Mengenai Saya

Rabu, 12 Oktober 2011

Potret (Buram) Pendidikan Kita


Kompleksitas persoalan pendidikan, hingga hari ini nyaris mencapai titik klimaks memiriskan. Ini terlihat ketika berbagai problem dialami oleh lembaga pendidikan dewasa ini, mulai dari rendahnya kualitas sumber daya dan profesionalisme tenaga pendidik dalam proses kegiatan belajar mengajar (KBM), sampai pada manajemen kurikulum yang telah berjalan (actual curriculum), tak kunjung mencapai target kurikulum yang dicita-citakan (ideal curriculum). Bukan hanya itu, problem eksternal juga terlihat ketika output pendidikan seringkali melakukan tindak penyimpangan sosial (amoral), kriminal, dan lain sejenisnya.
Persoalan semakin runyam, ketika menyentuh ke ranah kebijakan mengenai UN, misalnya. Meski sudah banyak kalangan yang melakukan otokritik terhadap pemerintah tentang diadakannya UN. Namun kenapa kemudian, sampai detik ini, UN tetap berjalan, mengalir tanpa ada perubahan yang pasti. Setidaknya dari inilah akan lahir sebuah persepsi bahwa pendidikan kita—yang dikendalikan oleh pemerintah—mengalami pergeseran paradigma (shifting paradigm) ke pragmatis. Sehingga wajar jika kemudian Francisco Wafforrt mengarakan bahwa pendidikan acapkali menjadi lahan segala hasrat manusiawi, seperti politik, ambiguitas, tersedot di dalamnya. Dengan kata lain, pendidikan (dalam hal ini sekolah) menjadi lahan empuk dalam memuaskan hasrat manusiawi para stakeholder (pembuat kebijakan) dalam dunia pendidikan. Malangnya, mentalitas pragmatis yang melekat pada diri pembuat kebijakan pendidikan, seakan telah menjadi “hiasan” yang tak pernah usang.
Sekolah sebagai lokal sentral proses transfer ilmu pengetahuan, ternyata mengalami kesulitan ketika harus “bersentuhan” dengan UN. Tak ayal jika kemudian banyak siswa yang menghalalkan segala cara demi memperoleh ‘sertifikat’ kelulusan. Bahkan ironisnya, berbagai praktik kecurangan dilakukan oleh pengelola instansi sekolah. Sehingga dampak dari hal tersebut pada akhirnya akan menjadikan anak didik sebagai lulusan yang kurang (untuk tidak mengatakan “tidak bisa”) kompeten setelah mereka lulus sekolah.
Berbagai persoalan pelik di atas, setidaknya akan membawa dampak akut yang kian mencuat ke permukaan yang pada titik klimaksnya akan semakin memperkokoh persepsi buramnya dunia pendidikan kita. Tantangan yang muncul sebagai bentuk pengejawantahan dari upaya mencapai pendidikan idealis-formalistik semata, semakin membuat kita sadar bahwa sejatinya tujuan pendidikan, sebagai wahana mencerdaskan kehidulpan bangsa dan jembatan transformasi sosial, semakin menjauh dan tercerabut dari akarnya, sehingga idealisme pendidikan sulit bahkan sukar dicapai.

Akreditasi A dan Sebuah Pijakan
Namun, di balik itu, ada hal menarik yang dapat kita saksikan, yakni adanya lembaga pendidikan yang terakreditasi A, lembaga pendidikan (sekolah) yang dapat dikatakan populer di masyarakat luas. Umumnya, sekolah semacam ini “digandrungi” banyak kalangan. Beragam pujian pun bercurcuran pada sekolah yang terakreditasi A ini. Namun, permasalahannya, dapatkah dekolah semacam ini mengemban amanah yang telah diberikan? Atukah jangan-jangan sekolah hanya ingin “popularitas doank” dengan menyandang gelar demikian? Inilah relevansi pertanyaan: A, kebanggaan atau tantangan?
Di sinilah pentingnya seluruh elemen penting pengelola pendidikan harus dapat duduk bersama, berkontemplasi, merumuskan pelbagai langkah yang harus dilakukan. Pertama, gelar yang cukup luar biasa itu, sewajarnya menjadi sebuah tungku pembakar semangat para pendidik untuk terus meningkatkan profesionalismenya demi membangun kader-kader bangsa (baca: anak didik) yang berkualitas. Sumber daya rendah yang dimiliki pendidik belakangan ini, setidaknya menjadi hambatan yang harus segera dibenahi. Bukan hanya pada ranah konsep an-sich, tetapi gerakan praksis penting diumikan. Semisal, dalam kelas, pendidik hanya mampu memberikan materi tanpa diseimbangi dengan keluesan dalam membangun minat belajar anak didik, hanya akan membuat mereka (baca: siswa) merasa tertekan.
Konteks inilah pentingnya pendidik (meng)-aktualisasi subtansi akreditasi A sebagai pemacu ghirah dan minat anak didik untuk terus belajar, yakni dengan langkah menciptakan suasana kondusif dengan metode apapun, bagaimana kemudian anak didik terlibat aktif dalam proses KBM. Dan tanpa pandang bulu, dalam arti, pendidik tidak membeda-bedakan siswa pintar dan siswa bodoh, kaya dan miskin, dan sejenisnya. Seperti gagasan John Comenius (Jan Komensky, 1592-1670), melalui karyanya Dedactica Magna (“Seni Pengajaran yang Agung”), menggagas “pendidikan untuk semua”, yakni pendidikan yang dapat dinikmati semua kalangan dan dari level apapun. Karena gelar akreditasi A ini merupakan cermin bagi lembaga pendidikan yang terbuka bagi semua kalangan. Artinya, menghilangkan paradigma dari sekolah yang terkesan elite, sekolah yang hanya menerima siswa berkemampuan finansial mumpuni (baca: kaya), menjadi keharusan dilakukan. Karena pendidikan mempunyai kandungan universal, bukan terikat pada ranah pragmatisme belaka, seperti tergambar di awal.
Kedua, reorientasi kurikulum, menjadi kurikulum berbasis minat dan kebutuhan siswa. Ini menjadi penting diterapkan, mengingat minat dan potensi siswa tidak selalu sama. Hal ini dapat dilakukan dengan memfokuskan pada mata pelajaran tertentu. Karena tingginya target kognitif yang harus dicapai dalam semua mata pelajaran, pada gilirannya akan menyulitkan siswa dalam mimilih dan menentukan materi pelajaran apa yang harus mereka perdalam, sehingga potensi akan didik pun menjdi burum.
Dengan kedua langkah demikian, diharapkan akreditasi A menjadi sebuah simbol untuk “berproses” bagi sekolah yang menyandangnya. Dan bukan sebagai kebanggaan yang harus dirayakan. Melainkan, mengembangkan dan terus memperbaiki kulitas di berbagai aspek—kurikulum dan tenaga pendidik—menajdi sebuah lembaga pendidikan menuju kesempurnaan, adalah harga mati yang tak bisa ditawar.
Akhirnya, sebagai sebuah pijakan, penulis melancarkan pandangan AS Laksana yang mengilustrasikan lembaga pendidikan sebagai sebuah pabrik: di pabrik yang baik, anak kita (siswa, pen.) mungkin bisa diolah menjadi biskuit yang lezat atau kripik yang gurih dan renyah atau menjadi tahu nomer satu. Sebaliknya, di pabrik yang bekerja asal-asalan, mereka bisa menjadi biskuit beracun atau tahu masam yang akan membuat perut kita mules-mules (AS Laksana, Tentang Bangsa yang Gagal Belajar, Jawa Pos 21/02/2010 hal. 12).
Artinya, lembaga pendidikan yang baik adalah lembaga pendidikan yang harus serius berupaya menumbuhkembangkan potensi yang dimiliki anak didik. Serius tanpa adanya unsur egosentrisme individualistik seorang pendidik dan pengelola pendidikan. Karena terkadang, mereka (pengelola pendidikan, temasuk pendidik) hanya mengharapkan imbalan dan –meminjam istilah Fathorrahman Hasbul- telah terjebak pada sindrom materialisme. Oleh karena itu, menjadi sebuah kewajiban bagi seorang pendidik untuk selalu berusaha menjadi pribadi ideal, sebagai pribadi yang pantas digugu (dipercaya) dan ditiru (diteladani). Supaya, dengan demikian dan dengan sekolah yang sudah terakreditasi A, pendidikan berjalan kondusif, bijak, dan komprehensif.

* tulisan ini dipublikasikan oleh Majalah SENSASI edisi pertama pada april 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar