Kompleksitas
persoalan pendidikan, hingga hari ini nyaris mencapai titik klimaks memiriskan.
Ini terlihat ketika berbagai problem dialami oleh lembaga pendidikan dewasa
ini, mulai dari rendahnya kualitas sumber daya dan profesionalisme tenaga
pendidik dalam proses kegiatan belajar mengajar (KBM), sampai pada manajemen
kurikulum yang telah berjalan (actual curriculum), tak kunjung mencapai
target kurikulum yang dicita-citakan (ideal curriculum). Bukan hanya
itu, problem eksternal juga terlihat ketika output pendidikan seringkali
melakukan tindak penyimpangan sosial (amoral), kriminal, dan lain sejenisnya.
Persoalan
semakin runyam, ketika menyentuh ke ranah kebijakan mengenai UN, misalnya.
Meski sudah banyak kalangan yang melakukan otokritik terhadap pemerintah
tentang diadakannya UN. Namun kenapa kemudian, sampai detik ini, UN tetap
berjalan, mengalir tanpa ada perubahan yang pasti. Setidaknya dari inilah akan
lahir sebuah persepsi bahwa pendidikan kita—yang dikendalikan oleh
pemerintah—mengalami pergeseran paradigma (shifting paradigm) ke
pragmatis. Sehingga wajar jika kemudian Francisco Wafforrt mengarakan bahwa
pendidikan acapkali menjadi lahan segala hasrat manusiawi, seperti politik,
ambiguitas, tersedot di dalamnya. Dengan kata lain, pendidikan (dalam hal ini
sekolah) menjadi lahan empuk dalam memuaskan hasrat manusiawi para stakeholder
(pembuat kebijakan) dalam dunia pendidikan. Malangnya, mentalitas pragmatis
yang melekat pada diri pembuat kebijakan pendidikan, seakan telah menjadi
“hiasan” yang tak pernah usang.
Sekolah
sebagai lokal sentral proses transfer ilmu pengetahuan, ternyata mengalami
kesulitan ketika harus “bersentuhan” dengan UN. Tak ayal jika kemudian banyak
siswa yang menghalalkan segala cara demi memperoleh ‘sertifikat’ kelulusan.
Bahkan ironisnya, berbagai praktik kecurangan dilakukan oleh pengelola instansi
sekolah. Sehingga dampak dari hal tersebut pada akhirnya akan menjadikan anak
didik sebagai lulusan yang kurang (untuk tidak mengatakan “tidak bisa”)
kompeten setelah mereka lulus sekolah.
Berbagai
persoalan pelik di atas, setidaknya akan membawa dampak akut yang kian mencuat
ke permukaan yang pada titik klimaksnya akan semakin memperkokoh persepsi
buramnya dunia pendidikan kita. Tantangan yang muncul sebagai bentuk
pengejawantahan dari upaya mencapai pendidikan idealis-formalistik semata,
semakin membuat kita sadar bahwa sejatinya tujuan pendidikan, sebagai wahana
mencerdaskan kehidulpan bangsa dan jembatan transformasi sosial, semakin
menjauh dan tercerabut dari akarnya, sehingga idealisme pendidikan sulit bahkan
sukar dicapai.
Akreditasi A dan Sebuah Pijakan
Namun, di
balik itu, ada hal menarik yang dapat kita saksikan, yakni adanya lembaga
pendidikan yang terakreditasi A, lembaga pendidikan (sekolah) yang dapat
dikatakan populer di masyarakat luas. Umumnya, sekolah semacam ini
“digandrungi” banyak kalangan. Beragam pujian pun bercurcuran pada sekolah yang
terakreditasi A ini. Namun, permasalahannya, dapatkah dekolah semacam ini
mengemban amanah yang telah diberikan? Atukah jangan-jangan sekolah hanya ingin
“popularitas doank” dengan menyandang gelar demikian? Inilah relevansi
pertanyaan: A, kebanggaan atau tantangan?
Di sinilah
pentingnya seluruh elemen penting pengelola pendidikan harus dapat duduk
bersama, berkontemplasi, merumuskan pelbagai langkah yang harus dilakukan. Pertama,
gelar yang cukup luar biasa itu, sewajarnya menjadi sebuah tungku pembakar
semangat para pendidik untuk terus meningkatkan profesionalismenya demi membangun
kader-kader bangsa (baca: anak didik) yang berkualitas. Sumber daya rendah yang
dimiliki pendidik belakangan ini, setidaknya menjadi hambatan yang harus segera
dibenahi. Bukan hanya pada ranah konsep an-sich, tetapi gerakan praksis
penting diumikan. Semisal, dalam kelas, pendidik hanya mampu memberikan materi
tanpa diseimbangi dengan keluesan dalam membangun minat belajar anak didik,
hanya akan membuat mereka (baca: siswa) merasa tertekan.
Konteks
inilah pentingnya pendidik (meng)-aktualisasi subtansi akreditasi A sebagai
pemacu ghirah dan minat anak didik untuk terus belajar, yakni dengan
langkah menciptakan suasana kondusif dengan metode apapun, bagaimana kemudian
anak didik terlibat aktif dalam proses KBM. Dan tanpa pandang bulu, dalam arti,
pendidik tidak membeda-bedakan siswa pintar dan siswa bodoh, kaya dan miskin,
dan sejenisnya. Seperti gagasan John Comenius (Jan Komensky, 1592-1670),
melalui karyanya Dedactica Magna (“Seni Pengajaran yang Agung”),
menggagas “pendidikan untuk semua”, yakni pendidikan yang dapat dinikmati semua
kalangan dan dari level apapun. Karena gelar akreditasi A ini merupakan cermin
bagi lembaga pendidikan yang terbuka bagi semua kalangan. Artinya,
menghilangkan paradigma dari sekolah yang terkesan elite, sekolah yang hanya
menerima siswa berkemampuan finansial mumpuni (baca: kaya), menjadi keharusan
dilakukan. Karena pendidikan mempunyai kandungan universal, bukan terikat pada
ranah pragmatisme belaka, seperti tergambar di awal.
Kedua,
reorientasi kurikulum, menjadi kurikulum berbasis minat dan kebutuhan siswa.
Ini menjadi penting diterapkan, mengingat minat dan potensi siswa tidak selalu
sama. Hal ini dapat dilakukan dengan memfokuskan pada mata pelajaran tertentu.
Karena tingginya target kognitif yang harus dicapai dalam semua mata pelajaran,
pada gilirannya akan menyulitkan siswa dalam mimilih dan menentukan materi
pelajaran apa yang harus mereka perdalam, sehingga potensi akan didik pun
menjdi burum.
Dengan kedua
langkah demikian, diharapkan akreditasi A menjadi sebuah simbol untuk
“berproses” bagi sekolah yang menyandangnya. Dan bukan sebagai kebanggaan yang
harus dirayakan. Melainkan, mengembangkan dan terus memperbaiki kulitas di
berbagai aspek—kurikulum dan tenaga pendidik—menajdi sebuah lembaga pendidikan menuju
kesempurnaan, adalah harga mati yang tak bisa ditawar.
Akhirnya,
sebagai sebuah pijakan, penulis melancarkan pandangan AS Laksana yang
mengilustrasikan lembaga pendidikan sebagai sebuah pabrik: di pabrik yang baik,
anak kita (siswa, pen.) mungkin bisa diolah menjadi biskuit yang lezat atau
kripik yang gurih dan renyah atau menjadi tahu nomer satu. Sebaliknya, di
pabrik yang bekerja asal-asalan, mereka bisa menjadi biskuit beracun atau tahu
masam yang akan membuat perut kita mules-mules (AS Laksana, Tentang
Bangsa yang Gagal Belajar, Jawa Pos 21/02/2010 hal. 12).
Artinya,
lembaga pendidikan yang baik adalah lembaga pendidikan yang harus serius
berupaya menumbuhkembangkan potensi yang dimiliki anak didik. Serius tanpa
adanya unsur egosentrisme individualistik seorang pendidik dan pengelola
pendidikan. Karena terkadang, mereka (pengelola pendidikan, temasuk pendidik)
hanya mengharapkan imbalan dan –meminjam istilah Fathorrahman Hasbul- telah
terjebak pada sindrom materialisme. Oleh karena itu, menjadi sebuah kewajiban
bagi seorang pendidik untuk selalu berusaha menjadi pribadi ideal, sebagai
pribadi yang pantas digugu (dipercaya) dan ditiru (diteladani).
Supaya, dengan demikian dan dengan sekolah yang sudah terakreditasi A,
pendidikan berjalan kondusif, bijak, dan komprehensif.
* tulisan
ini dipublikasikan oleh Majalah SENSASI edisi pertama pada april 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar