Mengenai Saya

Minggu, 30 Desember 2012

Terorisme, Pemuda, dan Ancaman NKRI


Di tengah optimisme memperingati sumpah pemuda yang jatuh pada 28 oktober kemaren, rakyat Indonesia kembali dikejutkan oleh aksi Detasemen Khusus (Densus) 88 yang membongkar suatu kelompok yang dinamakan Harakah Sunni untuk Masyarakat Indonesia (Hasmi). Dalam aksi itu, sebelas orang yang dituduh akan mengadakan serangan ke berbagai tempat strategis berhasil ditangkap. Salah seorang di antaranya adalah Achmad Abu Hanifah, 30, yang disebut-sebut sebagai pentolan kelompok terduga teroris Hasmi. (JP dan Harian Surya, 28/10/2012)
Selain nama Achmad, Agus Anton Figian, 31, juga menjadi tersangka teroris yang ditangkap di Madiun. Salah seorang alumni Fakultas MIPA Universitas Jember yang ketika menjadi mahasiswa sempat aktif di organisasi HMI, Agus berpindah alur mengikuti organisasi NII yang dianggap mempunyai prinsip bertentangan dengan HMI. Sehingga akhirnya, tak pernah lagi aktif sebagai anggota HMI. Dapat diduga, bahwa mayoritas anggota yang ikut dalam keroganisasian semaca NII dan Hasmi, dulunya adalah seorang mahasiswa yang aktif di berbagai organisasi mahasiswa semisal PMII, HMI, Kammi dan GMNI. Karakter dan semangat kepemudaan sebagai agent of chenge dan agent of social control menjadi sasaran utama bagi organisasi NII untuk direkrut sebagai anggota yang pada akhirnya akan menentang keutuhan NII. Sebuah segmen masyarakat yang bagi kita cukup tragis jika tetap berlanjut.
Dalam pada itu, narasi gerakan semacam NII yang berorientasi membentuk negara Islam dan merubah ideologi serta hukum yang ada di Indonesia menjadi negara yang mempunyai ideologi Islam sehingga dalam penerapan hukumnya yang menggunakan konsep syari’at Islam pada akhirnya akan mengancam keutuhan NKRI. Di saat itulah akan mucul suatu fakta yang pernah di sebut Dom Helder Camara sebagai spiral of violence (spiral kekerasan). Di mana di dalamnya terdapat sebuah resistensi dari kelompok minoritas seperti NII terhadap pemerintah Indonesia, begitupun pada akhirnya akan juga bertentangan dengan pemerintah. Sebuah gerakan Islamisasi yang akan berujung pada kekrasan antar golongan, bahkan juga antar agama ini benar-benar menjadi hambatan bagi keberlangsungan negara Indonesia. Di tengah ruetnya persoalan hukum, politik dan sosial, ternyata masih harus ada fenomena kekerasan semacam ini. Kekerasan yang akan menguak sisi kemanusiaan kita.
Menurut hemat penulis, ada tiga kecenderungan terbentuknya organisasi yang mendoktrin agar dapat didirikan negara Islam. Pertama, adanya ketidakmampuan pemerintah dalam menegakkan hukum yang ada di Indonesia. Mengingat selama ini banyak penegak hukum yang tidak menjalankan hukum sesuai dengan koridor berbangsa dan bernegara, seperti ketidakadilan dalam hukum, sehingga di dalamnya akan muncul golongan minoritas yang pada akhirnya juga akan menuntut hak-hak dasar kemanusiaan mereka. Jika hak-hak tersebut tidak dapat dipenuhi oleh negara, maka golongan tersebut akan melakukan tindakan yang dianggap ekstrim.
Kedua, romantisme berlebihan terhadap sejarah pemerintahan kelam. Buku-buku biografi tokoh yang menceritakan tentang masa keemasan Islam dulu menjadi bahan rujukan untuk menerapkan ideologi Islam. Mereka menganggap bahwa penerapan kebijakan mengenai hukum dan politik yang ada pada masa kepemimpinan khalifah masih dianggap final. Dan menerapkannya pada era kini merupakan tindakan yang menurut pandangan kalangan romantisis itu adalah suatu tindakan yang benar. Bahkan dianggap akan memperoleh pahala di sisi tuhan karena telah menjalankan perintah yang ada di dalam teks suci itu, seperti keharusan mempunyai pemimpin beragama Islam.
Ketiga, adanya doktrin dari teks kitab suci yang hanya dimaknai secara tekstualistik, semisal adanya penjelasan bahwa pemimpin harus dari kalangan Islam sehingga dalam penerapan hukum maupun politik di dalamnya merujuk pada konsep syariah Islam. Partai-partai politik yang tidak lahir dari ideologi Islam akan diberangus dan pada akhirnya dalam penerapan praktis berpolitik harus berlandaskan pada azas-azas keislaman. Nuansa berpolitik demikian dimimpikan akan membentuk iklim politik yang persis seperti masa kekhalifahan di negara-negara timur tengah.
Setidaknya, bergambar pada kecenderungan di atas juga akan mempengaruhi stabilitas politik di Indonesia. Lembaga-lembaga sosial termasuk di dalamnya lembaga pemerintahan menjadi sasaran empuk guna menerapkan konsep hukum dan politik yang berlandaskan pada nilai-nilai keislaman.  Lembaga-lembaga sosial ini akan merubah fungsi tak lebih dari sebuah masjid yang di dalamnya terdapat jama’at ibadah dan hubungan antara manusia dengan tuhan (hablum minallah), dan tanpa memperhatikan urusan keduniawian yang dikenal dengan faham Jabariyah.
Lebih jauh, Robert K. Merton dalam teori fungsionalisme sturuktural memandang bahwa dalam lembaga-lembaga sosial mengaharuskan adanya sebuah hubungan yang tanpa konflik. Harmonisasi akan tercipta ketika dalam lembaga-lembaga sosial tersebut mempunyai fungsi yang relevan pada berbagai dinamika zaman. Sebaliknya jika fungsi dari lembaga-lembaga sosial tersebut sudah tidak ada, pada akhirnya akan hilang ditelan peradaban dan zaman.
Kondisi demikian tentu tidak diinginkan dalam negara yang multikultural, multiagama, multietnis dan memiliki karakter pluralitas seperti di Indonesia. Kebhinekaan sebagai realitas kehidupan mempunyai tujuan bagaimana warga negara dituntut untuk mampu bersikap toleran. Bahkan ketika antarperbedaan tersebut mempunya latar belakang yang bertentangan baik secara ideologis maupun historis.
Dengan demikian, gerakan islamisasi seperti dilakukan oleh organisasi semacam NII dan Hasmi adalah sebuah pengingkaran terhadap nilai kebhinnekaan. Ketuhanan Yang Maha Esa seperti yang ada pada Pancasila sila pertama seakan tidak mempunyai nilai karena telah diberangus oleh keinginan suatu kelompok. Egoisme berlebihan ini pada akhirnya hanya akan menciptakan kekacauan yang berantai, justru ketika persoalan penegakan hukum, korupsi, kemiskinan dan kebodohan tengah berlangsung di negeri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar