Mengenai Saya

Rabu, 12 Oktober 2011

UN Diharapkan Lebih Baik*


Perbincangan seputar pendidikan kian marak diperbincangkan dan menjadi tema perdebatan di berbagai kalangan, pemerhati dan praktisi pendidikan. Terkait dengan perubahan jadwal Ujian Nasional.
Berdasarkan peraturan Meneri Pendidikan Nasional Nomor 75 Tahun 2009 Tentang Ujian Nasional (UN), SMP/MTS, SMK sederajat, jadwal UN yang biasanya dilaksankan pada bulan April dimajukan menjadi Maret. UN untuk tingkat SMA sederajat dilaksanakan minggu ketiga Maret 2010, sedangkan untuk SMP sederajat pada minggu keempat Maret 2010 (Kompas, 12/11/2010).
Hal ini menimbulkan tanda tanya, apakah perubahan tersebut dapat merubah ke arah perbaikan? Atau hanya sebagai rutinitas dan formalitas semata?
Sebelumnya, banyak kalangan mempermasalahkan keberadaan UN karena tidak dapat (tidak sesuai) dijadikan barometer kelulusan siswa kelas akhir (SKA) karena kemampuan dan bakat siswa bukan hanya mengacu pada materi yang diajukan. Sehingga, pada tahun lalu, fenomena banyaknya SKA yang tidak lulus semakin menggurita dan menajdi problem akut yang telah lama mencuat ke permukaan. Di samping itu, tanpa menyertakan nilai afektif dan psikomotorik, seperti mustahil dijadikan ukuran kelulusan. Padahal, indikator pendidikan sejatinya adalah untuk membentuk manusia yang memiliki kecerdasan di semua bidang, baik kognitif, afektif, maupun psikomotorik.
Dengan tiga penilaian demikian, maka pendidikan dapat menemukan irama permainan terbaiknya, yakni mencetak kader-kader berkemampuan matang dan memiliki kompetensi di semua aspek, dapat diharapkan menjadi manuisia yng dapat memeberikan kontribusi urgen bagi kemajuan bangsa.

Perubahan ke Arah Perbaikan
Dalam peraturan Menteri Pendidikan Nasional bahwa pada tahun pelajaran ini UN akan dilaksanakan dalam dua tahap, sebagai konsekuensi dari dimajukannya jadwal UN. UN tahap kedua ini adalah sebagai sebentuk kesempatan kedua untuk SKA yang tidak lulus dalam UN tahap pertama.
Hal ini menghadirkan angin segar bagi kalangan SKA tahun ini. Sebab, dengan keputusan tersebut siswa diharapkan dapat menyambut UN sebagai ujian sekolah yang menguji kemampuan di bidang tertentu. Bukan malah menganggap UN sebagai “monster” yang menakutkan.
Akan tetapi, perubahan tersebut belum tentu dapat memperbaiki kualitas pendidikan. Sebab, meskipun berubah demikian, namun materi yang diujikan dan penilaian yang diajukan hanya berkutat pada ranah kognitif semata, kelulusan SKA tetap tidak dapat menjadi barometer keberhasilan pendidikan dalam mencetak kader bangsa yang berkualitas. Sebab, tanpa didasari dengan penilaian tingkah laku dan/atau moral (penilaian afektif) dan keterampilan dan/atau kreasi (nilai psikomotorik), kualitas kelulusan pendidikan SKA masih jauh panggang dari api. Dan mimpi pendidikan sebagai wahana pencerdasan dan transformasi sosial tidak akan menemui titik terang.
Kemudian, pada babakan selanjutnya, gerakan apa yang harus dilakukan pemerintah (Mendiknas) dalam memperbaiki kualitas kelulusan pendidikan melalui UN sebagai ukuran kelulusan SKA? Dalam hal ini, setdaknya pemerintah (Mendiknas) dapat mengambil inisiatif. Pertama, mengikutsertakan lembaga sekolah/madrasah berdasar pada penilaian afektif dan psikomotorik. Mengingat di era Dunia Ketiga ini, bangsa ini sedang ditimpa krisis moral yang cukup mencengangkan. Oleh sebab itu, mencernakan dua nilai di atas menjadi harga mati yang tak bisa ditawar. Sehingga, pendidikan sebagai wahana pencerdasan moral-spiritual tidak hanya menjadi “slogan” yang terpampang di mana-mana.
Kedua, meningkatkan pengawasan dari berbagai pihak keamanan yang bertugas mengawasi jalan UN. Sebab, kesalahan tahun lalu, dengan mencuatnya problem tindak kecurangan yang dilakukan, bahkan ironisnya, hal itu dilakukan oleh seorang guru, maupun pengelola lembaga pendidikan, tidak dapat terulang kembali di UN tahun ini. Dalam konteks ini, kejujuran dari berbagai pihak menjadi hal urgen dilakukan. Sehingga, pendidikan dapat membedakan antara siswa yang memang memiliki skill dalam megerjakan materi yang di-UN-kan.
Ketiga, mengobservasi kemampuan siswa di setiap lembaga pendidikan dalam tujuan mengetahui bakak dan minat siswa dan dapat diujikan melalui UN. Karena bakat dan minat setiap siswa tidak hanya terpaku pada materi tertentu misal, Matematika, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, dan lain sejenisnya.
Tiga langkah di atas penting dipertimbangkan mengingat pendidikan sebagai jembatan transformasi sosial, pencerdasan, dan peningkatan kualitas hidup sosial dapat terlaksana dan tidak hanya berkutat pada penilaian akademik semata, melainkan melalui penilaian moral, spiritual, emosional, kreativitas (life skill) dan semacamnya.
Dengan demikian, kualitas kelulusan pendidikan tahun ini melalui UN sebagai barometer kelulusan siswa, menjadi kenyataan tak terbantahkan dan pendidikan dapat menemukan (kembali) ruhnya sebagai wahana pencerdasan sosial dan jembatan transformasi sosial dalam mengembangkan dan memberikan kontribusi bagi kemajian dan peningkatan SDM bangsa kita. Tak terkecuali dalam konteks Jawa Timur. Wallahu A’lam.

·         tulisan ini dimuat di Harian Radar Madura edisi Rabu, 2 Desember 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar