Membincang
persoalan pendidikan tidak ada habisnya. Apalagi pendidikan dewasa ini telah
berada pada wilayah yang cukup memprihatinkan. Utamanya mengenai persoalan UN
yang hingga kini banyak kalangan, praktisi dan pemerhati pendidikan masih
melakukan resistensi terhadap pemerintah (mendiknas) tentang diadakannya UN.
Kenyataan ini
menunjukkan bahwa UN benar-benar merupakan ujian yang sangat pelik dan
menggelegar. Menggelegar karena dilaksanakan secara serentak dalam lingkup Nasional,
namun UN juga merupakan salah satu bentuk ujian yang sempat (untuk tidak
mengatakan sedang) menuai kritikan. Berbagai pro dan kontra mengiringi
berjalannya UN. Entasan ketidaksetujuan itu muncul sebagai bentuk kritikan
secara besar-bersaran telah menjadi bagian sakral.
Namun apa lacur,
Mendiknas Muhammad Nuh menyatakan bahwa berdasar evaluasi yang dilaksanakan
terhadap berabgai sistem evaluasi yang pernah dilaksanakan di Indonesia semenjak
1972, maka UN merupakan metode yang paling baik sebagai standardisasi kelulusan
siswa sekolah. Selanjutnya, setelah hasil evaluasi tersebut dikumandangkan,
akhirnya Mendiknas mengabsahkan bahwa pada tahun ini pemernting bertekad kuat
dan tetap melaksanakan UN di sekolah. (JP, 15/01/2010)
Keputusan ini
tentu mengejutkan seluruh kalangan masyarakat. Sebab selam ini berjalannya UN
tidak berbanding lurus dengan apa yang dicita-citakan pemerintah.
Praktik-praktik manipulasi seakan menjadi ‘teman akrab’ yang sampai kapanpun tidak
pernah bosan mengawani proses berjalannya UN.
Dalam
analisisi kritis Ki Supriyoko, ada dua hal yang melatari munculnya resistensi
dari masyarakat. Pertama, terjadinya kecurangan dalam pelakasanaan. Kedua,
rendahnya kesiapan civitas sekoahh dalam menyelenggarakan UN.
Kecurangan,
sebagaimana Ki Supriyoko menyebutkan, adalah bagian dari bergulirnya praktik UN.
Laiknya sebuah barang, kecurangan memang tidak tanpak, namun baunya menyeruak.
Inilah yang menjadi “benalu” atas berjalannya UN selama ini. Siswa yang curang
berpotensi mendapat nilai yang baik daripada siswa yang tidak curang. Atau
bahkan, siswa yang tidak melakukan kecurangan tidak akan lulus, sedang yang
curang berpotensi lulus denga nilai (kogintif) yang baik. Konklusinya, lebih
baik nyotek daripada tidak lulus. Memilukan!
Sedang
kecacatan yang kedua adalah lebih bersifat sistematis, yakni terletak pada
sekolah yang kurang siap melaksanakan UN. Sehingga tak ayal jika kemudian pihak sekolah
membentuk semacam—dalam istilah Ki Supriyoko—‘tim sukses’ untuk melakukan
“bantuan” dengan jalan mengerjakan soal UN yang kemudian hasilnya diberikan kepada
siswa. Dengan dalih demi menjaga nama baik sekolah.
Subtansi pun Tergadaikan
Malangnya,
kedua kenyataan di atas telah merebak ke sekolah formal yang berbasis di
pesantren, yang mayoritas siswanya berstatus “santri”. Hal ini dapat
menimbulkan pesantren kehilangan subtansinya sebagai lembaga pendidikan Islam yang
sangat menjunjung tinggi nilai-nilai substansial pesantren, seperti kemandirian,
kesederhanaan, keikhlasan dan lainnya.
Kenyataan ini
setidaknya akan melahirkan sebuah hipotesis bahwa nilai subtansial yang telah
lama tertanam kuat di batang tubuh pesantren telah menemui titik pengusutan
yang sungguh memiriskan yang, pada gilirannya, persantren akan beragerak dengan
laju ketidakjujuran sebagai dampak dari berbagai kecurangan yang dilakukan
dalam praktik UN. Dengan iming-iming kelulusan, santri yang ikut UN seakan
telah melupakan bahwa sebetulnya UN hanya ujian yang bersifat formal. Sehingga
bukan hal tidak mungkin jika santri akan terbiasa melakukan kecurangan yang
lingkupnya adalah lebih besar.
Santri yang
seharusnya menjadi harapan bagi masyarakat ketika sudah kembali dalam kehidupan
asalnya di masyarakat kelak. Namun, ketika dihadapkan dengan kenyatkan
banyaknya siswa (baca: santri) kelas
akhir melakukan kecurangan dalam praktik UN, eksistensi nilai subtansial yang
telah menjadi karakter santri menjadi buram dan terkesan diabaikan. Pada
gilirannya, dan disadari atau tidak, santri akan menjadi ge’ jengge’
ketika sudah terjun ke masyarakat.
Nilai substansial
yang sejatinya harus tertanam kuat dalam sanubari diri santri ternyata
digadaikan dengan indikasi kelulusan pada UN.
Santri ternyata telah mengawinkan kelulusan denga tujuan sejati manusia
yang mengemban amanah sebagai khalifah fi al-ardh. Pada akhirnya, santri
menjadi manusia yang kurang peka terhadap realitas sosial. Kemandirian dan
kejujuran menjadi “barang langka” dalam kehidupan santri.
Jika
dihadapkan pada fakta di atas, bahwa UN menjadi ‘peluang’ dalam menciptakan output
pendidikan yang jauh dari harapan. Artinya, penilaian yang diajukan dalam
pelaksanaan UN bukan pada ranah praktik, namun masih di ranah teori an-sich.
Padahal, ketika dilihat dari aspek tujuan pendidikan secara umum, bahwa
pendidikan merupakan wahana pengingkatan kualitas hidup sosial, bukan
menciptakan ‘manusia peng-konsep’ yang miskin daya praksis. Termasuk juga
pesantren.
“Menyantrikan” (Praktik) UN
Dalam
perspektif ini, urgensi meletakkan kembali nilai substansial pesantren pada
praktik UN menjadi agenda mendesak yang harus segera dicanangkan dan
direalisasikan. Karena itulah yang menjadi salah satu pemacu dalam rangka
memperbaiki praktik kecurangan dalam UN. Dengan mengacu pada nilai-nilai yang
sejak dulu telah berurat-nadi dan menjadi ciri serta karakteristik pesantren.
Nilai-nilai ashlah
yang dimiliki pesantren yang harus segera dicanangkan oleh pengelola maupun siswa
dalam praktik UN: pertama, kesederhanaan sebagai pijakan dalam
mengerjakan dan menyelesaikan Ujian Nasional. Artinya, sederhana dalam
mengerjakan, bekerja sesuai dengan kemampuan anak didik. Mengerjakan ujian
sesuai dengan kemampuan siswa. Karena dengan demikian nantinya akan menciptakan
output UN yang dapat dipertanggungjawabkan eksistensinya.
Kedua,
kemandirian dalam mengerjakan UN. Mandiri dalam arti universal—yang pada
praktik UN, dilakukan sendiri. Bukan malah dikerjakan oleh pihak ‘tim sukses’
sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Mengerjakan sendiri dan tanpa ada
bantuan dari paihak manapun.
Dengan kedua
nilai ini, pada akhrinya akan melahirkan aroma akhlak yang baik. Akhlak yang
baik akan menjadi acuan dalam mencapai idealitas pendidikan Islam di pasantren.
Sebagaimana
dititahkan Nabi dalam sabdanya: innama bu’itstu liutammima makaarimal akhlak
(saya diutus utnuk menyempurnakan akhlak [moral]). Nilai ashlah ini adalah
vitalitas kejujuran, yang oleh Mahmudi Asyari disebut sebagai pangkal utama
moral. Kejujuran menjadi harga mati yang harus ada dan melekat pada diri
santri.
Sekadar
cerita, ketika zaman Jahiliyah dahulu, ada seorang pencuri yang datang kepada Nabi
untuk meminta nasihat tentang profesi mencuri yang sudah menjadi bagian tak
terpisahkan dari kehidupannya. Nabi cukup menjawab, “La ta’dzib!”
(jangan bohong!). Mendengar ucapan itu, si pencuri tadi hanya tersenyum.
Barangkali dalam hatinya ia berkata, “kecil”. Namun, ketika si pencuri itu akan
mencuri, sekonyong-konyong ia tersentak oleh nasihat Beliau. Hati
kecilnya merasa bahwa perbuatan itu merupakan suatu kesalahan yang amat besar.
Seketika itu pula, pria itu datang kepada Nabi dan mengatakan bahwa ia tidak akan
mencuri lagi.
Petikan dari
kisah tersebut, betapa kejujuran menjadi nilai yang sungguh luar biasa jika
dipraktikkan dan dijadikan sebuah pijakan dalam UN. Bukan malah terabaikan demi
sebuah ijazah semata. Konklusinya, kejujuran merupkan nilai kandungan substansial
pesantren yang harus segera disertakan dalam pelaksanaan UN. Agar menyantrikan UN
menjadi dekat dan tercapai dari panggang api. Wallahu a’lam.
* tulisan
ini dipublikasikan oleh Buletin Kompak Edisi X, 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar