Judul Buku : KEMI: Cinta
Kebebasan yang Tersesat
Penulis
: Adian
Husaini
Penerbit : Gema Insani,
Jakarta
Cetakan : Desember, 2010
Tebal
: 316 halaman
Peresensi : Muhammad
Mihrob*
Sejak Majelis
Ulama Indonesia (MUI) pada Juli 2005 lalu mengeluarkan fatwa haram bagi umat Islam
dalam menganut liberalisme karena bertentangan dengan spirit agama, bumi Indonesia
seakan menjadi dua warna. Warna yang satu mencerca kalau MUI itu tolol dan
bodoh bahkan harus dibubarkan karena dianggap melawan titah sang tuan. Sementara,
warna yang lain membenarkan pernyataan bahwa liberalisme (paham kebebasan
menurut keyakinan sendiri) akan meracuni pikiran dan hati umat muslim sehingga
lepas dari ajaran Tauhid para Nabi.
Kebebasan
yang berlandaskan kesadaran atas ketertindasan dan keterpasungan menjadi “solusi
absurd” dalam menempuh kemerdekaan dari segala hegemoni yang melandanya.
Seperti belakangan mencuat wacana emansipasi wanita dengan jargon feminisme-nya.
Kebebasan dalam menentukan kepercayaan dan keyakinan beragama bagi seluruh umat
melahirkan istilah “pluralisme agama”. Akan tetapi, kadangkala keinginan
seseorang untuk bebas tak jarang menerobos batas norma agama, sosial dan
tradisi. Mungkin, orang yang merasa risih dan tidak betah terhadap tradisi yang
dikonstruk oleh budaya agama akan menjadi alasan untuk bebas secara lahiriah
dari hukum dan ketetapannya sebagai seorang muslim, sehingga mencuat gagasan
untuk membentuk “agama baru” yang berlandaskan logika kemanusisaan (akal),
yakni Islam Liberal.
Setidaknya,
itulah yang menjadi gambaran awal ketika menuntaskan novel KEMI: Cinta
Kebebasan yang Tersesat. Dalam novel setebal 316 ini diceritakan seorang Ahmad
Sukaimi (Kemi; sapaannya) adalah santri yang “meninggalkan” pesantren tanpa
mendapat restu dari kyainya untuk melanjutkan kuliah di salah satu universitas di
Jakarta. Gilirannya, ia “terjerat” kelompok Islam Liberal yang menjanjikan
kebebasan dan kesenangan dengan aktivitas doktrinasinya; mengajak semua orang
berpaham kebebasan tanpa memerhatikan aspek spiritual sekalipun. Kehidupan yang
dilalui Kemi begitu menantang. Mengadakan acara yang bertajuk liberalisasi
melalui LSM-LSM dan forum-forum diskusi yang menentang terhadap metode dan pemikiran
Islam klasik lagi tradisional, menuju pemahaman Islam kontemporer yang lebih
mementingkan ramah sosial daripada beribadah kepada Tuhan. Praktik syariah
berupa ritual keagamaan tidak lagi dijadikan dasar dalam kehidupan Kemi.
Tidak jauh
beda dengan Siti, mahasiswi keturunan “darah biru”, yang secara tidak langsung
menentang ayahnya dengan menyokong gerakan penolakan terhadap RUU
Antipornografi dan Pornoaksi oleh MUI (hlm. 199). Siti menjadi bagian dari
kelompok Kemi yang gempar menyuarakan liberalisasi Islam, kesetaraan gender,
dan pluralisme agama, hingga tak lagi membedakan dirinya apakah laki-laki atau
perempuan. Bagi Siti, laki-laki dan perempuan sama saja ihwal hak dan
kewajibannya sebagai manusia. Namun, pada akhirnya, fitrah kewanitaan yang ada
pada diri Siti memberontak. Karena walau bagaimanapun Siti adalah makhluk yang
membutuhkan laki-laki, membutuhkan pasangan hidup, dan membutuhkan kasih
sayang, termasuk juga dari keluarganya (hlm. 200).
