Mengenai Saya

Rabu, 12 Oktober 2011

Pembumian Nilai Substansial Pesantren pada UN*



Membincang persoalan pendidikan tidak ada habisnya. Apalagi pendidikan dewasa ini telah berada pada wilayah yang cukup memprihatinkan. Utamanya mengenai persoalan UN yang hingga kini banyak kalangan, praktisi dan pemerhati pendidikan masih melakukan resistensi terhadap pemerintah (mendiknas) tentang diadakannya UN.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa UN benar-benar merupakan ujian yang sangat pelik dan menggelegar. Menggelegar karena dilaksanakan secara serentak dalam lingkup Nasional, namun UN juga merupakan salah satu bentuk ujian yang sempat (untuk tidak mengatakan sedang) menuai kritikan. Berbagai pro dan kontra mengiringi berjalannya UN. Entasan ketidaksetujuan itu muncul sebagai bentuk kritikan secara besar-bersaran telah menjadi bagian sakral.
Namun apa lacur, Mendiknas Muhammad Nuh menyatakan bahwa berdasar evaluasi yang dilaksanakan terhadap berabgai sistem evaluasi yang pernah dilaksanakan di Indonesia semenjak 1972, maka UN merupakan metode yang paling baik sebagai standardisasi kelulusan siswa sekolah. Selanjutnya, setelah hasil evaluasi tersebut dikumandangkan, akhirnya Mendiknas mengabsahkan bahwa pada tahun ini pemernting bertekad kuat dan tetap melaksanakan UN di sekolah. (JP, 15/01/2010)
Keputusan ini tentu mengejutkan seluruh kalangan masyarakat. Sebab selam ini berjalannya UN tidak berbanding lurus dengan apa yang dicita-citakan pemerintah. Praktik-praktik manipulasi seakan menjadi ‘teman akrab’ yang sampai kapanpun tidak pernah bosan mengawani proses berjalannya UN.
Dalam analisisi kritis Ki Supriyoko, ada dua hal yang melatari munculnya resistensi dari masyarakat. Pertama, terjadinya kecurangan dalam pelakasanaan. Kedua, rendahnya kesiapan civitas sekoahh dalam menyelenggarakan UN.
Kecurangan, sebagaimana Ki Supriyoko menyebutkan, adalah bagian dari bergulirnya praktik UN. Laiknya sebuah barang, kecurangan memang tidak tanpak, namun baunya menyeruak. Inilah yang menjadi “benalu” atas berjalannya UN selama ini. Siswa yang curang berpotensi mendapat nilai yang baik daripada siswa yang tidak curang. Atau bahkan, siswa yang tidak melakukan kecurangan tidak akan lulus, sedang yang curang berpotensi lulus denga nilai (kogintif) yang baik. Konklusinya, lebih baik nyotek daripada tidak lulus. Memilukan!
Sedang kecacatan yang kedua adalah lebih bersifat sistematis, yakni terletak pada sekolah yang kurang siap melaksanakan UN.  Sehingga tak ayal jika kemudian pihak sekolah membentuk semacam—dalam istilah Ki Supriyoko—‘tim sukses’ untuk melakukan “bantuan” dengan jalan mengerjakan soal UN yang kemudian hasilnya diberikan kepada siswa. Dengan dalih demi menjaga nama baik sekolah.

Subtansi pun Tergadaikan
Malangnya, kedua kenyataan di atas telah merebak ke sekolah formal yang berbasis di pesantren, yang mayoritas siswanya berstatus “santri”. Hal ini dapat menimbulkan pesantren kehilangan subtansinya sebagai lembaga pendidikan Islam yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai substansial pesantren, seperti kemandirian, kesederhanaan, keikhlasan dan lainnya.
Kenyataan ini setidaknya akan melahirkan sebuah hipotesis bahwa nilai subtansial yang telah lama tertanam kuat di batang tubuh pesantren telah menemui titik pengusutan yang sungguh memiriskan yang, pada gilirannya, persantren akan beragerak dengan laju ketidakjujuran sebagai dampak dari berbagai kecurangan yang dilakukan dalam praktik UN. Dengan iming-iming kelulusan, santri yang ikut UN seakan telah melupakan bahwa sebetulnya UN hanya ujian yang bersifat formal. Sehingga bukan hal tidak mungkin jika santri akan terbiasa melakukan kecurangan yang lingkupnya adalah lebih besar.
Santri yang seharusnya menjadi harapan bagi masyarakat ketika sudah kembali dalam kehidupan asalnya di masyarakat kelak. Namun, ketika dihadapkan dengan kenyatkan banyaknya siswa (baca: santri)  kelas akhir melakukan kecurangan dalam praktik UN, eksistensi nilai subtansial yang telah menjadi karakter santri menjadi buram dan terkesan diabaikan. Pada gilirannya, dan disadari atau tidak, santri akan menjadi ge’ jengge’ ketika sudah terjun ke masyarakat.
Nilai substansial yang sejatinya harus tertanam kuat dalam sanubari diri santri ternyata digadaikan dengan indikasi kelulusan pada UN.  Santri ternyata telah mengawinkan kelulusan denga tujuan sejati manusia yang mengemban amanah sebagai khalifah fi al-ardh. Pada akhirnya, santri menjadi manusia yang kurang peka terhadap realitas sosial. Kemandirian dan kejujuran menjadi “barang langka” dalam kehidupan santri.
Jika dihadapkan pada fakta di atas, bahwa UN menjadi ‘peluang’ dalam menciptakan output pendidikan yang jauh dari harapan. Artinya, penilaian yang diajukan dalam pelaksanaan UN bukan pada ranah praktik, namun masih di ranah teori an-sich. Padahal, ketika dilihat dari aspek tujuan pendidikan secara umum, bahwa pendidikan merupakan wahana pengingkatan kualitas hidup sosial, bukan menciptakan ‘manusia peng-konsep’ yang miskin daya praksis. Termasuk juga pesantren.

“Menyantrikan” (Praktik) UN
Dalam perspektif ini, urgensi meletakkan kembali nilai substansial pesantren pada praktik UN menjadi agenda mendesak yang harus segera dicanangkan dan direalisasikan. Karena itulah yang menjadi salah satu pemacu dalam rangka memperbaiki praktik kecurangan dalam UN. Dengan mengacu pada nilai-nilai yang sejak dulu telah berurat-nadi dan menjadi ciri serta karakteristik pesantren.
Nilai-nilai ashlah yang dimiliki pesantren yang harus segera dicanangkan oleh pengelola maupun siswa dalam praktik UN: pertama, kesederhanaan sebagai pijakan dalam mengerjakan dan menyelesaikan Ujian Nasional. Artinya, sederhana dalam mengerjakan, bekerja sesuai dengan kemampuan anak didik. Mengerjakan ujian sesuai dengan kemampuan siswa. Karena dengan demikian nantinya akan menciptakan output UN yang dapat dipertanggungjawabkan eksistensinya.
Kedua, kemandirian dalam mengerjakan UN. Mandiri dalam arti universal—yang pada praktik UN, dilakukan sendiri. Bukan malah dikerjakan oleh pihak ‘tim sukses’ sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Mengerjakan sendiri dan tanpa ada bantuan dari paihak manapun.
Dengan kedua nilai ini, pada akhrinya akan melahirkan aroma akhlak yang baik. Akhlak yang baik akan menjadi acuan dalam mencapai idealitas pendidikan Islam di pasantren.
Sebagaimana dititahkan Nabi dalam sabdanya: innama bu’itstu liutammima makaarimal akhlak (saya diutus utnuk menyempurnakan akhlak [moral]). Nilai ashlah ini adalah vitalitas kejujuran, yang oleh Mahmudi Asyari disebut sebagai pangkal utama moral. Kejujuran menjadi harga mati yang harus ada dan melekat pada diri santri.
Sekadar cerita, ketika zaman Jahiliyah dahulu, ada seorang pencuri yang datang kepada Nabi untuk meminta nasihat tentang profesi mencuri yang sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupannya. Nabi cukup menjawab, “La ta’dzib!” (jangan bohong!). Mendengar ucapan itu, si pencuri tadi hanya tersenyum. Barangkali dalam hatinya ia berkata, “kecil”. Namun, ketika si pencuri itu akan mencuri, sekonyong-konyong ia tersentak oleh nasihat Beliau. Hati kecilnya merasa bahwa perbuatan itu merupakan suatu kesalahan yang amat besar. Seketika itu pula, pria itu datang kepada Nabi dan mengatakan bahwa ia tidak akan mencuri lagi.
Petikan dari kisah tersebut, betapa kejujuran menjadi nilai yang sungguh luar biasa jika dipraktikkan dan dijadikan sebuah pijakan dalam UN. Bukan malah terabaikan demi sebuah ijazah semata. Konklusinya, kejujuran merupkan nilai kandungan substansial pesantren yang harus segera disertakan dalam pelaksanaan UN. Agar menyantrikan UN menjadi dekat dan tercapai dari panggang api. Wallahu a’lam.

* tulisan ini dipublikasikan oleh Buletin Kompak Edisi X, 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar