
Di
tengah kenyataan adanya tiga seperempat dari masyarakat dunia mendekati
kelaparan, kita masih sulit menghindari pembelian yang berlebihan pada
barang-barang yang tidak kita butuhkan. Makan di McDonals, belanja baju dan pernak-pernik
dengan mengunjungi mall, konsumsi kosmetika, koleksi mobil mewah,
ke salon dua kali dalam satu minggu, hingga berdandan ala artis dengan lipstik
dan make-up berwarna-warni. Suatu keputusan yang
menjadi kenyataan masyarakat modern, sekaligus kesukseskan kapitalisme dalam
“bermain” di tengah arus masyarakat yang kacau.
Iklan
berserta godaannya juga sah kita anggap telah menawarkan berbagai barang yang
tidak benar-benar kita butuhkan. Kita secara sadar atau tidak, diundang untuk
menjalani kehidupan yang tidak nyata. Iklan telah membentuk pola pikir kita
dengan menyembunyikan kondisi kehidupan yang sebenarnya, kebutuhan yang
sebenarnya, dan keinginan sosial paling dasar, yang kemudian digantikan dengan
fantasi dan bermimpi tentang kaum berkuasa dan kaya. Obrolan-obrolan dari gerai
ke gerai di mana kalangan pekerja perusahaan nongkrong, hingga
mahasiswa-mahasiswi telah didominasi obrolan seputar produk-produk terbaru yang
disiarkan melalui iklan.
Pun,
kelemahan teori ekonomi adalah tidak pernah memperlakukan konsumsi—mengapa dan
bagaimana orang mengonsumsi barang—sebagai bagian dari hasil produksi. Hal ini
karena konsumsi dianggap sebagai proses reaktif, bereaksi secara kasar terhadap
barang yang telah diproduksi. Bisa jadi, juga karena terkadang kita lupa bahwa
di setiap komoditas ada “nilai guna” dan “nilai tukar”,
yang menjelaskan adanya perbedaan antara barang yang berguna dan yang tidak,
pada kehidupan kita. Nilai guna pada dasarnya bersifat fungsional, seperti
nilai guna mantel terletak pada kemampuannya untuk menjadikan pemakainya tetap
hangat, oleh karenanya, nilai guna mengekspresikan hubungan antara benda dan
manusia. Sementara nilai tukar lebih bersifat komersial, di mana tenaga kerja
(tangan kapitalis) menginvestasikan memampuannya pada suatu barang atau
komoditas yang sama sekali tidak berhubungan dengan kebutuhan dasar manusia.
Belum
lagi kita, yang konsumtif, akan segera dihadapkan pada Asean Free Trade
Area (AFTA) 2015 mendatang, di mana produk-produk China, Jepang,
Thailand, India, Singapore, dan Vietnam akan lebih semangat menyerang ke
Indonesia. Sementara kebijakan Asean Economic Community (AEC)
walaupun diprediksi akan membawa Indonesia menjadi regional champions karena
memiliki PDB terbesar, namun Indonesia berpotensi hanya menjadi pasar dari
produk barang Asia lainnya. Usaha-usaha kecil, penjual soto, bakso, dan
produksi lokal lainnya akan terancam gulung-tikar dan tersungkur di bawah
telapak kaki kapitalisme. Masihkah kita mau konsumtif?
Rasa-rasanya
tidak cukup hanya dengan ceramah-ceramah dan seminar-seminar. Lebih dari itu,
kita perlu bangun nalar produktif, sebuah nalar berkesadaran produktif-kreatif,
dari individu ke individu lain hingga membentuk kesadaran kolektif. Sadar akan
tantangan dan ancaman persaingan, dan sadar bahwa produk barang yang bertebaran
tidak semua memiliki fungsi dan nilai guna bagi kehidupan kita yang sebenarnya.
Gerakan
mahasiswa tidak harus terus stagnan di ranah kritis dan teoritis-oriented,
tetapi lebih pada penyadaran masyarakat luas dalam memilih produk barang
bernilai guna, dan tidak terjebak konsumerisme, tidak menjadi korban komoditas
dan korban pasar yang menawarkan barang yang tidak benar-benar kita butuhkan.
Andai kita tidak konsumtif, lalu kita ciptakan masyarakat rasional dan
produktif.
Bagus mas. Bacaan yang ringan & enak dibaca :)
BalasHapusTerima kasih... Silakan dishare juga yak... Kampanye anti-konsumerisme :)
BalasHapus