Di
tengah optimisme memperingati sumpah pemuda yang jatuh pada 28 oktober kemaren,
rakyat Indonesia kembali dikejutkan oleh aksi Detasemen Khusus (Densus) 88 yang
membongkar suatu kelompok yang dinamakan Harakah Sunni untuk Masyarakat Indonesia
(Hasmi). Dalam aksi itu, sebelas orang yang dituduh akan mengadakan serangan ke
berbagai tempat strategis berhasil ditangkap. Salah seorang di antaranya adalah
Achmad Abu Hanifah, 30, yang disebut-sebut sebagai pentolan kelompok terduga
teroris Hasmi. (JP dan Harian Surya,
28/10/2012)
Selain
nama Achmad, Agus Anton Figian, 31, juga menjadi tersangka teroris yang
ditangkap di Madiun. Salah seorang alumni Fakultas MIPA Universitas Jember yang
ketika menjadi mahasiswa sempat aktif di organisasi HMI, Agus berpindah alur
mengikuti organisasi NII yang dianggap mempunyai prinsip bertentangan dengan
HMI. Sehingga akhirnya, tak pernah lagi aktif sebagai anggota HMI. Dapat
diduga, bahwa mayoritas anggota yang ikut dalam keroganisasian semaca NII dan Hasmi,
dulunya adalah seorang mahasiswa yang aktif di berbagai organisasi mahasiswa
semisal PMII, HMI, Kammi dan GMNI. Karakter dan semangat kepemudaan sebagai agent of chenge dan agent of social control menjadi sasaran utama bagi
organisasi NII untuk direkrut sebagai anggota yang pada akhirnya akan menentang
keutuhan NII. Sebuah segmen masyarakat yang bagi kita cukup tragis jika tetap
berlanjut.
Dalam
pada itu, narasi gerakan semacam NII yang berorientasi membentuk negara Islam
dan merubah ideologi serta hukum yang ada di Indonesia menjadi negara yang
mempunyai ideologi Islam sehingga dalam penerapan hukumnya yang menggunakan
konsep syari’at Islam pada akhirnya akan mengancam keutuhan NKRI. Di saat itulah
akan mucul suatu fakta yang pernah di sebut Dom Helder Camara sebagai spiral of violence (spiral kekerasan).
Di mana di dalamnya terdapat sebuah resistensi dari kelompok minoritas seperti
NII terhadap pemerintah Indonesia, begitupun pada akhirnya akan juga
bertentangan dengan pemerintah. Sebuah gerakan Islamisasi yang akan berujung
pada kekrasan antar golongan, bahkan juga antar agama ini benar-benar menjadi
hambatan bagi keberlangsungan negara Indonesia. Di tengah ruetnya persoalan
hukum, politik dan sosial, ternyata masih harus ada fenomena kekerasan semacam
ini. Kekerasan yang akan menguak sisi kemanusiaan kita.
Menurut
hemat penulis, ada tiga kecenderungan terbentuknya organisasi yang mendoktrin
agar dapat didirikan negara Islam. Pertama,
adanya ketidakmampuan pemerintah dalam menegakkan hukum yang ada di Indonesia.
Mengingat selama ini banyak penegak hukum yang tidak menjalankan hukum sesuai
dengan koridor berbangsa dan bernegara, seperti ketidakadilan dalam hukum,
sehingga di dalamnya akan muncul golongan minoritas yang pada akhirnya juga
akan menuntut hak-hak dasar kemanusiaan mereka. Jika hak-hak tersebut tidak
dapat dipenuhi oleh negara, maka golongan tersebut akan melakukan tindakan yang
dianggap ekstrim.
Kedua,
romantisme berlebihan terhadap sejarah pemerintahan kelam. Buku-buku biografi
tokoh yang menceritakan tentang masa keemasan Islam dulu menjadi bahan rujukan
untuk menerapkan ideologi Islam. Mereka menganggap bahwa penerapan kebijakan
mengenai hukum dan politik yang ada pada masa kepemimpinan khalifah masih
dianggap final. Dan menerapkannya pada era kini merupakan tindakan yang menurut
pandangan kalangan romantisis itu adalah suatu tindakan yang benar. Bahkan
dianggap akan memperoleh pahala di sisi tuhan karena telah menjalankan perintah
yang ada di dalam teks suci itu, seperti keharusan mempunyai pemimpin beragama
Islam.
Ketiga,
adanya doktrin dari teks kitab suci yang hanya dimaknai secara tekstualistik,
semisal adanya penjelasan bahwa pemimpin harus dari kalangan Islam sehingga
dalam penerapan hukum maupun politik di dalamnya merujuk pada konsep syariah
Islam. Partai-partai politik yang tidak lahir dari ideologi Islam akan
diberangus dan pada akhirnya dalam penerapan praktis berpolitik harus
berlandaskan pada azas-azas keislaman. Nuansa berpolitik demikian dimimpikan
akan membentuk iklim politik yang persis seperti masa kekhalifahan di
negara-negara timur tengah.
Setidaknya,
bergambar pada kecenderungan di atas juga akan mempengaruhi stabilitas politik
di Indonesia. Lembaga-lembaga sosial termasuk di dalamnya lembaga pemerintahan
menjadi sasaran empuk guna menerapkan konsep hukum dan politik yang
berlandaskan pada nilai-nilai keislaman.
Lembaga-lembaga sosial ini akan merubah fungsi tak lebih dari sebuah
masjid yang di dalamnya terdapat jama’at ibadah dan hubungan antara manusia
dengan tuhan (hablum minallah), dan tanpa memperhatikan
urusan keduniawian yang dikenal dengan faham Jabariyah.
Lebih
jauh, Robert K. Merton dalam teori fungsionalisme sturuktural memandang bahwa
dalam lembaga-lembaga sosial mengaharuskan adanya sebuah hubungan yang tanpa
konflik. Harmonisasi akan tercipta ketika dalam lembaga-lembaga sosial tersebut
mempunyai fungsi yang relevan pada berbagai dinamika zaman. Sebaliknya jika
fungsi dari lembaga-lembaga sosial tersebut sudah tidak ada, pada akhirnya akan
hilang ditelan peradaban dan zaman.
Kondisi
demikian tentu tidak diinginkan dalam negara yang multikultural, multiagama,
multietnis dan memiliki karakter pluralitas seperti di Indonesia. Kebhinekaan
sebagai realitas kehidupan mempunyai tujuan bagaimana warga negara dituntut
untuk mampu bersikap toleran. Bahkan ketika antarperbedaan tersebut mempunya
latar belakang yang bertentangan baik secara ideologis maupun historis.
Dengan
demikian, gerakan islamisasi seperti dilakukan oleh organisasi semacam NII dan
Hasmi adalah sebuah pengingkaran terhadap nilai kebhinnekaan. Ketuhanan Yang
Maha Esa seperti yang ada pada Pancasila sila pertama seakan tidak mempunyai
nilai karena telah diberangus oleh keinginan suatu kelompok. Egoisme berlebihan
ini pada akhirnya hanya akan menciptakan kekacauan yang berantai, justru ketika
persoalan penegakan hukum, korupsi, kemiskinan dan kebodohan tengah berlangsung
di negeri ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar