Perbincangan
seputar pendidikan kian marak diperbincangkan dan menjadi tema perdebatan di
berbagai kalangan, pemerhati dan praktisi pendidikan. Terkait dengan perubahan
jadwal Ujian Nasional.
Berdasarkan
peraturan Meneri Pendidikan Nasional Nomor 75 Tahun 2009 Tentang Ujian Nasional
(UN), SMP/MTS, SMK sederajat, jadwal UN yang biasanya dilaksankan pada bulan April
dimajukan menjadi Maret. UN untuk tingkat SMA sederajat dilaksanakan minggu
ketiga Maret 2010, sedangkan untuk SMP sederajat pada minggu keempat Maret 2010
(Kompas, 12/11/2010).
Hal ini
menimbulkan tanda tanya, apakah perubahan tersebut dapat merubah ke arah
perbaikan? Atau hanya sebagai rutinitas dan formalitas semata?
Sebelumnya,
banyak kalangan mempermasalahkan keberadaan UN karena tidak dapat (tidak
sesuai) dijadikan barometer kelulusan siswa kelas akhir (SKA) karena kemampuan
dan bakat siswa bukan hanya mengacu pada materi yang diajukan. Sehingga, pada
tahun lalu, fenomena banyaknya SKA yang tidak lulus semakin menggurita dan
menajdi problem akut yang telah lama mencuat ke permukaan. Di samping itu,
tanpa menyertakan nilai afektif dan psikomotorik, seperti mustahil dijadikan
ukuran kelulusan. Padahal, indikator pendidikan sejatinya adalah untuk
membentuk manusia yang memiliki kecerdasan di semua bidang, baik kognitif,
afektif, maupun psikomotorik.
Dengan tiga
penilaian demikian, maka pendidikan dapat menemukan irama permainan terbaiknya,
yakni mencetak kader-kader berkemampuan matang dan memiliki kompetensi di semua
aspek, dapat diharapkan menjadi manuisia yng dapat memeberikan kontribusi urgen
bagi kemajuan bangsa.
Perubahan ke Arah Perbaikan
Dalam
peraturan Menteri Pendidikan Nasional bahwa pada tahun pelajaran ini UN akan
dilaksanakan dalam dua tahap, sebagai konsekuensi dari dimajukannya jadwal UN. UN
tahap kedua ini adalah sebagai sebentuk kesempatan kedua untuk SKA yang tidak
lulus dalam UN tahap pertama.
Hal ini
menghadirkan angin segar bagi kalangan SKA tahun ini. Sebab, dengan keputusan
tersebut siswa diharapkan dapat menyambut UN sebagai ujian sekolah yang menguji
kemampuan di bidang tertentu. Bukan malah menganggap UN sebagai “monster” yang
menakutkan.
Akan tetapi,
perubahan tersebut belum tentu dapat memperbaiki kualitas pendidikan. Sebab,
meskipun berubah demikian, namun materi yang diujikan dan penilaian yang
diajukan hanya berkutat pada ranah kognitif semata, kelulusan SKA tetap tidak
dapat menjadi barometer keberhasilan pendidikan dalam mencetak kader bangsa
yang berkualitas. Sebab, tanpa didasari dengan penilaian tingkah laku dan/atau
moral (penilaian afektif) dan keterampilan dan/atau kreasi (nilai
psikomotorik), kualitas kelulusan pendidikan SKA masih jauh panggang dari api.
Dan mimpi pendidikan sebagai wahana pencerdasan dan transformasi sosial tidak
akan menemui titik terang.
Kemudian,
pada babakan selanjutnya, gerakan apa yang harus dilakukan pemerintah (Mendiknas)
dalam memperbaiki kualitas kelulusan pendidikan melalui UN sebagai ukuran
kelulusan SKA? Dalam hal ini, setdaknya pemerintah (Mendiknas) dapat mengambil
inisiatif. Pertama, mengikutsertakan lembaga sekolah/madrasah berdasar
pada penilaian afektif dan psikomotorik. Mengingat di era Dunia Ketiga ini,
bangsa ini sedang ditimpa krisis moral yang cukup mencengangkan. Oleh sebab
itu, mencernakan dua nilai di atas menjadi harga mati yang tak bisa ditawar.
Sehingga, pendidikan sebagai wahana pencerdasan moral-spiritual tidak hanya
menjadi “slogan” yang terpampang di mana-mana.
Kedua, meningkatkan
pengawasan dari berbagai pihak keamanan yang bertugas mengawasi jalan UN. Sebab,
kesalahan tahun lalu, dengan mencuatnya problem tindak kecurangan yang
dilakukan, bahkan ironisnya, hal itu dilakukan oleh seorang guru, maupun
pengelola lembaga pendidikan, tidak dapat terulang kembali di UN tahun ini. Dalam
konteks ini, kejujuran dari berbagai pihak menjadi hal urgen dilakukan.
Sehingga, pendidikan dapat membedakan antara siswa yang memang memiliki skill
dalam megerjakan materi yang di-UN-kan.
Ketiga, mengobservasi
kemampuan siswa di setiap lembaga pendidikan dalam tujuan mengetahui bakak dan
minat siswa dan dapat diujikan melalui UN. Karena bakat dan minat setiap siswa
tidak hanya terpaku pada materi tertentu misal, Matematika, Bahasa Inggris,
Bahasa Indonesia, dan lain sejenisnya.
Tiga langkah
di atas penting dipertimbangkan mengingat pendidikan sebagai jembatan
transformasi sosial, pencerdasan, dan peningkatan kualitas hidup sosial dapat
terlaksana dan tidak hanya berkutat pada penilaian akademik semata, melainkan
melalui penilaian moral, spiritual, emosional, kreativitas (life skill)
dan semacamnya.
Dengan
demikian, kualitas kelulusan pendidikan tahun ini melalui UN sebagai barometer
kelulusan siswa, menjadi kenyataan tak terbantahkan dan pendidikan dapat menemukan
(kembali) ruhnya sebagai wahana pencerdasan sosial dan jembatan transformasi
sosial dalam mengembangkan dan memberikan kontribusi bagi kemajian dan
peningkatan SDM bangsa kita. Tak terkecuali dalam konteks Jawa Timur. Wallahu
A’lam.
·
tulisan ini dimuat di Harian Radar Madura edisi Rabu, 2 Desember
2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar