Mengiringi kebijakan pemerintah tentang naiknya harga BBM yang akan
diberlakukan pada 01 April 2012, rakyat tak henti-hentinya melakukan
perlawanan. Berbagai aksi demonstrasi di berbagai kota, seperti di
Jogjakarta, Kalimantan, Makassar, Malang, bahkan Jakarta kini telah
mengiringinya.
Tepatnya tanggal 27-28 Maret 2012 demo besar –besaran akhirnya juga
terjadi di kota Surabaya. Diperkirakan kurang lebih 72.000 orang dari
berbagai kalangan turun ke jalan. Pom bensin dijaga ketat oleh aparat.
Bahkan sempat terjadi kemacetan diberbagai daerah di Surabya seperti
Jalan Pemuda, Tunjungan dan daerah lainnya.
Berbagai aksi demonstrasi tersebut menunjukkan kegalauan rakyat atas kebijakan pemerintah yang cenderung idealistik an-sich,
nampak memiliki tujuan jangka panjang namun tidak dibarengi
pemberdayaan rakyat secara riil. Betapa tidak, naiknya harga BBM yang
dilatari karena melonjaknya harga minyak mentah di pasar Internasional
hingga lebih dari 104,70 dollar AS per barel, hanya berdasarkan
spekulasi angka dengan dalih menyelamatkan APBN. Di luar itu, hingga
hari ini pemerintah belum mengantisipasi dampak luas yang akan dirasakan
rakyat.
Pemerintah seakan miskin inovasi. Contohnya, dari hasil kenaikan
harga BBM sebesar 25 triliun, akan digunakan untuk BLT. Padahal,
pemeberlakuan BLT banyak menyisakan dampak dan masalah yang cukup akut.
Ini bukan hanya masalah efektivitas dan efisiensi kebijakan yang banyak
diragukan, apalagi bila teringat kalau naiknya BBM adalah kondisi
defisit keuangan Negara yang bertolak belakang dengan BLT. Tetapi
pemberlakuan BLT juga sama sekali tidak memberdayakan, bahkan hanya akan
membuat karakter rakyat yang selalu dimanja dan menjadi bangsa
“peminta-minta”.
Pada gilirannya kemiskinan akan tetap diderita. Kebijakan menaikkan
BBM yang tak bisa dibendung ataupun program BLT yang tak memberdayakan,
hanya semakin melukai nurani rakyat. Betapa galaunya rakyat jelata.
Betapa tak bergunanya suara-suara lantang, menentang kebijakan naiknya
BBM tersebut. Setelah ribuan bahkan jutaan mahasiswa, buruh, maupun
aktivis-aktivis LSM di berbagai daerah di Nusantara menolak naiknya BBM,
namun tetap tak kunjung mengundang simpati pemerintah. Rakyat tetap
galau.
Yang bisa dilakukan hanya menunggu dan berusaha sebisabisanya.
Menunggu bukan berarti terjatuh dalam kebisuan, ketakberdayaan, dan
ketakacuhan. Melainkan bertumpu pada sikap tegas (affirmation)
untuk berpikir dan bertindak demi kemakmuran dan kesejahteraan tiap
pribadi seseorang. Karena sikap pemerintah yang kian hari kian tak
berpihak pada kesejahteraan rakyat, rakyat tak bisa lagi bergantung pada
pemerintah.
Pemerintah bukan Dewa, juga bukan Tuhan. Mereka hanya orang-orang
yang bisa diharapkan memberi perubahan ke arah yang lebih baik. Jika
pemerintah tak bisa memberi yang terbaik, rakyatlah yang harus menjadi
pemerintah, memerintah diri sendiri dan memerdekakan diri dari
penindasan dan kebijakan yang terasa mencekik itu.
Naiknya BBM hanya bagian dari persoalan yang melilit negeri ini,
selain masalah korupsi, tumpulnya penegak hukum, dan seabrek masalah
lainnya. Mungkin saya hanya bisa memikirkan atau paling tidak
berangan-angan bagaiamana suatu saat rakyat bisa membangun peradaban
baru. Sebuah peradaban di mana tak ada lagi kata menindas, ataupun
merasa ditindas. Semuanya dalam kondisi merdeka untuk menentukan nasib
hidupnya, dalam suatu ikatan moral yang agung, moral kemanusiaan.
Harapan ini mungkin terlahir dari kerpercayaan atau sekadar sugesti
saya bahwa setiap manusia memiliki pikiran dan hati yang selalu menuntun
ke arah menjadi makhluk merdeka. Karena seperti kata seorang novelis
Mesir bernama Naguib Mahfouz kalau “peradaban manusia tidak ditentukan
oleh apa yang dimilikinya, tetapi oleh denyut pikiran dan hatinya.”
Akhirnya, mewakili kegalauan yang lahir dari rasa sakit nurani rakyat
atas kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM, saya hanya bisa berharap
bahwa kegalauan itu bisa tersembuhkan dengan menggunakan obat pikiran
dan perasaan untuk melangkah menjadi manusia yang benar-benar merdeka.
Merdekakan! Merdeka! Semangat!
*) tulisan ini pendapat pribadi…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar