Walaupun
pelaksanaan Pemilu 2014 masih lama, namun suasana perpolitikan di Indonesia
sudah terasa. Pada 28/10 kemaren, Komisi Pemilihan Umum telah mengumumkan hasil
seleksi verifikasi administrasi parta politik. Setidaknya sekitar 16 parpol
yang berhasil lolos, sedangkan 18 lainnya tidak. (JP, Duta Masyarakat, Kompas 29/10/2012).
Tahap
verifikasi ini setidaknya dapat dijadikan ukuran bagi partai politik yang
berhasil lolos, sebagai lembaga politik guna memperjelas dan mempertegas
visinya dalam mencalonkan anggotanya sebagai capres pada Pemilu nanti, minimal
punya harapan menduduki parlemen dalam birokrasi.
Dalam
konteks negara demokratis, partai politik dapat menyelenggarakan berbagai
fungsi. Selain sebagai sarana dalam menyalurkan aneka ragam aspirasi sehingga
dapat disatukan melalui komunikasi politik, parpol juga berfungsi sebagai
sarana sosialisasi politik (instrument of
political socialization). Fungsi yang kedua ini lebih pada tujuan bagaimana
partai politik menyikapi perkembangan dan pengaruh politik terhadap masyarakat
luas. Partai politik diharapkan mampu mengomunikasikan nilai-nilai dan
norma-norma, untuk kemudian mendapat dukungan seluas mungkin guna menguasai
pemerintahan melalui kemenangan dalam pemilu.
Akan
tetapi, luas pemahaman masyarakat terhadap fenomena partai politik di Indonesia
sejauh ini masih dipahami “kotor”. Pragmatisme politik sebagai “karakter”
parpol dalam menguasai pemerintahan masih menimbulkan orientasi yang pincang.
Menurut Dwiyanto Indiahono, perubahan ke kehidupan yang lebih baik sejak
reformasi 1998 yang juga dimotori partai politik ternyata masih blum dapat
“dicicipi” masyarakat bawah (grass roots).
Konsekuensi dari cacat politik ini setidaknya harus menjadi “cermin diri” bagi
parpol untuk kembali menata komitmen politik sehingga dalam ikhtiar politik
lebih diorientasikan kesejahteraan masyarakat luas.
Namun, gerakan politik menjelang
pemilu telah banyak diwarnai persaingan yang tak sehat. Ini dapat dilihat dari
informasi yang disuguhkan justeru menimbulkan kegelisahan dalam masyarakat,
karena yang dikejar bukanlah kepentingan nasional, melainkan kepentingan partai
yang sempit dengan menimbulkan pengkotakan politik sehingga meninggalkan
konflik, baik dalam lingkup partai maupun masyarakat luas. Gerjala-gejala
partai politik yang mungkin timbul pada nuansa pemilu depan ini mengingatkan
penulis pada kekecewaan terhadap sistem kepartaian di Pakistan tahun 1958
sehingga berakhir pada pembubaran partai-partai politik ketika itu.
Lebih jauh, Daniel S. Lev dalam Political Parties in Indonesia
menyatakan bahwa sistem partai (multi-partai dalam sistem parlementer) yang ada
di Indonesia masih menimbulkan kekacauan. Tidak ada partai politik yang memikul
tanggung jawab penuh seperti yang biasanya terdapat pada partai yang menguasai
pemerintahan tanpa koalisi. Sehingga, dalam spekulasi Daniel, sistem
pemerintahan parlementer demikian pada akhirnya juga akan dijatuhkan oleh
kekuatan-kekuatan ekstra parlementer seperti presiden dan tentara.
Gerakan Sosial (Partai) Politik
Persoalan semisal tersebut di atas
kemudian menjadi diskursus dalam gerakan partai politik, terutama dalam proses
menyambut Pemilu 2014 mendatang. Gerakan politik yang dilakukan parpol selama
ini tentu memerlukan sebuah kejelasan orientasi jangka panjang.
Tom
Bottomore (1992) dalam Sosiologi Politik menilai bahwa salah satu cara
untuk menemukan perbedaan tegas antara “gerakan” dengan “politik” adalah dengan
menunjuk sifat yang kurang terorganisir dari suatu gerakan, di mana dalam
gerakan tersebut mungkin tidak ada keanggotaan tetap atau keanggotaan yang
mudah dikenal yang tidak memiliki jalur staf pusat. Artinya, gerakan partai politik
yang bertujuan meraih kekuasaan harus juga didukung dengan adanya biografi
keanggotaan yang dikenal masyarakat luas karena kiprahnya di masyarakat,
setidaknya sebelum menjabat sebagai anggota politik.
Dengan
demikian, orientasi gerakan partai politik setidaknya juga sealur dan searah
dengan gerakan sosial. Aspirasi dan
harapan masyarakat terhadap adanya kesejahteranan dan iklim politik yang baik
dan sehat menjadi modal utama. Di tengah persoalan bangsa seperti kemiskinan,
keterbelakangan pengetahuan dan disorientasi nilai, gerakan partai politik
setidaknya juga harus diimbangi dengan gerakan sosial. Walaupun dilihat dari
lembaga pelaksana dari kedua gerakan ini berbeda, akan tetapi nantinya juga
diharapkan dapat sealur karena kepentingan partai harus juga diimbangi dengan
kepentingan sosial masyarakat.
Pada
babakan inilah penting adanya indikasi dari gerakan sosial politik. Partai
politik sebagai penyalur aspirasi dari masyarakat memiliki potensi untuk
membangun kerjasama dengan lembaga-lembaga sosial semacam LSM dan sejenisnya.
Begitupun lembaga sosial yang ada selain menjadi penguatan partisipasi
masyarakat madani, juga sebagai instrumen masyarakat terlibat dalam proses
terbentuknya clean and good governance
dalam konteks Indonesia. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar