Mengenai Saya

Minggu, 30 Desember 2012

Menggagas Pendidikan Berkebijakan Sosial


Membincang tentang tema pendidikan selalu menarik. Di samping karena pendidikan merupakan wahana mencerdaskan kehidupan bangsa seperti tertera dalam Pembukaan UUD 1945, pendidikan juga disebut sebagai jembatan transformasi sosial. Di dalam dunia pendidikan manusia juga diajak untuk mengenal lingkungan, masyarakat, dan mengenal diri sendiri melalui proses transfer ilmu pengetahuan. Sehingga tak salah jika Paulo Freire mendefinisikan pendidikan sebagai proses pemanusiaan manusia (humanization).
Akan tetapi, cita-cita demikian belum dapat dilaksanakan dalam konteks pendidikan Nasional kita. Realitas pendidikan Nasional masih jalan di tempat, tidak dapat maju namun juga tidak mundur. Terutama mengenai kebijakan pemerintah (dalam hal ini Kemendiknas) yang kini masih diragukan. Banyak dari berbagai kalangan terutama pemerhati dan praktisi pendidikan melakukan otokritik terhadap anggaran 20% yang tak dapat dicairkan. Karena terbukti masih banyak sekolah-sekolah dan perguruan tinggi negeri yang mahal.
Akibatnya, dapat ditebak bahwa pendidikan (khususnya pendidikan negeri) hanya dapat dinikmati oleh orang kaya atau ber-duit. Belakangan ini masyarakat dihebohkan dengan isu pendidikan berkualitas, sebuah pendidikan yang dalam administrasi dan sarana di dalamnya relatif lengkap. Namun, pendidikan demikian ternyata hanya dapat kita lihat di sekolah RSBI atau perguruan tinggi negeri yang ada di kota. Sebaliknya, realitas pendidikan di pedesaan sama sekali masih tidak berkualitas (untuk tidak mengatakan karut-marut).
Di sinilah dapat kita anggap bahwa pendidikan berkualitas ternyata makin tidak berpihak pada wong miskin. Alih-alih memberikan pendidikan berkualitas bagi semua, yang terjadi justru hanya dapat dinikmati oleh kalangan menengah ke atas, borjuis, dan minoritas. Masyarakat kebanyakan, terutama masyarakat pedesaan terpaksa menikmati pendidikan dengan fasilitas seadanya. Jangankan mendapat pendidikan berkualitas, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja terasa sulit. Apalagi membangun gedung-gedung atau memperbaiki sistem administratif sekolah yang mayoritas pendidikan di desa jarang mendapat kucuran dana dari pemerintah.
Pendidikan Berkebijakan Sosial
Perubahan era sentralisme ke desentralisasi ternyata sekadar ide yang pelaksanaannya lagi-lagi berpihak pada kekuasaan. Adanya Otonomi Daerah ternyata hanya dinikmati oleh kalangan birokrasi yang memegang kendali kekuasaan, baik itu di daerah  kecil maupun di kota. Tidak dapat dipungkiri bahwa ini juga memiliki konsekuensi akut terhadap dunia pendidikan dalam lingkup Nasional. Sehingga mimpi mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana visi negara Indonesia hanya berhenti sekadar catatan di atas kertas yang kian kusam.
Sebagai penyelenggara kebijakan pendidikan Nasional, Kemendiknas sudah saatnya prihatin terhadap kondisi sosial pendidikan kita. Jika di era globalisasi-modernisasi ini masyarakat benar-benar ingin diajak bersaing, menyelenggarakan pendidikan berkualitas bagi semua strata sosial (upper, midle, and lower class) harus benar-benar dilakukan. Sebuah kebijakan yang perlu dilakukan sehingga nantinya dapat menjadi basis dari tegaknya intelektualisme, profesionalisme, skill dan kreativitas masyarakat sosial secara umum. Kebijakan demikian diharapkan dapat berindikasi pada adanya kepedulian pemerintah terhadap pentingnya kebijakan dalam sistem pendidikan yang berbasis kualitas bagi semua strata sosial.
Lebih tegas, Dwiyanto Indiahono (2009) dalam Public Disobedience: Telaah Penolakan Publik Terhadap Kebijakan Pemerintah menjelaskan bahwa, pendidikan Nasional juga amat terkait erat dengan komitmen pemerintah dalam hal pemenuhan basic-need warga negara. Mendapatkan pendidikan berkualitas adalah hak publik, sehingga jika eksekutif dan legislatif tidak memperdulikannya, maka mereka pun sebenarnya tidak berpihak kepada publik. Apalagi di era Otonomi Daerah ini benar-benar harus lebih dinamis dan fleksibel. Pemerintah daerah, tidak boleh tidak, harus dapat menjembatani pemenuhan hak-hak publik secara lebih baik.
Pada babakan inilah setidaknya penting untuk dilakukan berbagai pertimbangan. Pertama, pusat perhatian dari kebijakan pemerintah setidaknya lebih khusus pada pemenuhan hak kualitas pendidikan masyarakat akar rumput (grass-roots). Ini merupakan penjelmaan dari kesadaran akan pentingnya membangun dari bawah. Membangun kualitas dari level bawah adalah bentuk dari demokrasi yang berorientasi jangka panjang. Sebab, dengan upaya ini dapat menciptakan proses membangun kualitas yang nantinya juga menentukan orientasi pendidikan Nasional yang berkualitas, terlebih kualitas di level midle and lower class.
Kedua, memenuhi proporsionalitas anggaran kepada sektor pendidikan lebih baik daripada sekadar memberikan anggaran yang diperuntukkan kepada anggota-anggota DPRD yang “tak bertanggung jawab”. Selama ini, walaupun kebijakan Otonomi Daerah telah berjalan, tetapi pemenuhan anggaran bagi berbagai program Pemda masih bias menimbulkan ketidakjelasan dan ketidakadilan. Masih banyak masyarakat sosial kita mempertanyakan ke mana anggaran untuk pelaksanaan program pemberdayaan pendidikan. Karena terbukti, lembaga pendidikan tidak terkecuali perguruan tinggi tetap memperihatinkan. Sehingga perlu ada adanya transparansi mengenai sejauh mana anggaran untuk pendidikan (daerah pedesaan) dapat direalisasikan.
Dengan demikian, dua gagasan di atas diharapkan dapat memberikan jawaban terhadapat persoalan kualitas pendidikan dengan upaya campur tangan kebijakan pemerintah yang berbasis sosial. Agenda mendesak yang harus segera direalisasikan oleh Kemendiknas adalah membangun kualitas pendidikan dari sektor masyarakat sosial yang tertinggal. Supaya membangun pendidikan berkualitas dapat dirasakan oleh semua level sosial, seperti cita-cita bersama. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar