Mengenai Saya

Rabu, 07 Februari 2024

Pulang Buntu, Tak Pulang Rindu


Kurang lebih begitulah perasaan kami para perantau yang bertahun-tahun hidup di perantauan. Rasa-rasanya setiap hari kami membandingkan lebih baik mana, kembali ke desa tempat kami dilahirkan atau menetap di kota dengan perjuangan dan pengorbanan. Berjuang, untuk menggapai mimpi, untuk keluarga kecil yang sedang dibangun, untuk cicilan rumah, untuk cicilan kendaraan, bahkan berjuang untuk sekadar bertahan hidup. Berkorban, karena meninggalkan kampung halaman dan orangtua yang sudah melahirkan. Dilematis memang.

Apa yang kami rasakan saat ini tampaknya amat berbeda jauh dengan perasaan saat dulu baru menginjakkan kaki di tanah rantau. Rasa-rasanya, dulu tidak sedilematis ini, tidak sepesimis ini, bahkan tidak sebimbang ini. 

Dulu, kami hanya merasakan mimpi yang menggebu. Seolah-olah semua akan dicapai, semua ingin digapai. Dengan berbagai cara. Ada yang bekerja, melanjutkan kuliah, bahkan ada yang sekadar membantu keluarga dekat yang juga hidup di satu tanah rantau.

Meski demikian banyak dari kami yang kadang seolah tanpa tujuan, hilang arah, menyelesaikan masalah tanpa bimbingan siapapun. Mandiri. Hanya belajar dari yang sudah-sudah, menengadah meminta pertolongan dan permohonan jalan lillah

Perjuangan itu seolah telah membawa kaki kami menjauh dari eksistensi kehidupan kami di tanah kelahiran. Hari demi hari hingga tahun demi tahun ternyata pikiran kami dan cara bersosialisasi kami mulai beradaptasi dengan cara bersosialisasi kehidupan orang-orang di tanah rantau. Mulai menemukan kesamaan dan perbedaan budaya, bahasa, adat dan kebiasaan antara kehidupan di desa dengan kehidupan di kota rantau. 

Tidak sedikit dari kami yang lebih terlihat sebagai orang kota daripada orang kampung, baik dari segi pakaian, cara berbicara, logat yang digunakan, hingga pemikiran dan karakter. Meskipun juga tidak sedikit dari kami yang masih terlihat kampung-(an)nya.

Secara tidak kami sadari bahwa kebiasaan-kebiasaan, aktivitas, dan interaksi sosial kami telah membuat kami merasa “nyaman” dan mulai meninggalkan kebiasaan dan pemikiran-pemikiran kami dari kampung dahulu. 

Sebagian dari kami bahkan mulai tidak betah ketika lama-lama pulang dan tinggal di kampung halaman. Bukan tanpa alasan. Kami mulai beranggapan bahwa hidup di tanah rantau lebih prospektif dari sekadar menetap di kampung halaman dengan hidup yang “ala kadarnya”.

Kendati demikian, di luar itu semua, ternyata masih ada satu perasaan yang sama sejak awal kali merantau hingga detik-detik ini. Perasaan itu adalah rindu. Kadang tanpa kami sadari, terlintas perasaan rindu kepada apa-apa yang masih di kampung, kepada orangtua tercinta, kepada rumah dengan isi perabotannya, atau pada halaman depan rumah atau sawah-sawah dan bebukitan. 

Kami menuntaskan kerinduan itu biasanya dengan pulang sejenak ke kampung halaman, melalui moment mudik lebaran, liburan akhir pekan, atau moment-moment lain yang dirasa cukup waktu untuk pulang.

Sejujurnya kami para perantau sangat rindu pulang dan ingin tinggal di kampung halaman, tetapi kami sadar di kampung halaman, orang-orang seperti kami memiliki akses yang amat terbatas untuk bisa survive di tengah kondisi sosial yang statis dan akses ekonomi yang sempit. 

Keguyuban masyarakat kami di kampung kadang juga menjadi sindrom dan benalu bagi psikis kami yang sudah terbiasa hidup individualistik dan masing-masing. Belum lagi ketika ada tetangga julid dan suka ngurusi hidup kami, bahkan kadang ikut campur urusan rumah tangga orang padahal rumah tangga sendiri belum keurus.

Bagi kami, sindrom-sindrom semacam itu umpama “kran buntu” yang menghambat pertumbuhan kami dan ujung-ujungnya menjadi tekanan kosong tak berisi. 

Pada akhirnya, kami tetap memilih untuk menjalani hidup di tanah rantau dengan segala kondisi dan kewajiban berjuang tiap hari. Tersebab, kami menyadari bahwa untuk pulang dan menetap di tanah kelahiran masih terasa buntu, pun juga tidak pulang kami merasa rindu.(*)

Minggu, 15 Oktober 2017

Di Balik "Aku Ingin Pindah ke Meikarta"

Terlalu sering nonton iklan Meikarta di televisi, kok saya jadi tertarik menyimak beritanya. Ternyata memang tidak jauh berbeda dengan proyek-proyek pembangunan selama ini di Indonesia. Mega proyek pembangunan kota baru yang diprediksi akan menyaingi Jakarta dan menghabiskan sekitar 278 triliun itu, ternyata masih belum mengantongi izin.
‎Supaya nggak terkesan kontra-pembangunan, dalam hal ini tidak keluarnya izin oleh pemerintah menurut saya bisa datang dari 2 hal. Pertama karena prosedur perizinan yang memerlukan proses. Kedua masih terdapat persyaratan yang belum terpenuhi sehingga izin tidak keluar. 
Lha kok iklan Meikarta sudah di mana-mana? Dan telah banyak nasabah yang inden hunian di area yang rencananya seluas 2.200 ha itu. Bagaimana dengan Amdal-nya? Belum lagi masalah air bersih, masalah banjir, dan menurut saya yang terpenting bagaimana dampak sosialnya.
Narasi pembangunanisme di Indonesia telah banyak memberikan pelajaran. Konflik vertikal-horizontal pada tahun 1973 di Tapos, juga di Cimacan pada 1987, serta konflik kapitalisme agraria yang saya teliti 2016 lalu di Desa Andulang. Saya rasa semuanya sudah cukup menjadi kenyataan sejarah yang tidak boleh terulang. 
Pembangunan memang merupakan keniscayaan, begitu menurut skema pembangunanisme global. Secara agresif, efektif dan efisien, pemerintah Indonesia memang dituntut untuk terus mengejar, berlari, mengejar.‎ Dan dalam mega proyek Meikarta, saya berusaha untuk husnudzon bahwa pemerintah dan pihak pengembang Lippo Group sudah kenyang dengan 'belajar dari sejarah'.‎ 
Pembangunan infrastruktur memang penting, dengan syarat tetap memperhatikan dampak lingkungan dan sosial-psikologis masyarakat sekitar.
Masih terngiang iklan itu, seorang anak usia SD berbinar harapan di matanya akan masa depan pembangunan ke arah yang lebih baik, progresif, humanis, menyejahterakan seluruh rakyat. Sambil berkata, "Aku ingin pindah ke Meikarta".

Baca juga: 
https://m.katadata.co.id/telaah/2017/10/07/sengkarut-izin-dan-pemasaran-megaproyek-meikarta





Jumat, 29 September 2017

Catatan Kecil Sejarah


Dalam hal silang sengkarut pembacaan sejarah komunisme, PKI dan G30S '65, saya lebih simpatik bicara lagu 'Genjer-genjer'. Lagu yang pernah dilarang diperdengarkan dan dinyanyikan pada masa Orde Baru (1966-1998) karena dianggap hymn for PKI.
Genjer-genjer adalah karya seni dari Bahasa Osing khas Banyuwangi, ditulis M. Arief pada 1942 dan baru populer setelah dinyanyikan ulang oleh Bing Slamet dan Lilis Suryani pada 1962. Arief menulis lagu ini sebagai bentuk protes atas penjajahan Jepang yang telah membuat rakyat pribumi kelaparan. 
Liriknya sederhana, merakyat, sama sekali tidak ada kaitan dengan politik ataupun PKI. Aransemennya bahkan terdengar melankolis, pedih, menderita, gambaran rakyat di masa kolonialisme sebelum Indonesia merdeka. Amat jauh dari kesan kejam, brutal apalagi anti-kemanusiaan.
Terlepas dari kenyataan sejarah tentang penghianatan, pemerasan, pembunuhan, pemelintiran fakta, atau pembacaan-pembacaan semacamnya, baik simpatisan maupun bukan, sejarah tetaplah penting. Bukan untuk menjudge, bukan! Agar tidak dhalim. Itu saja.
Seni tetaplah seni. Dan sejarah akan tetap hidup sebagai sebuah pelajaran, sepahit apapun. "Happy is the poeple without history," Dawson say. But, that's impossible! That's nothing! Karena kita, dunia kita, semuanya adalah bagian dari sejarah.
Catatan Kecil 30 September‎

Selasa, 19 September 2017

Tujuhbelasan



Seperti reruntuhan bangunan menimpa tubuh ringkih. Segala cerita, kenangan dan darah juang berputar-putar bagai partikel di sekitar, atau kadang sekadar membikin radang. Tak punya daya untuk lanjutkan, berhenti pun rasanya enggan. Harapan, pesimistis, melankolis, campuraduk, membuka lembaran lama di mana semua kenyataan sekarang belum di benak.
"You go, giving up your home. Go, leaving all you've known," kata Chester dalam Not Alone-nya: menggertak untuk segera memutuskan; bertahan, atau mati dalam kubangan masa lampau!; Mengulang sebuah masa di mana kepala menjadi kaki, atau menginjak-injak mimpi dan menguburnya seperti sampah! 
Semua hanya tentang belenggu keterbatasan. Dan perasaan tak enak hati yang berlebihan. Sebab tak tahu sampai kapan selalu merepotkan. Ah, ini hanya segelintir cerita orang-orang terjajah. Kolonialisme batin, dan ketakberdayaan!
Sementara itu, di sudut-sudut kota dan di gang-gang pemukiman warga terdengar teriakan: 72 Tahun Indonesia Merdeka!, Jayalah Indonesiaku!, Dan semacamnya, tetapi televisi tetap berteriak tentang kebohongan. Sama sekali tak esensial!

#seharimenjelangtujuhbelasan

Dilema Tanpa Henti



Dilema pilihan rasional; antara yang ide dan yang nyata; antara keberpihakan pikiran dan realitas yang membingungkan. Seolah-olah raga tergantung di atas jurang. Jika tak memilih, akan jatuh ke dasar yang kelam. Jika memilih, tunggulah musuh-musuh baru akan datang.
Saya sangat sadar bahwa hidup bukan semata-mata soal perut dan makan. Hidup bukan juga hanya soal harapan dan keinginan. Jika ada orang bilang bahwa hidup itu simple, tentu dia juga salah satu bagian dari dua pilihan. Begitupun sebaliknya.
Pelahan-lahan terpikir dan terasa keinginan akan hadirnya sebuah 'makna'. Kita amat merindukan hadirnya suatu keberartian yang berwujud, tentang manfaat dan guna. Bahwa, di antara ke dua-dua pilihan tersebut masih ada sebuah makna pada masing-masingnya. 
Hingga tak ada yang mencerca, hingga tak ada yang terpecah. Kecuali Tuhan sedang ingin bercanda...

Kamis, 22 Desember 2016

ERA PEMERINTAHAN PEMBANGUNAN



Setelah  dua tahun Presiden Jokowi menjabat, telah banyak perubahan-perubahan yang dilakukan. Pembangunan infrastruktur maupun deregulasi bidang pendidikan, sosial, ekonomi maupun politik, perlu diakui cukup banyak memberikan jalan ke arah yang lebih positif. Presiden juga masih memperingatkan bahwa pembangunan-pembangunan tersebut (khususnya di bidang infrastruktur) masih jauh tertinggal daripada yang diharapkan. Sehingga, pemerintahan mulai kembali melakukan percepatan pembangunan.
Masa pemerintahan Presiden Jokowi mungkin termasuk kali pertama yang mengadakan berbagai perombakan besar secara cepat, mulai dari tingkat birokrasi eksekutif dengan adanya reshuffle di tubuh kementerian hingga berbagai revolusi di tingkat pelayanan bidang kesehatan, sosial, pendidikan dan ekonomi.
Dalam konteks pemerintahan demokrasi di Indonesia, dimana presiden menjadi komando dari segala aktivitas pemerintah, akan sangat besar kontrol sosial kepada presiden. Publik pun dapat menilai kinerja yang dilakukan dalam pemerintahan, kemudian memberikan masukan melalui lembaga legislatif yang ada. Sehingga akan sangat besar kemungkinan melakukan berbagai kebijakan pembangunan disertai dukungan dari masyarakat.
Pemerintahan sekarang, dalam hemat penulis, dapat disebut dengan era pemerintahan pembangunan, di mana pada periode jabatan Presiden Jokowi ini sangat tepat bagi segala aktivitas pembangunan untuk dilakukan. Menyambut segala perubahan dan perkembangan zaman di dunia, Indonesia memang butuh segala perbaikan untuk dapat bersaing dan menjadi negara yang tidak gampang disepelekan. Percepatan pembangunan sejatinya bukan hanya dalam bidang infrastruktur, melainkan lebih pada perbaikan dalam wilayah yang lebih personal seperti pendidikan, kesehatan dan perbaikan ekonomi.
Pemerintahan pembangunan ditandai beberapa hal. Pertama, reformasi birokrasi dalam tubuh pemerintahan. Pembangunan akan sangat baik jika diawali dengan secara terus-menerus memperbarui kualitas sumber daya manusia di tubuh pemerintahan. Adanya reshuffle dalam tubuh pemerintahan pusat (dalam hal ini kementerian) tentu akan sangat baik karena adanya semangat yang baru dalam memberikan dukungan dan dorongan terhadap presiden. Akan tetapi, pertimbangan yang penting dalam reformasi ini yakni bukan hanya karena unsur kedekatan politik saja melainkan yang lebih penting adalah didasari pilihan rasional presiden yang khusus bagi efektvitas kinerja di pemerintahan.
Kedua, ideologi pembangunan (ideology’s of development) begitu tampak dan terasa oleh masyarakat banyak. Pembangunan seharusnya dilakukan murni hanya untuk kepentingan umum tanpa melibatkan kepentingan pribadi ataupun kelompok. Problematika program reklamasi yang belakangan ini mencuat tentu berpotensi menimbulkan kepincangan dalam pelaksanaan pembangunan itu sendiri.
Beberapa alternatif perlu dipertimbangkan khususnya dalam pelaksanaan proyek reklamasi tersebut. Alternatif tersebut bisa dilakukan dengan cara sosialisasi terlebih dahulu misalnya, sehingga akan timbul perasaan dihargai dalam diri masyarakat. Dalam ideologi pembangunan memang butuh ditanamkan akan nilai-nilai kemanusiaan, sehingga tidak lagi dianggap hanya akan memperkeruh keadaan dengan timbulnya konflik antara masyarakat dan pemerintah. Apa yang menjadi masalah kebijakan reklamasi dalam pemerintahan pembangunan selama kepemimpinan dua tahun Jokowi setidaknya perlu menjadi pelajaran bersama.
Ketiga, realisasi pemerintahan pembangunan menjadi agenda mendesak manakala dilakukan melalui pemberdayaan, terutama di bidang ekonomi. Konsep Nawacita Jokowi dalam bidang ekonomi sejatinya harus menjadi acuan bagi standar operasional pelaksanaan (SOP) dalam bidang pembangunan ekonomi. Pemberdayaan ekonomi masyarakat menengah ke bawah (midle and lower class) setidaknya harus menjadi program jangka panjang dalam bidang ekonomi pemerintah. Selain mengembalikan kekayaan negara yang bersifat Nasional, pemerintah juga perlu melakukan langkah-langkah taktis yang massif demi mengangkat derajat perekonomian masyarakat secara umum.
Apa yang dilakukan Menteri Perekonomian Sri Mulyani melalui program text amnesty atau pengampunan pajak, perlu dikembangkan ke arah penguatan sektor ekonomi mikro. Pengusaha-pengusaha di dalam Negeri dewasa ini perlu pengakuan melalui berbagai program pemerintah yang tersertifikasi. Lembaga-lembaga sertifikasi seperti LSP di bidang profesi khususnya kewirausahaan perlu digalakkan secara menyeluruh di semua daerah di Indonesia.
Dalam hal ini Kementerian Perekonomian (Kemenko) perlu menjalin relasi dengan berbagai elemen masyarakat dan kementerian lain khususnya di bidang ketenagakerjaan.
Keempat, eksistensi pemerintahan pembangunan ini sejatinya sangat cocok bagi sebuah keadaan transisi dari negara Dunia Ketiga atau negara berkembang menuju negara maju. Pembangunan, baik di sektor industri-ekonomi, pendidikan, sosial dan budaya memang butuh inovasi teknologi yang hadir dari dalam negeri, karena tidak bisa dipungkiri bahwa hadirnya teknologi untuk memperlancar aktivitas manusia memang menjadi kebutuhan di era dewasa ini. Untuk itu, diperlukan penyosialisasian di berbagai sektor masyarakat industri.
Dengan demikian, pembangunan dalam era pemerintahan Presiden Jokowi perlu mendapat dukungan dari masyarakat mulai akar hingga rumput. Pemerintahan daerah, dalam hal ini, juga ikut bertanggung jawab melaksanakan pembangunan dengan tetap mengutamakan kepentingan umum. Akan sangat disayangkan jika dalam pemerintahan pembangunan ini hanya melibatkan kelompok-kelompok sosial tertentu, karena dalam pemerintahan pembangunan harus murni berorientasi pada kepentingan bersama, yakni kepentingan warga negara Indonesia.

Rabu, 21 Desember 2016

Elliot dan Dunia Hiperrealitas (Sebuah Refleksi atas Film “Mr. Robot”)



Sinopsis Film
Kening berkerut dan penasaran! Mungkin itulah ekspresi yang ditunjukkan ketika menonton film Mr. Robot, sebuah film series yang dibintangi aktor pendatang baru Rami Malek dengan nama tokoh Elliot. Film ini mengisahkan tentang bagaimana Elliot, seorang hacker yang terindikasi mengalami gangguan jiwa, tetapi sangat jenius dan handal hingga mampu menghancurkan korporasi jahat yang menguasai seluruh lini perekonomian.
Korporasi dunia bernama E Corp dalam film ini merupakan sebuah konglomerasi jahat hingga diistilahkan dengan Evil Corporation (Korporasi Setan/Jahat). Korporasi  ini menguasai sendi perekonomian masyarakat mulai dari yang terkecil dan paling umum, hingga perekonomian kelas atas (high class economy). Bidang pangan, transportasi dan teknologi mampu dikuasainya, bahkan hingga bank pun yang rata-rata memberikan layanan singkat dan membuat masyarakat akhirnya terjebak ke dalam hutang yang tak mungkin dibayar sehingga masyarakat menjadi budak dari korporasi besar yang jahat dengan kuasanya ini.
Elliot bekerja pada perusahaan cyber security bernama All Safe yang kehilangan ayahnya memiliki kebencian mendalam pada E Corp. Ayahnya meninggal terkena kanker Leukimia karena percobaan senjata rahasia yang digagas oleh E Corp. Sebab itulah, Elliot berencana menghancurkan perusahaan tersebut kemudian membebaskan semua orang dari jerat hutang kepada E Corp yang tak mungkin dibayar itu. Perusahaan E Corp memiliki server raksasa yang menyimpan semua data mengenai hutang dan kredit yang dilakukan masyarakat. Server ini berada di dua titik, yaitu di Steel Mountain dan di China. Dua server inilah yang pada akhirnya nanti dileburkan dan dihancurkan dalam hitungan menit tanpa terdeteksi sedikitpun.
Sebagai orang yang jago hacking, Elliot memang ahli hampir di segala hal tentang jaringan internet membuatnya menjadi seorang yang paling disegani sekaligus juga paling lemah karena kondisi kejiwaannya yang tak stabil. Bersama adiknya, Darlene dan beberapa hacker lain, Elliot membuat sebuah gerakan bernama FSociety. Gerakan FSociety inilah yang kemudian melumpuhkan dan menghancurkan seluruh jaringan perusahaan E Corp dan menghapus semua data transaksi kredit perbankan hingga membebaskan masyarakat dari hutang-hutangnya.
Yang menarik, film ini benar-benar membuat penonton memiliki rasa ingin tahu akan plot-plot yang sesungguhnya memang banyak menggambarkan keadaan dunia saat ini. Seorang Elliot yang dilanda gangguan jiwa dengan kerancuan antara yang nyata dan tidak nyata. Ia dibayang-bayangi oleh sosok ayahnya yang muncul dalam kehidupannya sehari-hari bahkan dalam bentuknya yang amat nyata; ia bahkan tidak sadar berbicara sendiri tanpa tahu bahwa itu suatu manifestasi yang hanya Elliot sendirilah yang bisa melihatnya.

Elliot dan Hiperrealitas: Sebuah Refleksi

Elliot benar-benar terjebak dalam kepalsuan dunianya. Ia terjatuh dalam kondisi yang berbaur antara kepalsuan dan keaslian; fakta yang bersimpangsiur dengan rekayasa. Kategori-kategori kebenaran, keaslian, kepalsuan tidak berlaku lagi di dalam dunia dan era yang dialami Elliot.  Akan tetapi, refleksi ini bukan hendak membahas mengenai Elliot yang secara psikis memiliki gangguan kejiwaan, melainkan fokus pada “pesan” yang disampaikan oleh film Mr. Robot mengenai kondisi dunia postmodern di mana realitas dikonstruksi sedemikian simulatif oleh digitalisasi di berbagai sendi dan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang amat dahsyat hingga realitas telah hilang dan menguap.
Halusinasi tentang gangguan jiwa yang dialami manusia berbaur dengan realitas ironis di mana tak dapat dibedakan lagi mana yang nyata dan yang palsu; suatu kondisi yang oleh Jean Baudrillard (1929-2007) disebut sebagai “Hyperreality”. Dalam konsep Simulacra-nya, Baudrillard menggabarkan mengenai penciptaan kenyataan (simulasi) melalui sesuatu yang berhubungan dengan “mitos” yang tak dapat dilihat kebenarannya dalam kenyataan. Dalam dunia simulasi yang terutama dikonstruksi oleh media massa saat ini, masyarakat akan terjatuh dalam ‘hiperrealitas’ di mana tidak ada lagi yang lebih realistis karena yang nyata tak lagi jadi rujukan. Hal ini sangat jelas digambarkan dalam sebuah dialog di film ini, sebagai berikut:
Dunia dibangun berdasarkan khayalan. Perasaan buatan yang berwujud obat, perang urat saraf yang berwujud pengiklanan, zat penenang pikiran yang berwujud makanan, seminar pencucian otak yang berwujud media, dunia yang diisolasi dan dikendalikan yang berwujud jejaring sosial. Nyata? Kau ingin membahas kenyataan? Kita telah hidup jauh dari kenyataan semenjak pergantian abad. Kita sudah mematikannya, mengeluarkan baterainya, memakan cemilan transgenik sementara kita terus membuang sampah-sampah kondisi kemanusiaan yang terus berkembang. Kita menempati rumah yang diberi cap dagang oleh perusahaan-perusahaan, yang dibangun di atas angka-angka bipolar, yang menari-nari pada layar digital, menghipnotis kita ke dalam mimpi umat manusia terbesar yang pernah ada... kita hidup di dunia yang penuh kebohongan, dunia yang sudah cukup lama kau tinggali,” (Mr. Robot Eps.1.9 menit ke: 00:45:09 – 00:46:02).
Inilah dunia postmodern. Dunia dengan asumsi-asumsi kuat mengenai hubungan antara manusia dan media. Dalam kebudayaan postmodern, media dan massa memiliki fungsi yang amat urgen. Media telah melipat dunia dan menginvasi ruang publik dan pribadi (private), kemudian mengaburkan batas-batasnya hingga menjadi ukuran moral baru bahkan “melangkahi” institusi moral tradisional seperti agama. Melalui media (teknologi dan digitalisasi), dunia menjadi kian sempit; memperkecil ruang dan mempercepat waktu.
Dalam dunia ini pula, sistem ekonomi kapitalisme lanjut telah membentuk suatu institusi ekonomi masyarakat baru melalui apa yang disebut sebagai budaya pop (pop culture). Tujuannya sudah jelas, yakni memperoleh keuntungan sebesar-besarnya (dalam proses capital accumulation-nya Karl Marx) melalui penciptaan produk-produk budaya populer untuk dikonsumsi secara massif oleh masyarakat. Produk makanan, fashion, kebutuhan rumah tangga, iklan televisi, dan berbagai produk kapitalisme lainnya dikonstruksi sedemikian rupa hingga mengaburkan nilai guna sebagai esensinya.
Sebuah dunia dengan kekuatan semiotika, simulasi, dan teknologi informasi melebur menjadi suatu kekuatan yang memungkinkan pihak pengusaha mendapatkan informasi seperti apakah tipe masyarakat yang ingin mereka sasar. Dalam kondisi seperti inilah, masyarakat benar-benar dibentuk menjadi masyarakat konsumtif. Masyarakat mengkonsumsi sesuatu bukan karena kebutuhan, melainkan karena ingin menyamakan dengan kelas sosial tertentu. Suatu misal, masyarakat membeli desain fashion tertentu hanya karena ingin meniru artis tertentu. Dalam istilah Baudrillard, masyarakat konsumtif semacam ini bukan dalam rangka membeli produk, melainkan ‘membeli tanda’ (sign buying).
Konklusinya, ada pesan tersembunyi yang ingin disampaikan dalam film Mr. Robot ini, yakni; suatu kritik atas masyarakat konsumtif. Masyarakat yang telah terkaburkan cara pandangnya atas realitas yang nyata dan realitas yang palsu (disimulasi). Dugaan saya, sang sutradara ingin menyamakan antara Elliot (seorang pribadi yang mengalami gangguan kejiwaan) dengan masyarakat modern saat ini, di mana keduanya sama-sama (nyaris) tak dapat membedakan mana keaslian (nyata) dan kepalsuan (simulasi). Semoga saja dugaan saya salah.hehe
Wallahu  A’lam...