“Kecenderungan” kepada lain jenis sehingga
melahirkan “keindahan sementara” dalam “sindrom kasmaran” yang menjangkiti
mayoritas “kernet” (baca: Pengurus, dan tak terkecuali “Sopir”[2]-nya)
justru membuat Penulis semakin gamang menjamah masa depan. Alasannya jelas,
karena Penulis masih berada dalam lingkungan yang agamis di lembaga pendidikan Islam
tertua di Indonesia. Kegamangan itu terlahir ketika harus dihadapkan pada ‘absurditas
yang dipuji-puji’ (baca: barokah). Karena barokah seumpama “nilai lebih” yang
tidak bisa didapat jika terus melayani dan menjalin hubungan (yang bisa disebut
dengan) kasmaranisme[3].
Walaupun statement ini belum tentu menjadi
kebenaran universal, namun setidaknya realitas lingkungan telah membuktikannya
secara gamblang pada generasi-generasi sebelumnya. Misalnya yang terjadi pada Ahmad
Fawaid[4] yang--kabarnya
sekarang--sudah tidak lagi memiliki komitmen konkret karena telah terjebak pada
kasmaranisme budaya “pink”. Bukti ini semakin memojokkan Penulis karena terus
dibayang-bayangi oleh kegagalan individual yang pada akhirnya akan mengubur
idealisme kehidupan masa depan.
Bukannya penulis merasa pesimis, namun pembacaan
realistis pada individu-individu yang mulai mengalami pemudaran potensialisme
semakin membuktikan hipotesa yang (setidaknya) harus diakui kebenarannya secara
universal bahwa, sekuat apapun komitmen seseorang jika ia tidak mampu membangun
dan mengonkretkan prinsip hidupnya, maka ia akan menjadi orang yang paling
gagal dalam kehidupan. Sungguh kenyataan yang ironis jika ini harus dialami
oleh Penulis sebagai “Sopir” di Mobil IKSBAR.
Ada fakta lain yang (mungkin) lebih besifat
magis, tetapi bisa dirasionalisasikan melalui pembacaan kritis dan kontemplatif
yakni, mental sibuk(isme) yang akan melahirkan sebuah konsekuensi logis pada
penurunan semangat mencari bakat potensi diri. Ketika “dipaksa” berpegang teguh
pada prinsip sosialisme, seorang individu justru menjadi lelah dan tidak yakin
akan eksistensialitas dirinya. Prinsip sosialistik yang menjadi dasar dan
komitmen dalam suatu organisasi, diakui atau tidak, akan menjadi momok
menakutkan bagi seorang pemimpin yang masih berada pada taraf pencarian jati
diri. Karena, secara tidak langsung, karakter dan kepribadiannya akan
digadaikan dengan sebuah kepentingan yang belum tentu terbaik bagi perkembangan
dan penegasan komitmen masa depannya.
Talenta karakter kepemimpinan yang masih minim
menjadi faktor lain atas lumpuhnya sebuah organisasi. Walaupun, sebenarnya,
kedewasaan berfikir seseorang bukan dari faktor usia, namun kondisi emosional-psikologis
yang belum mencapai stabilitas klimaks pada diri seorang remaja[5]
justru akan memperlemah anatomi keorganisasian. Ketidakjelasan tujuan yang dilatari
oleh pertentangan antar-ideologi individualisme-sosialisme menjadi sebuah konsekuensi
logis yang tak tertanggungkan.
Padahal, Penulis sendiri sadar bahwa,
sosialisme adalah sebuah komitmen yang harus menjadi prinsip dalam diri seorang
pemimpin tanpa ada kecenderungan individualisme sedikitpun. Karena dengan
sosialisme-lah pada tataran aplikasinya akan menciptakan atmosfir demokratis
dalam tubuh organisasi, kebangsaan dan kenegaraan. Namun Penulis belum bisa memegang
teguh prinsip dasar demokrasi itu, karena keperibadian ini masih harus mencapai
idealisme individual sebagai langkah awal menuju perbaikan derajat kehidupan.
Inilah kerancuan paradigma psikologis yang
dirasakan Penulis sejauh kepemimpinan dirinya di IKSBAR. Istilah “Pemimpin yang
Gagal” (mungkin) yang patut disandangkan kepada Penulis justru harus dijadikan “cambuk”
bagi generasi-generasi selanjutnya. Kemajuan dan kesuksesan dalam hal keorganisasian
yang bersifat pembelajaran (organizing of education)[6]
bukan diukur dari sejauh mana Ia melaksanakan proker formal, melainkan
pemberdayaan dialogis yang mampu melahirkan individu-individu (baca: kader)
kritis dan mumpuni[7]
ketika telah terjun ke dunia nyata yang dinamai dengan “masyarakat”, kelak!
Dengan demikian, tulisan ini hanya sekadar
curahan hati Penulis atas kepemimpinannya yang telah gagal. Sebuah harapan dari
penulis kepada generasi-generasi selanjutnya: dalam hal keorganisasian,
kestrukturan jangan hanya dimaknai sebagai formalitas di atas kertas. Struktur organisasi
harus jelas seperti keanggotaan baik putra maupun putri[8]. Karena
struktur menggambarkan sakralitas dan soliditas yang harus dibangun sejak awal
guna memudahkan kordinasi antar-anatomi dalam tubuh organisasi.
Sebagai bagian akhir, Penulis mencoba
menyajikan sebuah lagu yang mungkin cukup representatif bagi akhir pengembaraan
panjang Penulis selama satu periode di Organisasi IKSBAR;
Takkan selamanya…
Tanganku mendekapmu,
Takkan selamanya…
Raga ini menjagamu
Seperti alunan detak jantungku
Tak bertahan melawan waktu
Dan semua keindahan yang memudar
Atau cinta yang ‘tlah hilang
Tak ada yang abadi…
Tak ada yang abadi…
Tak ada yang abadi…
Tak ada yang abadi…
Owww..
Biarkan aku bernafas, sejenak, sebelum
hilang…..
Takkan selamanya tanganku mendekapmu,
Takkan selamanya raga ini menjagamu
Jiwa yang lama segera pergi…
Bersiaplah para pengganti[9].
Wassalamu’alaikum.
*) Tulisan ini
berdasarkan pengalaman pribadi penulis ketika menjabat sebagai Ketua Organisasi
Daerah Ikatan Keluarga Santri Bragung (IKSBAR)
[1]
Tulisan sederhana ini berdasarkan pengalaman Penulis selama kepemimpinannya di Orda
Ikatan Keluarga Santri Bragung (IKSBAR) periode 2009-2010 M. Kemudian judul di
atas Penulis terinspirasi kepada tulisan Fathorrahman Hasbul yang menengarai
bahwa sumber kecacatan seorang pemimpin ialah ketika pemimpin itu telah
menjadikan jabatannya sebagai wahana meraup kebahagiaan pribadinya dengan
mencari kehidupan dalam anggaran organisasi, serta korupsi kesempatan dan
jabatan dengan menjalin asmara di balik asrama. Lebih jelasnya lihat: Fathorrahman
Hasbul, Benih Potensial Pendidikan Antikorupsi (Majalah Muara edisi
XXXII, 2010), hlm: 44-45.
[2] Hal ini dialami Penulis (sebagai
Sopir) ketika di awal kepemimpinannya sempat mengalami “kecelakaan” sejarah
dan hampir terjun ke dunia pink. Istilah “Sopir” pun lahir karena peristiwa
yang tak disangka itu.
[3]
Istilah ini (baca: kasmaranisme) dipakai ketika seseorang telah terjangkit
virus suka antarlawan jenis sehingga berkonsekuensi pada pacaran dan
sebagainya.
[4] Ahmad Fawaid adalah alumni PPA.
Lubsel, pada waktu masih nyantri pernah menjuarai lomba LKTI Nasional. Namun kabarnya,
ketika sudah tinggal di Jogja (untuk kuliah) produktivitasnya malah mengalami
penurunan, karena telah terkontaminasi oleh virus pink.
[5]
Pemimpinnya kan masih dalam usia
remaja. Dan mungkin inilah alasan mengapa saya agak pesimis di organisasi
(ketika berbincang dengan mbak mahfudhah kemaren), karena memang kondisi
emosional-psikologis yang masih belum mencapai kedewasaan. Tapi akhirnya saya
sadar bahwa berorganisasi itu memang penting dengan tidak menafikan potensi
yang lain.
[6] Organizing of education sebagai
wahana pembelajaran dalam meningkatkan kecerdasan emosional, intelektual dan
spiritual santri yang nantinya dapat memeberikan kontribusi urgen untuk
masyarakat, bangsa dan Negara.
[7]
Mengacu pada visi misi organisasi IKSBAR yakni, berdisiplin, bertanggung jawab,
kritis, kreatif, inovatif, populis dan up to date serta
memerankan nilai-nilai ukhwah islamiyah.
[8] Kalau perlu (bukan hanya perlu tapi wajib),
di putri harus ada struktur yang legal formal sehingga membentuk sebuah
“organisasi ideal”. Namun dalam pmebuatan program kerja jangan terlalu
muluk-muluk, intinya dapat terorganisir dengan baik.
[9] Lagu dari grup band Peterpan
dengan judul: “Tak Ada yang Abadi”. Ini muncul sebagai penegasan bahwa
kepemimpinan seseorang pasti berada di atas “menara gading”. Dan (seperti kata pepatah)
‘tak ada gading yang tak retak’. Sehingga diperlukan generasi yang dapat
memperbaiki dan mengokohkan kembali gading itu. Berjuanglah…!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar