Jagat politik Nasional digemparkan oleh gagalnya
pengajuan hak angket mafia pajak di DPR. Kegemparan ini dipicu oleh persoalan
koalisi yang setengah hati. Pasalnya, pada voting persetujuan hak angket
di DPR, telah menghasilkan selisih dua suara yakni, 266 anggota menolak dan 264
menerima. Hal ini mengindikasikan bahwa partai koalisi, yang tergabung dalam
Setgab, tidak sejalan dengan fungsinya sebagai pendukung pemerintah. Akibatnya,
“reshuffle” (pergantian) kabinet menjadi isu sentral dalam Pemerintahan
Kabinet Bersatu jilid II.
Isu reshuffle ini memang mengagetkan.
Betapa tidak, perjalanan politik pada pemerintahan SBY yang berusia 1,5 tahun
disinyalir mengalami keretakan. Kondisi ini dipicu oleh sikap politik anggota
sebagian partai koalisi yang secara gamblang membuktikan tidak sejalan dengan
tujuan awal yakni, menciptakan stabilitas pemerintahan melalui penyatuan misi
dalam Sekretariat Gabungan (Setgab) Koalisi.
Akan tetapi, isu reshuffle itu kian menyusut
ketika Presiden Yudhoyono dalam pidatonya mengatakan, “Saya belum pernah
mengatakan bahwa bulan depan akan ada reshuffle, minggu ini ada reshuffle.
Belum pernah.” (Kompas edisi 14 Maret 2011, halaman 5).
Kendati demikian, isu reshuffle ini setidaknya
telah mengabarkan kepada publik bahwa “prinsip kesatuan” yang dibangun dalam Setgab
Koalisi belum solid, bahkan mengalami keretakan. Menurut Hanta Yuda Ar –Analis Politik
dan Kebijakan Publik—bahwa keretakan ini dipicu oleh partai-partai koalisi yang
menjalankan “politik dua kaki”. Politik dua kaki merepresentasikan adanya dua kepentingan
dalam partai koalisi yakni, berkoalisi di pemerintah (eksekutif) sekaligus
menjalankan peran oposisi di parlemen. Dalam hal ini, partai yang sering
melakukan politik dua kaki adalah Golkar dan PKS. Tidak hanya itu, pada waktu
terakhir, politik dua kaki telah menjadi “budaya” yang sulit dihilangkan.
Adanya politik dua kaki ini sebenarnya
merupakan konsekuensi logis dari sistem pemerintahan presidensial-multipartai. Ini
sebenarnya merupakan konsekuensi akut. Sistem presidensial dipaksa
mengakomodasi koalisi parpol seperti dalam sistem parlementer. Inilah yang
disebut dengan politik transaksional, politik yang hanya didasarkan pada
kepentingan sesaat dan melahirkan kerjasama politik semu. Akibatnya, penyatuan tujuan
menjadi jauh panggang dari api karena diwarnai oleh silang kepentingan. Idealisme
politik Setgab Koalisi kini telah mengalami pergeseran bahkan penyusutan. Inilah
gambaran bahwa partai koalisi mengalami inkonsistensi (tidak konsisten).
Pertanyaannya kemudian, bagaimana bisa partai
koalisi menjalankan politik dua kaki? Apakah karena minimnya komitmen sehingga
mengabaikan tujuan awal dalam mendukung pemerintah?
Empat Alasan
Setidaknya,
ada empat alasan kenapa partai koalisi menjalankan politik dua kaki sehingga
mengalami inkonsistensi: pertama, adanya silang kepentingan antara
partai koalisi dan pemerintah. Ini menjadi alasan utama ketika partai koalisi dipertemukan
dengan “perseberangan kepentingan” yang tidak sesuai dengan kepentingan
partainya.
Kedua, belum maksimalnya sistem pemerintahan
presidensial. Presiden Yudhoyono sebagai Pimpinan Setgab Koalisi cenderung
kurang tegas dalam menyikapi partai koalisi yang menjalankan oposisi di
parlemen. Sikap ini yang pada akhirnya akan memberikan “celah” berupa
kesempatan untuk menghindar dari kesepakatan awal. Partai koalisi yang tidak
sejalan dengan kesepakatan kabinet akan merasa memiliki “kewenangan” untuk
menghindar.
Ketiga, kontrak koalisi yang tidak jelas. Kontrak koalisi
yang seharusnya menjadi syarat awal dalam membangun hubungan politik, ternyata
malah diabaikan. Sehingga, ketidakjelasan kontrak koalisi pada gilirannya akan
memicu adanya inkonsistensi dari partai koalisi dalam konteks pemerintahan
demokrasi.
Keempat, terlalu mementingkan kuantitas daripada
kualitas. Hal ini terlihat dari gemuknya koalisi yang ada di Setgab. Dengan
kata lain, koalisi pada jilid II kini hanya merangkul partai
sebanyak-banyaknya, tetapi mengesampingkan pentingnya soliditas dan kohesivitas
anggota partai dalam membangun hubungan politik.
Dengan adanya empat pemicu politik dua kaki di
atas, setidaknya telah melahirkan hipotesis yakni, inkonsistensi partai dalam
Setgab Koalisi. Inkonsistensi ini, jika dibiarkan pada gilirannya akan
berpengaruh pada stabilitas peran pemerintahan. Wajar jika isu reshuffle
menjadi santer diwacanakan, utamanya oleh Partai Demokrat (PD) sebagai partai
yang merepresentasikan politik SBY.
Menyikapi persoalan itu, dibutuhkan komunikasi
politik yang sejalan demi membangun soliditas dalam Setgab Koalisi. Karena
walau bagaimanapun, komunikasi politik merupakan wahana bagaimana interaksi
atau konstruksi ide dalam membentuk pemerintahan yang solid bisa tercapai.
Sehingga, berbagai kecacatan, seperti silang kepentingan antar anggota Setgab
Koalisi, bisa terselesaikan. Dan, perpecahan yang ditandai dengan adanya isu reshuffle,
tidak perlu terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar