Sudah
terasa bosan hidup dalam suasana kekerasan yang ditimbulkan oleh konflik. Belum
lama kita mendengar kabar tentang konflik dan kekerasan karena perbedaan paham
antara Sunni dan Syi’ah di Sampang Madura, kita kembali disuguhkan informasi
bentrok warga Desa Agom, Kecamatan Kalianda dengan warga Desa Balinuraga Kecamatan
Waypanji, Lampung Selatan. Kekerasan yang akhirnya merengguh banyak nyawa ini
dilatari modus balas dendam atas tewasnya warga Kalianda.
Sehari
setelah kejadian di Lampung Selatan, bentrok susulan juga terjadi antarwarga
Desa Tinggede Kecamatan Marawola Kebupaten Sigi dengan warga Kelurahan Tatura
Selatan Kecamatan Palu Selatan Sulawesi Tengah. Di hari yang sama konflik juga
pecah antar warga di Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, NTT. Walaupun dalam
peristiwa itu tidak ada korban jiwa, tetapi kita tetap merasa miris ketika
melihat masyarakat masih suka menyelesaikannya dengan cara kekerasan. Sebuah
fakta kehidupan yang lagi-lagi telah mampu mengoyak sisi kemanusiaan kita.
Fenomena
kekerasan yang tak kunjung berakhir di bumi Indonesia ini adalah sebuah
konsekuensi dari konflik sosial yang kemudian pecah menjadi kekerasan. Mental
tak mau mengalah atau egoistik yang sering menimbulkan konflik masih menjadi
nalar bangsa. Sebuah nalar yang kemudian berubah menjadi aksi kekerasan karena
sikap konservatisme dan miskin toleransi dipandang biasa oleh sebagian
masyarakat. Bahkan nalar kekerasan dianggap karakter untuk menunjukkan
superioritas dan keperkesaan individu atau kelompok.
Dalam
perspektif Udo Steinbach (1988), penyebab terjadinya konflik dalam masyarakat
ketika menganalisis masyarakat di Dunia Ketiga (termasuk di dalamnya Indonesia)
ada empat kategorisasi: perpecahan bangsa, perkembangan yang timpang, bentrokan
kultural, dan gerakan pembebasan. Dalam analisis ini, waupun keempatnya saling
berkaitan, namun Steinbach mengungkap bahwa kategorisasi penyebab terjadinya
konflik dalam masyarakat ini dapat dipisahkan. Artinya, menganalisa konflik
yang terjadi di masyarakat adalah tergantung pada konteks di mana konflik itu
terjadi.
Dalam
konteks Indonesia, terutama ketika dikaitkan dengan konflik yang dilatari oleh
unsur sara yang marak terjadi adalah bentrokan kultural. Ketika misalkan ada
perbedaan budaya, baik itu dalam hal budaya agama ataupun adat dan tradisi
masyarakat justeru malah cenderung dipertentangkan. Di sini, secara sosiologis
merupakan konflik yang pada akhirnya juga akan berujung pada perpecahan,
pertumpahan darah, bahkan juga akan terjadi pengebiran terhadap hak-hak asasi
kemanusiaan.
Yang
lebih naif lagi jika konflik pribadi individu kebanyakan dilatari oleh
persoalan antarperorangan yang kemudian dibawa ke lingkup sosial yang lebih
besar, sehingga melahirkan konflik berkepanjangan dan tak ayal juga banyak
terjadi kekerasan. Ketidakmampuan salah seorang dari figur dalam kelompok
sosial juga menjadi salah satu penyebab terjadinya konflik yang berujung pada
kekerasan. Ketegangan internal antar individu atau kelompok sosial pada akhirnya akan
menciptakan perpecahan. Sehingga, dalam konteks masyarakat sudah jarang kita
mendengar harmonisasi ikatan yang ada di masyarakat.
Akan
tetapi, sebagian dari kita tentu juga tidak dapat memungkiri bahwa lahirnya
konflik sosial yang berujung pada kekerasan juga dilatarbelakangi oleh adanya
kontrol otonomi pemerintahan yang cacat. Otonomi daerah sebagai hasil dari era
demokrasi saat ini ternyata juga memiliki
kecacatan. Sebab, konflik dan ketegangan internal juga banyak
ditimbulkan oleh kegagalan pembangunan ekonomi dan politik. Dengan demikian,
masyarakat sebenarnya juga telah menjadi “korban” atas tindakannya sendiri
karena dengan tidak sadar, konflik sosial tersebut sebenarnya merupakan
kegagalan pemerintah dalam membangun perdamaian sosial dan antikekerasan.
Rasa-rasanya
kita juga kurang bijak jika hanya menjadikan kelompok atau masyarakat yang
terlibat konflik dianggap sebagai “kambing hitam” atas timbulnya kekarasan
kelompok dalam masyarakat. Sehingga dengan inilah perlu adanya kesadaran diri
dan kelompok dalam menyikapi kekerasan yang telah terjadi. Sebab, menurut hemat
penulis, konflik sosial yang timbul juga tergantung dari sejauh mana tingkat
pengetahuan dan kesadaran masyarakat atas adanya toleransi terhadap perbedaan
dalam konteks masyarakat multikultural, multietnis, multiagama dan sebagainya.
Konflik dan Integrasi Sosial
Kesadaran
inilah yang nantinya dapat membentuk sebuah kesepakatan tentang adanya sikap
toleran. Dalam konteks ini, menyikapi konflik lebih penting daripada
mendiamkannya yang hanya akan berujung pada tindak kekerasan. Menyikapi konflik
sosial yang terjadi tidak untuk ikut larut dalam persoalan di dalam konflik
masyarakat, melainkan memposisikannya sebagai suatu tindakan yang wajar terjadi
namun bukan lantas larut dalam bentuk kekerasan. Melainkan konflik sosial
setidaknya dapat dijadikan sebagai akar dari adanya sebuah integrasi sosial.
Lewis
Coser (1956) dalam The Fungtions of
Social Conflict juga memberi penjelasan bahwa konflik sosial dipandang
sebagai suatu perjuangan terhadap nilai dan pengakuan terhadap status yang
langka, kemudian kekuasaan dan sumber-sumber pertentangan dinetralisir atau
dilangsungkan, atau dieliminir saingan-saingannya. Artinya, adanya konflik sosial
dipandang sebagai sesuatu yang pasti terjadi karena biasanya menyangkut nilai
dan pengakuan status dari kelompok-kelompok tertentu. Akan tetapi, dalam
pandangan Coser, masyarakat juga dapat memilih apakah konflik tersebut harus
selalu diakhiri dengan tindak kekerasan atau dijadikan sebagai pembelajaran
terbentuknya integrasi sosial.
Dengan
demikian, terjadinya konflik sosial di masyarakat yang berujung pada kekerasan
seperti dialami di Sampang Madura dan di Lampung Selatan kemaren, merupakan
realitas sosial yang tak dapat dibantah. Akar persoalannya masih terletak pada
sikap individu dalam menyikapi konflik sosial agar tidak lagi disalurkan dalam
bentuk kekerasan. Melainkan pemahaman terhadap akar persoalan dan menghindarkan
egoisme diri merupakan jalan bagaimana
menciptakan suasana yang jauh dari konflik, dan tidak harus berujung pada
tindak kekerasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar