Mengenai Saya

Rabu, 12 Oktober 2011

Ironi Kebebasan Islam-Liberal



Judul Buku       : KEMI: Cinta Kebebasan yang Tersesat
Penulis             : Adian Husaini
Penerbit           : Gema Insani, Jakarta
Cetakan           : Desember, 2010
Tebal               : 316 halaman
Peresensi         : Muhammad Mihrob*
Sejak Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Juli 2005 lalu mengeluarkan fatwa haram bagi umat Islam dalam menganut liberalisme karena bertentangan dengan spirit agama, bumi Indonesia seakan menjadi dua warna. Warna yang satu mencerca kalau MUI itu tolol dan bodoh bahkan harus dibubarkan karena dianggap melawan titah sang tuan. Sementara, warna yang lain membenarkan pernyataan bahwa liberalisme (paham kebebasan menurut keyakinan sendiri) akan meracuni pikiran dan hati umat muslim sehingga lepas dari ajaran Tauhid para Nabi.
Kebebasan yang berlandaskan kesadaran atas ketertindasan dan keterpasungan menjadi “solusi absurd” dalam menempuh kemerdekaan dari segala hegemoni yang melandanya. Seperti belakangan mencuat wacana emansipasi wanita dengan jargon feminisme-nya. Kebebasan dalam menentukan kepercayaan dan keyakinan beragama bagi seluruh umat melahirkan istilah “pluralisme agama”. Akan tetapi, kadangkala keinginan seseorang untuk bebas tak jarang menerobos batas norma agama, sosial dan tradisi. Mungkin, orang yang merasa risih dan tidak betah terhadap tradisi yang dikonstruk oleh budaya agama akan menjadi alasan untuk bebas secara lahiriah dari hukum dan ketetapannya sebagai seorang muslim, sehingga mencuat gagasan untuk membentuk “agama baru” yang berlandaskan logika kemanusisaan (akal), yakni Islam Liberal.
Setidaknya, itulah yang menjadi gambaran awal ketika menuntaskan novel KEMI: Cinta Kebebasan yang Tersesat. Dalam novel setebal 316 ini diceritakan seorang Ahmad Sukaimi (Kemi; sapaannya) adalah santri yang “meninggalkan” pesantren tanpa mendapat restu dari kyainya untuk melanjutkan kuliah di salah satu universitas di Jakarta. Gilirannya, ia “terjerat” kelompok Islam Liberal yang menjanjikan kebebasan dan kesenangan dengan aktivitas doktrinasinya; mengajak semua orang berpaham kebebasan tanpa memerhatikan aspek spiritual sekalipun. Kehidupan yang dilalui Kemi begitu menantang. Mengadakan acara yang bertajuk liberalisasi melalui LSM-LSM dan forum-forum diskusi yang menentang terhadap metode dan pemikiran Islam klasik lagi tradisional, menuju pemahaman Islam kontemporer yang lebih mementingkan ramah sosial daripada beribadah kepada Tuhan. Praktik syariah berupa ritual keagamaan tidak lagi dijadikan dasar dalam kehidupan Kemi.
Tidak jauh beda dengan Siti, mahasiswi keturunan “darah biru”, yang secara tidak langsung menentang ayahnya dengan menyokong gerakan penolakan terhadap RUU Antipornografi dan Pornoaksi oleh MUI (hlm. 199). Siti menjadi bagian dari kelompok Kemi yang gempar menyuarakan liberalisasi Islam, kesetaraan gender, dan pluralisme agama, hingga tak lagi membedakan dirinya apakah laki-laki atau perempuan. Bagi Siti, laki-laki dan perempuan sama saja ihwal hak dan kewajibannya sebagai manusia. Namun, pada akhirnya, fitrah kewanitaan yang ada pada diri Siti memberontak. Karena walau bagaimanapun Siti adalah makhluk yang membutuhkan laki-laki, membutuhkan pasangan hidup, dan membutuhkan kasih sayang, termasuk juga dari keluarganya (hlm. 200).
Oleh karenanya, Siti membongkar seluruh “kebejatan” yang ada pada kelompok Islam Liberal dengan membeberkan misi dan taktik-taktiknya kepada Rahmat. Seorang Rahmat, yang diutus oleh kyai Rois (pengasuh pesantren Minhajul Abidin tempat Kemi nyantri dulu) untuk menyelamatkan Kemi, sekaligus menentang pemikiran dan gerakan-gerakan Islam Liberal, mulai paham bahwa kelompok itu tak lebih merupakan penyakit yang pada akhirnya akan menghancurkan keutuhan Islam, utamanya generasi pesantren. Sepak terjang Rahmat (sebagai seorang santri) dalam melawan logika pemikiran liberalisme begitu tampak ketika ia mampu membuat “mati kutu” Prof. Malikan, salah seorang dosennya.
Sebagai lulusan International Institute of Islamic Thought and Civilization-International Islamic University Malaysia (ISTAC-IIUM), Adian Husaini, penulis novel ini, sangat lihai mengolah logika dalam wacana pemikiran Islam klasik-kontemporer. Seperti karakter pada tokoh Rahmat. Menyelami novel ini tidak jauh berbeda dengan membaca buku ilmiah. Hanya saja, logika yang dibangun seakan menjadi terkesan “provokatif” (utamanya mengenai gender) ketika dihadapkan pada khazanah pemikiran kontemporer yang merekonstruksi teori emansipasi wanita seperti yang terdapat dalam banyak buku.
Perbedaan yang cukup mencolok ketika novel ini menjadi antitesa terhadap novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah el-Khalieqy. Novel KEMI: Cinta Kebebasan yang Tersesat jelas-jelas mengangkat kembali derajat pesantren sebagai ‘lembaga pendidikan Islam yang ideal dan tokoh-tokoh pesantren yang berwawasan luas, sekaligus gigih dalam membendung gelombang liberalisme’—seperti ditulis oleh Taufiq Ismail ketika memberikan tanggapan terhadap novel ini—di satu sisi. Akan tetapi, di sisi lain, dari unsur intrinsiknya, karakter tokoh perempuan yang terdapat dalam novel ini seakan telah dibentuk secara subjektif, sehingga mau tidak mau, pembaca diajak untuk menyetujui gagasan-gagasan yang ditawarkan Adian tanpa harus memerhatikan aspek lain. Seperti yang terdapat pada sub-bab berjudul Dialog Bejo dan Doktor Ita.
Kendati begitu, novel ini tetap meneguhkan daya tariknya bukan hanya karena alur ceritanya yang “fantastik” sehingga dapat membawa pembaca ke alam ilmiah dan berimajinasi mengenai kondisi yang benar-benar menjadi tantangan umat Islam—dengan setting kota metropolitan, Jakarta. Tetapi, pembaca juga akan memperoleh wawasan tentang otentisitas khazanah keilmuan ulama Islam klasik yang terdapat dalam karya-karyanya, dengan “permainan” logika yang rasional, utamanya dalam hal ilmu Fiqh dan Tafsir.
Novel ini penting bukan hanya bagi mereka yang masih berkeyakinan bahwa kebebasan (yang sebebas-bebasnya) adalah jalan satu-satunya meraih kebahagiaan dalam kehidupan sosial, ekonomi, khususnya keyakinan agama. Melainkan juga menjadi bacaan wajib bagi kaum sarungan (baca: santri) yang mencintai keutuhan Islam dan memiliki spirit dalam mengkaji pemikiran Islam klasik-kontemporer serta menuntut ilmu Tuhan. Wallahu A’lam.

*) Pemain di Klub NU Mimpi Lubangsa. Resensi ini dimuat dalam Majalah Muara edisi Tahun 2010 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar