqur’an, sehingga pemahaman tersebut terkesan dipertentangkan dengan kebenaran
Alqur’an.
Akan tetapi, ketika
kita hadapkan pada pandangan M. Quraish Shihab, kaum orientalis ternyata begitu
parsial dalam memahami dan menafsirkan Alqur’an, karena mereka tidak mempunyai
kekuatan pengetahuan tentang sejarah dan keotentikan Alqur’an.Sementara menurut
M. Quraish Shihab, Alqur’an memang merupakan kitab suci yang keotentikannya
sangat dijamin, bahkan oleh Allah Swt. Wallahu A’lam bisshawab.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Buchari, H.A. Mannan. 2006. Menyingkap Tabir Orientalisme. Jakarta:
AMZAH
Nanji, Azim. 2003. Peta Studi Islam: Orientalisme dan Arah Baru Kajian Islam di Barat. Yogyakarta:
Fajar Pustaka Baru.
Rasyid, Daud. 2006. Pembaruan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan. Bandung: Syaamil
Publishing.
Shihab, M. Quraish. 1994. Membumikan
Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung:
Mizan.
Tim Penyusun MKD Iain
Sunan Ampel Surabaya.2012. Studi Al-Quran. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Surabaya
Perss.
Turner,Bryan S. 2006.Runtuhnya Universalitas Sosiologi Barat; Bongkar
Wacana Atas Islam Vis A Vis Barat, Orientalisme, Postmodernisme, dan Globalisme. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Website:
[1] Anonim, Orientalisme dan Al-Quran: Kritik Wacana
Keislaman Mutakhir, 9 Maret
2013, dari http://tulil.wordpress.com/2008/04/10/orientalisme-dan-al-quran-kritik-wacana-keislaman-mutakhir/
[2]Bryan S. Turner, Runtuhnya Universalitas
Sosiologi Barat; Bongkar Wacana Atas Islam Vis A Vis Barat,
Orientalisme, Postmodernisme, dan Globalisme, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
2006), hal. 58.
[3] H.A. Mannan Buchari, Lc, Menyingkap
Tabir Orientalisme, (Jakarta: AMZAH, 2006), hal. 07
[5] Lebih jelas, lihat H.A. Mannan Buchari, Lc, Menyingkap Tabir Orientalisme, (Jakarta: AMZAH, 2006), hal. 36-46.
[6] Lebih lengkap dapat dibaca dalam: H.A. Mannan Buchari, Lc, Menyingkap Tabir Orientalisme....... ,
hal. 36-58.
[7] Dr. Daud Rasyid, MA., Pembaruan
Islam dan Orientalisme dalam Sorotan, (Bandung: Syaamil Publishing, 2006),
hal. 141
[8] George Sale adalah seorang pengacara terlatih dan seorang ahli tentang
Arab yang utama dan pertama yang tidak termasuk golongan anggota pendeta.
Menurut C. Edmund Bosworth, Sale merupakan seorang yang punya prestasi yang
luar biasa, karena karya itu dicetak berulangkali hingga abad sekarang ini.
Lebih jelas dapat dilihat dalam: C. Edmund Bosworth, “Islamic studies in English”, dalam, Peta Studi Islam: Orientalisme dan Arah Baru Kajian Islam di Barat,
Prof. Dr. Azim Nanji (ed.), (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003), hal. 78.
[9] Dr. Daud Rasyid, MA., Pembaruan
Islam dan Orientalisme dalam Sorotan................, hal. 142
[10] Lebih jelas dapat dilihat dalam: C. Edmund Bosworth, “Islamic studies in English”, dalam, Peta Studi Islam: Orientalisme dan Arah Baru
Kajian Islam di Barat, Prof. Dr. Azim Nanji (ed.), (Yogyakarta: Fajar
Pustaka Baru, 2003), hal. 78
[11]Mengenai keotentikan Alqur’an ini, lebih jelas dapat ditelisik dalam:
M. Quraish Shihab, Membumikan
Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung:
Mizan, 1992), hal. 21-26
Tidak ada komentar:
Posting Komentar