Oleh
karenanya, Siti membongkar seluruh “kebejatan” yang ada pada kelompok Islam
Liberal dengan membeberkan misi dan taktik-taktiknya kepada Rahmat. Seorang Rahmat,
yang diutus oleh kyai Rois (pengasuh pesantren Minhajul Abidin tempat Kemi nyantri
dulu) untuk menyelamatkan Kemi, sekaligus menentang pemikiran dan
gerakan-gerakan Islam Liberal, mulai paham bahwa kelompok itu tak lebih merupakan
penyakit yang pada akhirnya akan menghancurkan keutuhan Islam, utamanya
generasi pesantren. Sepak terjang Rahmat (sebagai seorang santri) dalam melawan
logika pemikiran liberalisme begitu tampak ketika ia mampu membuat “mati kutu”
Prof. Malikan, salah seorang dosennya.
Sebagai
lulusan International Institute of Islamic Thought and Civilization-International
Islamic University Malaysia (ISTAC-IIUM), Adian Husaini, penulis novel ini,
sangat lihai mengolah logika dalam wacana pemikiran Islam klasik-kontemporer.
Seperti karakter pada tokoh Rahmat. Menyelami novel ini tidak jauh berbeda
dengan membaca buku ilmiah. Hanya saja, logika yang dibangun seakan menjadi
terkesan “provokatif” (utamanya mengenai gender) ketika dihadapkan pada
khazanah pemikiran kontemporer yang merekonstruksi teori emansipasi wanita
seperti yang terdapat dalam banyak buku.
Perbedaan
yang cukup mencolok ketika novel ini menjadi antitesa terhadap novel
Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah el-Khalieqy. Novel KEMI: Cinta
Kebebasan yang Tersesat jelas-jelas mengangkat kembali derajat pesantren
sebagai ‘lembaga pendidikan Islam yang ideal dan tokoh-tokoh pesantren yang
berwawasan luas, sekaligus gigih dalam membendung gelombang liberalisme’—seperti
ditulis oleh Taufiq Ismail ketika memberikan tanggapan terhadap novel ini—di
satu sisi. Akan tetapi, di sisi lain, dari unsur intrinsiknya, karakter tokoh
perempuan yang terdapat dalam novel ini seakan telah dibentuk secara subjektif,
sehingga mau tidak mau, pembaca diajak untuk menyetujui gagasan-gagasan yang
ditawarkan Adian tanpa harus memerhatikan aspek lain. Seperti yang terdapat
pada sub-bab berjudul Dialog Bejo dan Doktor Ita.
Kendati
begitu, novel ini tetap meneguhkan daya tariknya bukan hanya karena alur
ceritanya yang “fantastik” sehingga dapat membawa pembaca ke alam ilmiah dan
berimajinasi mengenai kondisi yang benar-benar menjadi tantangan umat Islam—dengan
setting kota metropolitan, Jakarta. Tetapi, pembaca juga akan memperoleh
wawasan tentang otentisitas khazanah keilmuan ulama Islam klasik yang terdapat
dalam karya-karyanya, dengan “permainan” logika yang rasional, utamanya dalam
hal ilmu Fiqh dan Tafsir.
Novel ini
penting bukan hanya bagi mereka yang masih berkeyakinan bahwa kebebasan (yang
sebebas-bebasnya) adalah jalan satu-satunya meraih kebahagiaan dalam kehidupan
sosial, ekonomi, khususnya keyakinan agama. Melainkan juga menjadi bacaan wajib
bagi kaum sarungan (baca: santri) yang mencintai keutuhan Islam dan memiliki
spirit dalam mengkaji pemikiran Islam klasik-kontemporer serta menuntut ilmu
Tuhan. Wallahu A’lam.
*) Pemain di
Klub NU Mimpi Lubangsa. Resensi ini dimuat dalam Majalah Muara edisi Tahun 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar