Mengenai Saya

Jumat, 11 Mei 2012

IKSBAR dan Nostalgia Kepemimpinan yang Gagal

Sepanjang kepemimpinan Penulis di organisasi yang diibaratkan dengan sebuah “mobil nyungsep” dan harus dibawa ke bengkel, berbagai kecacatan ada dalam organisasi yang lahir dari masyarakat Desa Celurit itu. Kepudaran potensi dan eksistensi yang dirasakan Penulis belakangan ini justru menjadi sebuah pelajaran hidup. Betapa sulitnya mempertahankan dan memajukannya jika komponen-komponen penting tidak begitu memiliki ghirah, sehingga wajar ketika seorang pemimpin kerapkali harus dihadapkan pada “kekerdilan potensialitas”; yang mulai dulu sudah terbangun.
“Kecenderungan” kepada lain jenis sehingga melahirkan “keindahan sementara” dalam “sindrom kasmaran” yang menjangkiti mayoritas “kernet” (baca: Pengurus, dan tak terkecuali “Sopir”[2]-nya) justru membuat Penulis semakin gamang menjamah masa depan. Alasannya jelas, karena Penulis masih berada dalam lingkungan yang agamis di lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Kegamangan itu terlahir ketika harus dihadapkan pada ‘absurditas yang dipuji-puji’ (baca: barokah). Karena barokah seumpama “nilai lebih” yang tidak bisa didapat jika terus melayani dan menjalin hubungan (yang bisa disebut dengan) kasmaranisme[3].
Walaupun statement ini belum tentu menjadi kebenaran universal, namun setidaknya realitas lingkungan telah membuktikannya secara gamblang pada generasi-generasi sebelumnya. Misalnya yang terjadi pada Ahmad Fawaid[4] yang--kabarnya sekarang--sudah tidak lagi memiliki komitmen konkret karena telah terjebak pada kasmaranisme budaya “pink”. Bukti ini semakin memojokkan Penulis karena terus dibayang-bayangi oleh kegagalan individual yang pada akhirnya akan mengubur idealisme kehidupan masa depan.
Bukannya penulis merasa pesimis, namun pembacaan realistis pada individu-individu yang mulai mengalami pemudaran potensialisme semakin membuktikan hipotesa yang (setidaknya) harus diakui kebenarannya secara universal bahwa, sekuat apapun komitmen seseorang jika ia tidak mampu membangun dan mengonkretkan prinsip hidupnya, maka ia akan menjadi orang yang paling gagal dalam kehidupan. Sungguh kenyataan yang ironis jika ini harus dialami oleh Penulis sebagai “Sopir” di Mobil IKSBAR.
Ada fakta lain yang (mungkin) lebih besifat magis, tetapi bisa dirasionalisasikan melalui pembacaan kritis dan kontemplatif yakni, mental sibuk(isme) yang akan melahirkan sebuah konsekuensi logis pada penurunan semangat mencari bakat potensi diri. Ketika “dipaksa” berpegang teguh pada prinsip sosialisme, seorang individu justru menjadi lelah dan tidak yakin akan eksistensialitas dirinya. Prinsip sosialistik yang menjadi dasar dan komitmen dalam suatu organisasi, diakui atau tidak, akan menjadi momok menakutkan bagi seorang pemimpin yang masih berada pada taraf pencarian jati diri. Karena, secara tidak langsung, karakter dan kepribadiannya akan digadaikan dengan sebuah kepentingan yang belum tentu terbaik bagi perkembangan dan penegasan komitmen masa depannya.
Talenta karakter kepemimpinan yang masih minim menjadi faktor lain atas lumpuhnya sebuah organisasi. Walaupun, sebenarnya, kedewasaan berfikir seseorang bukan dari faktor usia, namun kondisi emosional-psikologis yang belum mencapai stabilitas klimaks pada diri seorang remaja[5] justru akan memperlemah anatomi keorganisasian. Ketidakjelasan tujuan yang dilatari oleh pertentangan antar-ideologi individualisme-sosialisme menjadi sebuah konsekuensi logis yang tak tertanggungkan.
Padahal, Penulis sendiri sadar bahwa, sosialisme adalah sebuah komitmen yang harus menjadi prinsip dalam diri seorang pemimpin tanpa ada kecenderungan individualisme sedikitpun. Karena dengan sosialisme-lah pada tataran aplikasinya akan menciptakan atmosfir demokratis dalam tubuh organisasi, kebangsaan dan kenegaraan. Namun Penulis belum bisa memegang teguh prinsip dasar demokrasi itu, karena keperibadian ini masih harus mencapai idealisme individual sebagai langkah awal menuju perbaikan derajat kehidupan.
Inilah kerancuan paradigma psikologis yang dirasakan Penulis sejauh kepemimpinan dirinya di IKSBAR. Istilah “Pemimpin yang Gagal” (mungkin) yang patut disandangkan kepada Penulis justru harus dijadikan “cambuk” bagi generasi-generasi selanjutnya. Kemajuan dan kesuksesan dalam hal keorganisasian yang bersifat pembelajaran (organizing of education)[6] bukan diukur dari sejauh mana Ia melaksanakan proker formal, melainkan pemberdayaan dialogis yang mampu melahirkan individu-individu (baca: kader) kritis dan mumpuni[7] ketika telah terjun ke dunia nyata yang dinamai dengan “masyarakat”, kelak!
Dengan demikian, tulisan ini hanya sekadar curahan hati Penulis atas kepemimpinannya yang telah gagal. Sebuah harapan dari penulis kepada generasi-generasi selanjutnya: dalam hal keorganisasian, kestrukturan jangan hanya dimaknai sebagai formalitas di atas kertas. Struktur organisasi harus jelas seperti keanggotaan baik putra maupun putri[8]. Karena struktur menggambarkan sakralitas dan soliditas yang harus dibangun sejak awal guna memudahkan kordinasi antar-anatomi dalam tubuh organisasi.
Sebagai bagian akhir, Penulis mencoba menyajikan sebuah lagu yang mungkin cukup representatif bagi akhir pengembaraan panjang Penulis selama satu periode di Organisasi IKSBAR;
Takkan selamanya…
Tanganku mendekapmu,
Takkan selamanya…
Raga ini menjagamu
Seperti alunan detak jantungku
Tak bertahan melawan waktu
Dan semua keindahan yang memudar
Atau cinta yang ‘tlah hilang
Tak ada yang abadi…
Tak ada yang abadi…
Tak ada yang abadi…
Tak ada yang abadi…
Owww..
Biarkan aku bernafas, sejenak, sebelum hilang…..
Takkan selamanya tanganku mendekapmu,
Takkan selamanya raga ini menjagamu
Jiwa yang lama segera pergi…
Bersiaplah para pengganti[9].
  Wassalamu’alaikum.
*) Tulisan ini berdasarkan pengalaman pribadi penulis ketika menjabat sebagai Ketua Organisasi Daerah Ikatan Keluarga Santri Bragung (IKSBAR)




[1] Tulisan sederhana ini berdasarkan pengalaman Penulis selama kepemimpinannya di Orda Ikatan Keluarga Santri Bragung (IKSBAR) periode 2009-2010 M. Kemudian judul di atas Penulis terinspirasi kepada tulisan Fathorrahman Hasbul yang menengarai bahwa sumber kecacatan seorang pemimpin ialah ketika pemimpin itu telah menjadikan jabatannya sebagai wahana meraup kebahagiaan pribadinya dengan mencari kehidupan dalam anggaran organisasi, serta korupsi kesempatan dan jabatan dengan menjalin asmara di balik asrama. Lebih jelasnya lihat: Fathorrahman Hasbul, Benih Potensial Pendidikan Antikorupsi (Majalah Muara edisi XXXII, 2010), hlm: 44-45.
[2] Hal ini dialami Penulis (sebagai Sopir) ketika di awal kepemimpinannya sempat mengalami “kecelakaan” sejarah dan hampir terjun ke dunia pink. Istilah “Sopir” pun lahir karena peristiwa yang tak disangka itu.
[3] Istilah ini (baca: kasmaranisme) dipakai ketika seseorang telah terjangkit virus suka antarlawan jenis sehingga berkonsekuensi pada pacaran dan sebagainya.
[4] Ahmad Fawaid adalah alumni PPA. Lubsel, pada waktu masih nyantri pernah menjuarai lomba LKTI Nasional. Namun kabarnya, ketika sudah tinggal di Jogja (untuk kuliah) produktivitasnya malah mengalami penurunan, karena telah terkontaminasi oleh virus pink.    
[5]  Pemimpinnya kan masih dalam usia remaja. Dan mungkin inilah alasan mengapa saya agak pesimis di organisasi (ketika berbincang dengan mbak mahfudhah kemaren), karena memang kondisi emosional-psikologis yang masih belum mencapai kedewasaan. Tapi akhirnya saya sadar bahwa berorganisasi itu memang penting dengan tidak menafikan potensi yang lain. 
[6] Organizing of education sebagai wahana pembelajaran dalam meningkatkan kecerdasan emosional, intelektual dan spiritual santri yang nantinya dapat memeberikan kontribusi urgen untuk masyarakat, bangsa dan Negara.  
[7] Mengacu pada visi misi organisasi IKSBAR yakni, berdisiplin, bertanggung jawab, kritis, kreatif, inovatif, populis dan up to date serta memerankan nilai-nilai ukhwah islamiyah.
[8]  Kalau perlu (bukan hanya perlu tapi wajib), di putri harus ada struktur yang legal formal sehingga membentuk sebuah “organisasi ideal”. Namun dalam pmebuatan program kerja jangan terlalu muluk-muluk, intinya dapat terorganisir dengan baik.
[9] Lagu dari grup band Peterpan dengan judul: “Tak Ada yang Abadi”. Ini muncul sebagai penegasan bahwa kepemimpinan seseorang pasti berada di atas “menara gading”. Dan (seperti kata pepatah) ‘tak ada gading yang tak retak’. Sehingga diperlukan generasi yang dapat memperbaiki dan mengokohkan kembali gading itu. Berjuanglah…!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar