Membincang
tentang tema pendidikan selalu menarik. Di samping karena pendidikan merupakan
wahana mencerdaskan kehidupan bangsa seperti tertera dalam Pembukaan UUD 1945,
pendidikan juga disebut sebagai jembatan transformasi sosial. Di dalam dunia
pendidikan manusia juga diajak untuk mengenal lingkungan, masyarakat, dan
mengenal diri sendiri melalui proses transfer ilmu pengetahuan. Sehingga tak
salah jika Paulo Freire mendefinisikan pendidikan sebagai proses pemanusiaan
manusia (humanization).
Akan
tetapi, cita-cita demikian belum dapat dilaksanakan dalam konteks pendidikan
Nasional kita. Realitas pendidikan Nasional masih jalan di tempat, tidak dapat
maju namun juga tidak mundur. Terutama mengenai kebijakan pemerintah (dalam hal
ini Kemendiknas) yang kini masih diragukan. Banyak dari berbagai kalangan
terutama pemerhati dan praktisi pendidikan melakukan otokritik terhadap
anggaran 20% yang tak dapat dicairkan. Karena terbukti masih banyak
sekolah-sekolah dan perguruan tinggi negeri yang mahal.
Akibatnya,
dapat ditebak bahwa pendidikan (khususnya pendidikan negeri) hanya dapat
dinikmati oleh orang kaya atau ber-duit.
Belakangan ini masyarakat dihebohkan dengan isu pendidikan berkualitas, sebuah
pendidikan yang dalam administrasi dan sarana di dalamnya relatif lengkap.
Namun, pendidikan demikian ternyata hanya dapat kita lihat di sekolah RSBI atau
perguruan tinggi negeri yang ada di kota. Sebaliknya, realitas pendidikan di
pedesaan sama sekali masih tidak berkualitas (untuk tidak mengatakan
karut-marut).
Di
sinilah dapat kita anggap bahwa pendidikan berkualitas ternyata makin tidak
berpihak pada wong miskin. Alih-alih
memberikan pendidikan berkualitas bagi semua, yang terjadi justru hanya dapat
dinikmati oleh kalangan menengah ke atas, borjuis, dan minoritas. Masyarakat
kebanyakan, terutama masyarakat pedesaan terpaksa menikmati pendidikan dengan
fasilitas seadanya. Jangankan mendapat pendidikan berkualitas, untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari saja terasa sulit. Apalagi membangun gedung-gedung atau
memperbaiki sistem administratif sekolah yang mayoritas pendidikan di desa
jarang mendapat kucuran dana dari pemerintah.
Pendidikan Berkebijakan Sosial
Perubahan
era sentralisme ke desentralisasi ternyata sekadar ide yang pelaksanaannya
lagi-lagi berpihak pada kekuasaan. Adanya Otonomi Daerah ternyata hanya
dinikmati oleh kalangan birokrasi yang memegang kendali kekuasaan, baik itu di
daerah kecil maupun di kota. Tidak dapat
dipungkiri bahwa ini juga memiliki konsekuensi akut terhadap dunia pendidikan
dalam lingkup Nasional. Sehingga mimpi mencerdaskan kehidupan bangsa
sebagaimana visi negara Indonesia hanya berhenti sekadar catatan di atas kertas
yang kian kusam.
Sebagai
penyelenggara kebijakan pendidikan Nasional, Kemendiknas sudah saatnya prihatin
terhadap kondisi sosial pendidikan kita. Jika di era globalisasi-modernisasi
ini masyarakat benar-benar ingin diajak bersaing, menyelenggarakan pendidikan
berkualitas bagi semua strata sosial (upper,
midle, and lower class) harus benar-benar dilakukan. Sebuah kebijakan yang
perlu dilakukan sehingga nantinya dapat menjadi basis dari tegaknya
intelektualisme, profesionalisme, skill
dan kreativitas masyarakat sosial secara umum. Kebijakan demikian diharapkan
dapat berindikasi pada adanya kepedulian pemerintah terhadap pentingnya
kebijakan dalam sistem pendidikan yang berbasis kualitas bagi semua strata
sosial.
Lebih
tegas, Dwiyanto Indiahono (2009) dalam Public
Disobedience: Telaah Penolakan Publik Terhadap Kebijakan Pemerintah
menjelaskan bahwa, pendidikan Nasional juga amat terkait erat dengan komitmen
pemerintah dalam hal pemenuhan basic-need warga negara. Mendapatkan
pendidikan berkualitas adalah hak publik, sehingga jika eksekutif dan legislatif
tidak memperdulikannya, maka mereka pun sebenarnya tidak berpihak kepada
publik. Apalagi di era Otonomi Daerah ini benar-benar harus lebih dinamis dan
fleksibel. Pemerintah daerah, tidak boleh tidak, harus dapat menjembatani
pemenuhan hak-hak publik secara lebih baik.
Pada
babakan inilah setidaknya penting untuk dilakukan berbagai pertimbangan. Pertama, pusat perhatian dari kebijakan
pemerintah setidaknya lebih khusus pada pemenuhan hak kualitas pendidikan
masyarakat akar rumput (grass-roots).
Ini merupakan penjelmaan dari kesadaran akan pentingnya membangun dari bawah.
Membangun kualitas dari level bawah adalah bentuk dari demokrasi yang
berorientasi jangka panjang. Sebab, dengan upaya ini dapat menciptakan proses
membangun kualitas yang nantinya juga menentukan orientasi pendidikan Nasional
yang berkualitas, terlebih kualitas di level midle and lower class.
Kedua,
memenuhi proporsionalitas anggaran kepada sektor pendidikan lebih baik daripada
sekadar memberikan anggaran yang diperuntukkan kepada anggota-anggota DPRD yang
“tak bertanggung jawab”. Selama ini, walaupun kebijakan Otonomi Daerah telah
berjalan, tetapi pemenuhan anggaran bagi berbagai program Pemda masih bias
menimbulkan ketidakjelasan dan ketidakadilan. Masih banyak masyarakat sosial kita
mempertanyakan ke mana anggaran untuk pelaksanaan program pemberdayaan
pendidikan. Karena terbukti, lembaga pendidikan tidak terkecuali perguruan
tinggi tetap memperihatinkan. Sehingga perlu ada adanya transparansi mengenai
sejauh mana anggaran untuk pendidikan (daerah pedesaan) dapat direalisasikan.
Dengan
demikian, dua gagasan di atas diharapkan dapat memberikan jawaban terhadapat
persoalan kualitas pendidikan dengan upaya campur tangan kebijakan pemerintah
yang berbasis sosial. Agenda mendesak yang harus segera direalisasikan oleh
Kemendiknas adalah membangun kualitas pendidikan dari sektor masyarakat sosial
yang tertinggal. Supaya membangun pendidikan berkualitas dapat dirasakan oleh
semua level sosial, seperti cita-cita bersama. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar