Mengenai Saya

Minggu, 30 Desember 2012

Dekonstruksi Konflik Sosial dalam Kekerasan


Sudah terasa bosan hidup dalam suasana kekerasan yang ditimbulkan oleh konflik. Belum lama kita mendengar kabar tentang konflik dan kekerasan karena perbedaan paham antara Sunni dan Syi’ah di Sampang Madura, kita kembali disuguhkan informasi bentrok warga Desa Agom, Kecamatan Kalianda dengan warga Desa Balinuraga Kecamatan Waypanji, Lampung Selatan. Kekerasan yang akhirnya merengguh banyak nyawa ini dilatari modus balas dendam atas tewasnya warga Kalianda.
Sehari setelah kejadian di Lampung Selatan, bentrok susulan juga terjadi antarwarga Desa Tinggede Kecamatan Marawola Kebupaten Sigi dengan warga Kelurahan Tatura Selatan Kecamatan Palu Selatan Sulawesi Tengah. Di hari yang sama konflik juga pecah antar warga di Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, NTT. Walaupun dalam peristiwa itu tidak ada korban jiwa, tetapi kita tetap merasa miris ketika melihat masyarakat masih suka menyelesaikannya dengan cara kekerasan. Sebuah fakta kehidupan yang lagi-lagi telah mampu mengoyak sisi kemanusiaan kita.
Fenomena kekerasan yang tak kunjung berakhir di bumi Indonesia ini adalah sebuah konsekuensi dari konflik sosial yang kemudian pecah menjadi kekerasan. Mental tak mau mengalah atau egoistik yang sering menimbulkan konflik masih menjadi nalar bangsa. Sebuah nalar yang kemudian berubah menjadi aksi kekerasan karena sikap konservatisme dan miskin toleransi dipandang biasa oleh sebagian masyarakat. Bahkan nalar kekerasan dianggap karakter untuk menunjukkan superioritas dan keperkesaan individu atau kelompok.
Dalam perspektif Udo Steinbach (1988), penyebab terjadinya konflik dalam masyarakat ketika menganalisis masyarakat di Dunia Ketiga (termasuk di dalamnya Indonesia) ada empat kategorisasi: perpecahan bangsa, perkembangan yang timpang, bentrokan kultural, dan gerakan pembebasan. Dalam analisis ini, waupun keempatnya saling berkaitan, namun Steinbach mengungkap bahwa kategorisasi penyebab terjadinya konflik dalam masyarakat ini dapat dipisahkan. Artinya, menganalisa konflik yang terjadi di masyarakat adalah tergantung pada konteks di mana konflik itu terjadi.
Dalam konteks Indonesia, terutama ketika dikaitkan dengan konflik yang dilatari oleh unsur sara yang marak terjadi adalah bentrokan kultural. Ketika misalkan ada perbedaan budaya, baik itu dalam hal budaya agama ataupun adat dan tradisi masyarakat justeru malah cenderung dipertentangkan. Di sini, secara sosiologis merupakan konflik yang pada akhirnya juga akan berujung pada perpecahan, pertumpahan darah, bahkan juga akan terjadi pengebiran terhadap hak-hak asasi kemanusiaan.
Yang lebih naif lagi jika konflik pribadi individu kebanyakan dilatari oleh persoalan antarperorangan yang kemudian dibawa ke lingkup sosial yang lebih besar, sehingga melahirkan konflik berkepanjangan dan tak ayal juga banyak terjadi kekerasan. Ketidakmampuan salah seorang dari figur dalam kelompok sosial juga menjadi salah satu penyebab terjadinya konflik yang berujung pada kekerasan. Ketegangan internal antar individu atau  kelompok sosial pada akhirnya akan menciptakan perpecahan. Sehingga, dalam konteks masyarakat sudah jarang kita mendengar harmonisasi ikatan yang ada di masyarakat.
Akan tetapi, sebagian dari kita tentu juga tidak dapat memungkiri bahwa lahirnya konflik sosial yang berujung pada kekerasan juga dilatarbelakangi oleh adanya kontrol otonomi pemerintahan yang cacat. Otonomi daerah sebagai hasil dari era demokrasi saat ini ternyata juga memiliki  kecacatan. Sebab, konflik dan ketegangan internal juga banyak ditimbulkan oleh kegagalan pembangunan ekonomi dan politik. Dengan demikian, masyarakat sebenarnya juga telah menjadi “korban” atas tindakannya sendiri karena dengan tidak sadar, konflik sosial tersebut sebenarnya merupakan kegagalan pemerintah dalam membangun perdamaian sosial dan antikekerasan.
Rasa-rasanya kita juga kurang bijak jika hanya menjadikan kelompok atau masyarakat yang terlibat konflik dianggap sebagai “kambing hitam” atas timbulnya kekarasan kelompok dalam masyarakat. Sehingga dengan inilah perlu adanya kesadaran diri dan kelompok dalam menyikapi kekerasan yang telah terjadi. Sebab, menurut hemat penulis, konflik sosial yang timbul juga tergantung dari sejauh mana tingkat pengetahuan dan kesadaran masyarakat atas adanya toleransi terhadap perbedaan dalam konteks masyarakat multikultural, multietnis, multiagama dan sebagainya.
Konflik dan Integrasi Sosial
Kesadaran inilah yang nantinya dapat membentuk sebuah kesepakatan tentang adanya sikap toleran. Dalam konteks ini, menyikapi konflik lebih penting daripada mendiamkannya yang hanya akan berujung pada tindak kekerasan. Menyikapi konflik sosial yang terjadi tidak untuk ikut larut dalam persoalan di dalam konflik masyarakat, melainkan memposisikannya sebagai suatu tindakan yang wajar terjadi namun bukan lantas larut dalam bentuk kekerasan. Melainkan konflik sosial setidaknya dapat dijadikan sebagai akar dari adanya sebuah integrasi sosial.
Lewis Coser (1956) dalam The Fungtions of Social Conflict juga memberi penjelasan bahwa konflik sosial dipandang sebagai suatu perjuangan terhadap nilai dan pengakuan terhadap status yang langka, kemudian kekuasaan dan sumber-sumber pertentangan dinetralisir atau dilangsungkan, atau dieliminir saingan-saingannya. Artinya, adanya konflik sosial dipandang sebagai sesuatu yang pasti terjadi karena biasanya menyangkut nilai dan pengakuan status dari kelompok-kelompok tertentu. Akan tetapi, dalam pandangan Coser, masyarakat juga dapat memilih apakah konflik tersebut harus selalu diakhiri dengan tindak kekerasan atau dijadikan sebagai pembelajaran terbentuknya integrasi sosial.
Dengan demikian, terjadinya konflik sosial di masyarakat yang berujung pada kekerasan seperti dialami di Sampang Madura dan di Lampung Selatan kemaren, merupakan realitas sosial yang tak dapat dibantah. Akar persoalannya masih terletak pada sikap individu dalam menyikapi konflik sosial agar tidak lagi disalurkan dalam bentuk kekerasan. Melainkan pemahaman terhadap akar persoalan dan menghindarkan egoisme diri merupakan  jalan bagaimana menciptakan suasana yang jauh dari konflik, dan tidak harus berujung pada tindak kekerasan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar