Mengenai Saya

Rabu, 12 Oktober 2011

Isu Reshuffle dan Inkonsistensi Partai Koalisi


Jagat politik Nasional digemparkan oleh gagalnya pengajuan hak angket mafia pajak di DPR. Kegemparan ini dipicu oleh persoalan koalisi yang setengah hati. Pasalnya, pada voting persetujuan hak angket di DPR, telah menghasilkan selisih dua suara yakni, 266 anggota menolak dan 264 menerima. Hal ini mengindikasikan bahwa partai koalisi, yang tergabung dalam Setgab, tidak sejalan dengan fungsinya sebagai pendukung pemerintah. Akibatnya, “reshuffle” (pergantian) kabinet menjadi isu sentral dalam Pemerintahan Kabinet Bersatu jilid II.
Isu reshuffle ini memang mengagetkan. Betapa tidak, perjalanan politik pada pemerintahan SBY yang berusia 1,5 tahun disinyalir mengalami keretakan. Kondisi ini dipicu oleh sikap politik anggota sebagian partai koalisi yang secara gamblang membuktikan tidak sejalan dengan tujuan awal yakni, menciptakan stabilitas pemerintahan melalui penyatuan misi dalam Sekretariat Gabungan (Setgab) Koalisi.
Akan tetapi, isu reshuffle itu kian menyusut ketika Presiden Yudhoyono dalam pidatonya mengatakan, “Saya belum pernah mengatakan bahwa bulan depan akan ada reshuffle, minggu ini ada reshuffle. Belum pernah.” (Kompas edisi 14 Maret 2011, halaman 5).
Kendati demikian, isu reshuffle ini setidaknya telah mengabarkan kepada publik bahwa “prinsip kesatuan” yang dibangun dalam Setgab Koalisi belum solid, bahkan mengalami keretakan. Menurut Hanta Yuda Ar –Analis Politik dan Kebijakan Publik—bahwa keretakan ini dipicu oleh partai-partai koalisi yang menjalankan “politik dua kaki”. Politik dua kaki merepresentasikan adanya dua kepentingan dalam partai koalisi yakni, berkoalisi di pemerintah (eksekutif) sekaligus menjalankan peran oposisi di parlemen. Dalam hal ini, partai yang sering melakukan politik dua kaki adalah Golkar dan PKS. Tidak hanya itu, pada waktu terakhir, politik dua kaki telah menjadi “budaya” yang sulit dihilangkan.
Adanya politik dua kaki ini sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari sistem pemerintahan presidensial-multipartai. Ini sebenarnya merupakan konsekuensi akut. Sistem presidensial dipaksa mengakomodasi koalisi parpol seperti dalam sistem parlementer. Inilah yang disebut dengan politik transaksional, politik yang hanya didasarkan pada kepentingan sesaat dan melahirkan kerjasama politik semu. Akibatnya, penyatuan tujuan menjadi jauh panggang dari api karena diwarnai oleh silang kepentingan. Idealisme politik Setgab Koalisi kini telah mengalami pergeseran bahkan penyusutan. Inilah gambaran bahwa partai koalisi mengalami inkonsistensi (tidak konsisten).
Pertanyaannya kemudian, bagaimana bisa partai koalisi menjalankan politik dua kaki? Apakah karena minimnya komitmen sehingga mengabaikan tujuan awal dalam mendukung pemerintah?

Empat Alasan
            Setidaknya, ada empat alasan kenapa partai koalisi menjalankan politik dua kaki sehingga mengalami inkonsistensi: pertama, adanya silang kepentingan antara partai koalisi dan pemerintah. Ini menjadi alasan utama ketika partai koalisi dipertemukan dengan “perseberangan kepentingan” yang tidak sesuai dengan kepentingan partainya.
Kedua, belum maksimalnya sistem pemerintahan presidensial. Presiden Yudhoyono sebagai Pimpinan Setgab Koalisi cenderung kurang tegas dalam menyikapi partai koalisi yang menjalankan oposisi di parlemen. Sikap ini yang pada akhirnya akan memberikan “celah” berupa kesempatan untuk menghindar dari kesepakatan awal. Partai koalisi yang tidak sejalan dengan kesepakatan kabinet akan merasa memiliki “kewenangan” untuk menghindar.
Ketiga, kontrak koalisi yang tidak jelas. Kontrak koalisi yang seharusnya menjadi syarat awal dalam membangun hubungan politik, ternyata malah diabaikan. Sehingga, ketidakjelasan kontrak koalisi pada gilirannya akan memicu adanya inkonsistensi dari partai koalisi dalam konteks pemerintahan demokrasi.
Keempat, terlalu mementingkan kuantitas daripada kualitas. Hal ini terlihat dari gemuknya koalisi yang ada di Setgab. Dengan kata lain, koalisi pada jilid II kini hanya merangkul partai sebanyak-banyaknya, tetapi mengesampingkan pentingnya soliditas dan kohesivitas anggota partai dalam membangun hubungan politik.
Dengan adanya empat pemicu politik dua kaki di atas, setidaknya telah melahirkan hipotesis yakni, inkonsistensi partai dalam Setgab Koalisi. Inkonsistensi ini, jika dibiarkan pada gilirannya akan berpengaruh pada stabilitas peran pemerintahan. Wajar jika isu reshuffle menjadi santer diwacanakan, utamanya oleh Partai Demokrat (PD) sebagai partai yang merepresentasikan politik SBY.
Menyikapi persoalan itu, dibutuhkan komunikasi politik yang sejalan demi membangun soliditas dalam Setgab Koalisi. Karena walau bagaimanapun, komunikasi politik merupakan wahana bagaimana interaksi atau konstruksi ide dalam membentuk pemerintahan yang solid bisa tercapai. Sehingga, berbagai kecacatan, seperti silang kepentingan antar anggota Setgab Koalisi, bisa terselesaikan. Dan, perpecahan yang ditandai dengan adanya isu reshuffle, tidak perlu terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar